Friday, January 4, 2008

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag.3)

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag. 3)


5. RABU - 15 AGUSTUS 2007

Aku terbangun ketika alarm HP berbunyi dan segera pergi ke kamar mandi. Aku bangunkan istriku untuk juga bersiap-siap. Masih sempat shalat dulu menjelang masuk waktu subuh. Jam lima terdengar suara azan. Jernih, lantang dan dekat sekali. Ternyata negeri ini masih negeri orang-orang beriman.

Kami berangkat menuju mesjid. Petugas depan hotel (front office) kembali melongo melihat kami berlalu di hadapannya. Udara subuh itu sangat cerah dan tidak terasa dingin sama sekali. Di jalan sudah ada orang lalu lalang, tapi tidak ada yang mengarah ke mesjid. Kami sampai di mesjid dan mendapati hanya empat orang laki-laki sedang duduk dalam zikir. Aku shalat sunat dua rakaat. Sesudah shalat sunat fajar, aku duduk memperhatikan arsitektur mesjid yang megah ini. Ada empat buah tiang dari batu pualam berbentuk persegi panjang dengan ukuran empat kali dua meter yang tingginya sekitar enam meter ke langit-langit dan ada pilar bulat berdiameter hampir satu meter. Langit-langit mesjid dibuat berkubah-kubah yang terdiri dari beberapa buah kubah. Kubah-kubah ini merupakan sistim penyampai suara. Suara tanpa menggunakan mikrofon bersipongang dan dapat terdengar ke setiap sudut mesjid.

Karena asyik mengamati bangunan mesjid aku tersadar sesudah hampir seperempat jam kami duduk. Sudah ada tambahan jamaah menjadi dua belas orang ditambah istriku satu orang jauh di belakang. Tapi belum juga kunjung iqamat dan tidak ada tanda shalat akan dimulai. Aku bertanya kepada seorang jamaah di sebelahku, kenapa belum juga shalat. Dia memberi isyarat agar aku sabar sebentar lagi. Aku kembali terdiam. Kali ini agak resah dan sering-sering menoleh ke belakang. Apakah mereka ini sedang menanti imam mesjid?

Sepuluh menit kemudian, muazin iqamat dari bagian belakang mesjid. Aku menoleh dan melihat seorang laki-laki muda berpakaian agak berbeda, memakai jubah penutup kemeja dan celana panjangnya (jemaah lain semuanya memakai kemeja dan celana panjang) serta menggunakan kopiah yang juga berbeda. Beliau inilah imam mesjid. Dia langsung menuju ke tempat imam. Kamipun shalatlah. Bacaannya bagus dan fasih dan kebetulan aku hafal ayat yang dibacanya dan menyimak dengan syahdu.

Sesudah shalat kembali seperti tadi malam, muazin meneriakkan ‘Allahumma antassalam.....’, zikir bersama menggunakan tasbih dan ditutup dengan imam membaca dua tiga ayat al Quran. Kemudian kami semua berdiri dan bersalam-salaman.

Ketika kami melangkah keluar, di luar sudah terang. Kami kembali menuju hotel. Di depan hotel kami berjumpa dengan petugas hotel sedang memberi makan burung merpati yang puluhan banyaknya. Katanya pekerjaan itu dilakukannya setiap pagi. Pantasan burung merpati itu gemuk-gemuk.

Jam tujuh pagi kami sarapan di restoran hotel. Jam sembilan nanti kami akan melakukan kunjungan ke objek wisata. Sebelum jam sembilan Lale sudah datang dan aku mengajaknya berbincang-bincang. Aku mula-mula bertanya sesopan mungkin apakah dia juga seorang Muslim, dan dijawabnya ya, benar. Lalu aku bertanya apakah dia melakukan shalat, jawabnya kalau dia ada waktu, mungkin sekali dalam seminggu, dia melakukan shalat. Dia bercerita penuh semangat tentang keelokan mesjid-mesjid di Istambul, bagaimana mesjid-mesjid itu dibangun, bagaimana perawatan terhadap mesjid-mesjid itu dilakukan. Waktu aku ceritakan bahwa tadi subuh aku shalat di mesjid Beyazid dia memandangku setengah tidak percaya.

Tujuan wisata pertama kami pagi itu adalah ke pasar rempah yang terletak dekat lapangan Taksim. Ada sebuah mesjid besar pula di dekat itu yang aku lupa menanyakan namanya. Banyak pula merpati berkeliaran di pekarangan mesjid besar ini. Rombongan kami memasuki lorong pasar rempah. Pasar ini dibangun di awal abad ke tujuh belas dan dulu dikenal juga sebagai pasar Mesir karena menjual banyak rempah-rempah yang berasal dari Mesir. Toko-toko berjejer di kiri dan kanan lorong yang beratap itu. Dagangan mereka umumnya bermacam-macam rempah, buah-buahan timur tengah seperti kurma, tin, zaitun dan penganan khas Turki. Barang dagangan itu ada yang diletakkan dalam bakul-bakul besar dan ada juga yang sudah dipak dan dimasukkan ke dalam kotak-kotak. Pedagang-pedagang itu umumnya sangat ramah-ramah dan mereka berlomba menyuguhkan penganan dagangan mereka untuk dicoba. Sebangsa dodol yang dibuat berupa potongan-potongan dadu dan namanya dibuat keren, ‘Sultan Turkish delight’ langsung jadi favorit. Aku sangat yakin bahwa dodol itu dibuat dari tepung ketan. Rasanya memang manis dan legit. Rata-rata anggota rombongan membelinya untuk oleh-oleh.

Pengunjung pasar cukup ramai. Dan disini aku melihat banyak wanita Turki berjilbab, baik yang pedagang maupun yang berbelanja. Turis asing pun banyak. Aku mendengar orang berbahasa Perancis di antara mereka.

Kami berada di pasar rempah ini sekitar dua jam.

Setelah itu kami dibawa ke dermaga. Kali ini kami akan menyusuri selat Bosporus dengan kapal melintasi istana Dolmabahce. Di kapal ini kembali kami serombongan dengan wisatawan karyawan Daihatsu dari negeri kita. Pemandangan dari selat Bosporus ke arah perbukitan kota Istambul mengukuhkan julukan kota seribu minaret. Mesjid-mesjid besar terlihat disana-sini dan setiap mesjid pasti mempunyai sekurang-kurangnya empat buah menara tinggi. Banyak kapal-kapal besar sedang berada di dermaga kota Istambul. Lale, si pemandu tidak lupa menceritakan arti penting selat Bosporus ini sepanjang sejarah, selat yang menghubungkan laut Hitam dengan laut Tengah.

Pelayaran di selat Bosporus sangat mengesankan. Di sebelah kiri kami terlihat istana Dolmabahce dan bangunan-bangunan kuno lainnya. Kami lihat tembok benteng kuno di sebuah bangunan yang menurut Lale kalau diamati dengan seksama merupakan tulisan Muhammad dengan huruf Arab. Mungkin untuk menghormati Sultan Muhammad atau bahkan mungkin untuk mengabadikan nama Rasulullah.

Pelayaran ini kami lalui hanya satu arah. Setelah berlayar lebih kurang satu jam kami berhenti di sebuah dermaga lain yang terletak dekat restoran tempat kami makan siang. Restoran yang terletak sedikit agak di ketinggian dari jalan raya di pinggir pantai. Makanan Turki yang kembali biasa-biasa saja. Tetap ada salad tomat dan mentimun mentah.

Kami makan siang sambil berbincang-bincang santai. Aku mengagumi keelokan bangunan-bangunan yang baru saja kami lihat di sepanjang tepi pantai. Sudah hampir jam setengah dua waktu kami meninggalkan restoran itu. Tujuan berikutnya adalah Hagia Sophia. Sebelum kami menuju kesana aku ingatkan Lale agar mencari mesjid tempat berhenti shalat. Kembali dia menatapku dengan pandangan setengah tidak percaya. Apakah kalian benar-benar akan berhenti dulu untuk shalat tanyanya hati-hati. Aku memastikan bahwa kami benar-benar akan berhenti dulu untuk shalat. Mungkin masih dengan keheranan akhirnya dia menjanjikan akan berhenti nanti di sebuah mesjid.

Kami kembali menaiki bus untuk melanjutkan kunjungan. Di tengah jalan bus ini berhenti. Lale memberi tahu bahwa kami akan diantarkannya ke mesjid yang terletak agak masuk dari pinggir jalan. Sekali lagi agaknya dia terheran-heran bahwa mayoritas ibu-ibu itu ikut turun untuk pergi shalat. (Ada ibu-ibu yang beragama Kristen di antara kami). Setelah berjalan kira-kira dua ratus meter kami sampai ke sebuah mesjid. Dan mesjid itu sedang terkunci. Ada sedikit tempat terbuka di beranda mesjid dan ibu-ibu itu shalat disana. Tadinya aku mengajak ibu-ibu itu untuk shalat berjamaah, tapi karena tempat yang terbuka itu sempit mereka shalat duluan saja. Dan ternyata Lale pergi mencari petugas mesjid dan kembali dengannya yang segera membukakan pintu mesjid. Kami, bapak-bapak shalat di dalam mesjid.

Sesudah shalat kami melanjutkan perjalanan menuju Hagia Sophia.


*****

6. HAGIA SOPHIA

Sudah agak sore ketika kami sampai di Hagia Sophia, yang dulu pernah aku baca bernama Aya Sofia, sebuah gereja yang kemudian dijadikan mesjid. Kecuali ukurannya yang memang besar, dengan kubah-kubah mesjid yang juga besar-besar, bangunan ini berkesan tidak terlalu menarik dilihat dari luar karena susunan bata merah di dinding temboknya yang tidak diplester.

Hagia Sophia sekarang dijadikan sebuah musium. Kami masuk ke bagian dalamnya melalui pintu berpenjaga keamanan. Melihat bagian dalam (yang sedang direstorasi dan dibersihkan) barulah aku berdecak kagum. Bangunan yang mempunyai pilar-pilar besar dari batu granit hitam (Lale menyebutnya demikian). Bagian samping dari bangunan ini mempunyai balkon, yang juga mempunyai pilar granit dengan ukuran sedikit lebih kecil. Bagian tengah terbuka lebar dan memanjang. Di hadapan terdapat mihrab agak menyerong ke kanan dan mimbar bertangga setinggi kira-kira delapan meter. Langit-langitnya berkubah-kubah, dan diantara kubah itu ada yang ditempati lukisan Bunda Maria dan bayi Isa Almasih menurut kepercayaan Kristen. Tinggi kubah hampir 56 meter. Sementara bagian lain diisi dengan kaligrafi ayat-ayat al Quran. Ada tulisan Allah, Muhammad, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan dan Husin di sebuah lingkaran berwarna hijau yang konon dibuat dari kulit unta, digantung di ketinggian dua puluh meter dari lantai, persis di bawah lengkungan kubah. Ketika bangunan ini masih difungsikan sebagai mesjid, bagian kubah bergambar Maria dan Isa Almasih itu ditutupi tapi tidak dirusak.

Yang lebih menambah kekagumanku adalah cerita Lale yang menjelaskan bahwa bangunan gereja raksasa ini (bangunan utamanya berukuran luas 70 x 75 meter) dibangun di tahun 532 (23 Februari 532) dan diselesaikan dalam waktu lima tahun sepuluh bulan atas perintah kaisar Justinian. Bangunan seindah dan seperkasa itu dibangun 300 tahun sebelum pembangunan Borobudur di Jawa Tengah. Sungguh sulit dibayangkan. Arsitekturnya sungguh sangat monumental. Dengan teknologi canggih seperti sekarangpun akan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya, sedangkan ini dibangun 1500 tahun yang lalu, dengan segala keterbatasan peralatan dan teknologi ketika itu. Aku tambah terlongo mendengar penjelasan bahwa sebagian dari pilar granit itu dibawa utuh dari Beirut di Libanon dan dari Aleksandria di Mesir. Subhanallah, entah berapa puluh ribu budak dan pekerja paksa telah digunakan untuk menyelesaikan mahakarya itu ketika itu. Aku teringat akan ayat Allah yang menceritakan umat-umat terdahulu yang sudah mempunyai kemampuan teknologi tinggi, seperti kaum Tsamud yang memotong dan memahat batu-batu (Surah Al Fajr (89) ayat 9). Arsitek Gereja Hagia Sophia rupanya mewarisi ilmu seperti itu.

Lale bercerita bahwa gereja itu diresmikan dengan penuh kebanggaan oleh kaisar Justinian bersama-sama dengan Patriarkh Menas pada tanggal 27 Desember 537. Balkon di kiri dan kanan aula besar di tengah diperuntukkan untuk para wanita. Gereja besar ini menjadi kebanggaan kekaisaran Romawi Timur dan dipakai sebagai gereja sampai saat kejatuhan kekaisaran Romawi tersebut lebih sembilan ratus tahun kemudian. Ketika Sultan Muhammad II yang dijuluki Sultan Fatih menaklukkan Konstantinopel, beliau melakukan shalat Jumat di gereja ini pada tanggal 3 Juni 1453 (betapa semua tanggal-tanggal ini tercatat dengan tepat). Sultan itu tidak ingin bangunan megah itu diruntuhkan seperti yang diinginkan sebagian panglima tentaranya, karena mereka menganggap bahwa bangunan itu bekas tempat beribadah orang kafir.

Atas prakasa Sultan Muhammad II gereja itu dirubah fungsinya menjadi mesjid, tanpa merubah namanya menjadi mesjid Sultan Muhammad, tapi tetap dengan nama mesjid Aya Sofia (mungkin sedikit perubahan ejaan ini saja yang dibuat). Bagian gereja tertentu seperti altar, patung-patung dan simbol kayu salib di turunkan dan kaligrafi-kaligrafi dipajangkan. Namun ornamen khas gereja seperti lukisan di langit-langit disuruh tutupi saja tanpa dirusak.

Jadilah bangunan itu mesjid agung selama hampir lima ratus tahun. Sesudah kekaisaran Ottaman resmi dibekukan pada tahun 1924 bangunan itu dijadikan musium yang terbuka untuk umum.

Kami berkeliling-keliling di dalam bangunan ini, mengagumi setiap sudut yang terlihat begitu anggun dan gagah. Aku memperhatikan tiang-tiang dan pilar-pilar berukuran sangat besar itu baik-baik. Memang pilar-pilar bulat panjang itu bukanlah batu pualam sebagaimana halnya tiang-tiang yang berbentuk persegi. Sebagian ibu-ibu naik ke balkon. Sayang sekali karena hampir setengah dari ruangan aula dipenuhi dengan besi-besi penyangga bagi tukang yang sedang bekerja membersihkan langit-langit kubah.

Aku mampir ke sebuah kios buku di bagian serambi bangunan karena ingin membeli buku tentang Haghia Sophia. Kios itu terbuka tapi tidak ada penjaganya. Aku bertanya kepada seorang anak muda yang kebetulan berada dekat kios tersebut. Penjaganya ada beberapa saat yang lalu, katanya. Mungkin dia sedang ke toilet sebentar. Dan aku menunggu beberapa menit. Anak muda itu masih berdiri disitu lalu mencoba meralat keterangannya. Mungkin dia sedang pergi shalat, katanya lagi. Apakah sekarang waktu shalat? tanyanya padaku. Aku jadi ingin menggodanya. Apakah anda bukan penduduk sini? tanyaku. Dia jawab, ya. Kenapa anda tidak tahu waktu shalat, apakah anda bukan Muslim? tanyaku lagi. Saya Muslim, jawabnya. Tapi saya tidak shalat. Saya cukup jadi orang baik-baik saja, tambahnya lagi. Rupanya anak muda ini salah satu dari sekularist sejati penduduk Turki seperti yang diceritakan Lale.

Penjaga kios itu akhirnya datang. Aku membeli buku dengan judul Hagia Sophia seharga 48 YTL. Buku yang cukup menarik untuk memahami kehebatan bangunan tua ini.

Kami akhiri kunjungan ke musium Haghia Sophia ketika hari sudah menjelang malam. Kami makan malam di sebuah restoran kebab Turki, yang menyediakan kebab campuran daging kambing atau ayam. Aku memilih kebab (daging panggang) ayam. Rasanya tidak istimewa-istimewa sangat.


*****

No comments: