Monday, January 7, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (4)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (4)

4. CERITA LAMA

Sebenarnya aku agak terheran-heran dalam hatiku ketika Marwan mengatakan ingin menyampaikan sebuah cerita. Hal apa yang ingin diceritakannya? Kenapa tiba-tiba dia ingin bercerita kepadaku pada hal kita baru saja berjumpa kembali sesudah lebih 40 tahun tidak bertemu? Marwan memang teman baikku dulu di SMP, tapi tidaklah istimewa-istimewa amat. Aku punya teman yang lebih akrab dari dia. Apakah ini cerita yang bersangkut paut dengan teman yang lain? Kalau ya dengan siapa? Masak dengan si Rosmiar lagi?

Semua pertanyaan itu menari dalam otakku. Tapi, ya sudahlah. Kalau memang dia datang sebentar lagi, biarlah aku dengarkan saja apa ceritanya. Mungkin dia memang memerlukan seseorang tempat melepaskan isi hati. Tempat curhat kata anak-anak sekarang.

Istriku datang mengusik dengan pertanyaan.

‘Mau bercerita apa agaknya da Marwan itu, da?’ tanyanya.

‘Entahlah. Udapun belum tahu,’ jawabku pendek.

‘Masak urusan pomle-pomle lama lagi ?’ tanyanya lagi.

‘Rasanya nggak mungkin. Harusnya sesuatu yang lebih serius dari itu. Tapi biarlah kita dengarkan saja. Sebentar lagi tentu dia akan sampai disini.’

‘Sepertinya dia tidak ingin cerita itu didengar istrinya,’ analisa istriku.

‘Belum tentu demikian. Alasannya tadi karena anak-anaknya mau belajar makanya diantarnya dulu pulang. Boleh jadi dia memang akan bercerita sangat panjang,’ jawabku.

‘Asal uda betah saja mendengarkan.’

‘Kalau tidak menarik, kalau uda jadi mengantuk mendengarkannya pasti dia akan tahu. Pasti dia tidak akan memaksakan meneruskan ceritanya,’ aku mencoba meyakinkan termasuk diriku sendiri.

‘Ada yang perlu disiapkan?’ tanya istriku pula.

‘Makanan? Siapkan saja pisang goreng. Dan nanti sore buatkan kami teh telor. Biar seperti duduk di lepau kopi di kampung,’ jawabku.

‘Baik. Akan saya buatkan ketan dan goreng pisang raja.’

Tidak lama kemudian Marwan sudah sampai lagi. Dia tersenyum. Tangannya membawa sebuah kotak. Kelihatannya berisi makanan.

‘Tidak macet di jalan?’ tanyaku.

‘Tidak. Dan ternyata rumahku dekat saja dari sini. Coba kita bertemu sejak lama, sudah lama pula aku sering main kesini.’

‘Dimana rumahmu di Pondok Kopi itu tepatnya?’ tanyaku.

‘Di samping Rumah Sakit Islam,’ jawabnya

‘Oh iya. Itu sangat dekat dari sini.’

‘Komplek perumahan disini bagus. Tertata rapi dan tidak bising. Kalau tempatku dekat dengan jalan raya. Kadang-kadang agak bising. Kadang-kadang ramai dengan suara ambulans keluar dari rumah sakit.’

‘Tapi kau kan sehari-hari tidak di rumah. Sampai jam berapa biasanya di toko?’

‘Benar sih. Aku di toko sampai sekitar jam empat. Aku selalu berusaha sudah sampai di rumah sebelum maghrib.’

‘Kalau benar-benar tertarik, kau pindah saja kesini. Masih banyak tanah kosong di sekitar sini,’ kataku.

‘He..he..he.. iya juga. Boleh juga ide itu aku pikirkan. Dan mesjidpun dekat dari sini. Aku betah di tempat yang sekarang karena mesjidnya juga dekat. Rumah itu harus dekat dari mesjid. Mudah kita pergi shalat berjamaah.’

Kami masih berbincang hilir mudik beberapa saat lagi. Aku jadi tidak sabar untuk mendengar cerita yang akan disampaikannya. Dan segera mengingatkannya.

‘Baik. Ngomong-ngomong apa cerita yang akan kau sampaikan ?’ tanyaku.

‘Ya. Cerita lama. Mudah-mudahan kau sabar dan mau mendengarnya. Cerita ini hanya sekedar untuk mengeluarkan keprihatinan yang tersimpan lama dalam dadaku dan tidak bisa kuceritakan kepada siapapun.’

‘Maksudnya? Jadi istri kaupun tidak tahu?’ tanyaku.

‘Belum tahu. Belum tahu seperti yang akan kuceritakan kepadamu.’

‘Baik. Mulailah. Tapi sebentar. Kalau nanti istriku sebentar-sebentar muncul disini, apakah dia boleh mendengarkan?’

‘Boleh saja. Ini bukan cerita rahasia. Bukan sesuatu yang kusembunyikan. Meski tidak mungkin kuceritakan ke sembarang orang,’ jawabnya.

‘Baik kalau begitu. Mulailah.’

‘Kau ingat kenapa kita berkelahi?’ tanyanya.

Aku mengernyitkan kening dan terdiam. Kenapa kami dulu berkelahi? Bukankah waktu itu dia menuduhku mempengaruhi Rosmiar agak tidak mau menerima ungkapan cintanya. Jadi agaknya cerita ini akan ada kait berkait denganku? Tanyaku dalam hati.

‘Seingatku, kau menuduhku menghalangi Rosmiar untuk jadi pomlemu. Bukankah begitu?’ tanyaku.

‘Bukan sekadar itu. Aku menuduhmu bahwa kau mengatakan sesuatu tentang ayahku,’ jawabnya.

‘Kau menuduhku, bahwa aku mengatakan sesuatu tentang ayahmu? Ah, nggak. Tentang apa? Seingatku kau marah-marah karena Rosmiar menolakmu jadi pomlemu. Bukan begitu?’

‘Bukan. Rosmiar mengatakan bahwa dia tidak mau denganku karena aku anak orang PKI. Bahwa semua orang tahu bahwa aku anak orang PKI. Dan dia juga menyebut bahwa kau juga tahu bahwa aku anak orang PKI.’

‘Aku malahan tidak ingat itu. Lalu kenapa?’

‘Sebenarnya aku memang adalah anak orang PKI,’ katanya.

Aku kembali terdiam. Apa maksudnya?

‘Maksudmu?’

‘Maksudku, aku benar-benar anak seorang PKI. Ayahku PKI. Ayahku anggota partai terlarang itu.’

Lagi-lagi aku terdiam.

‘Inilah yang ingin kuceritakan. Bahwa aku mendapat pengalaman istimewa karena ayahku PKI itu. Entah dari mana cerita ini akan aku mulai. Ringkasannya dululah biar kau punya bayangan. Ayahku dulu seorang pegawai kantor pos. Awalnya ayahku bukanlah orang yang menyenangi politik. Justru ibuku yang lebih aktif dalam hal-hal politik. Ibuku aktif di Aisyiah dan jadi anggota Masyumi. Waktu terjadi peristiwa Gestapu, pamor PKI hancur. Orang-orang PKI menghilang atau dihilangkan. Tapi ayahku sendiri selamat. Beliau hanya berhenti atau disuruh menghilang saja oleh atasannya di kantor. Beliau tinggal saja di rumah dan kembali sakit-sakitan. Ayahku memang agak penyakitan. Sampai beliau menemui ajalnya lima tahun kemudian di tahun 70.’

Marwan menarik nafas. Aku memandangnya dengan mata tak berkedip. Aku tidak bisa bersuara.

‘Ayahku menitipkan aku kepada adik beliau, pak etekku yang merantau di Surabaya. Itulah sebabnya aku melanjutkan sekolah kesana. Tamat SMA aku masuk ITS, jurusan mesin. Tahun 77 aku tamat dari ITS. Agak terlambat karena aku menyambil membantu pak etekku berdagang. Setelah tamat aku mulai bekerja. Akupun dulu bekerja di perminyakan seperti kau. Sejak awal tahun 78. Tahun 79 aku menikah. Dengan orang Maninjau. Sayang kami tidak dikaruniai anak. Tahun 83 terjadilah huru hara. Seorang karyawan lapangan, yang adalah teman kita juga, sekampung dengan ayahku pindah ke kantor pusat di Jakarta. Baru beberapa hari saja, dia mengingatkan aku agar segera minta berhenti saja. Aku tentu saja kaget. Ada apa, tanyaku kepadanya.

Kau sebaiknya minta berhenti saja baik-baik dan segeralah menghilang, katanya. Aku kembali bertanya, kenapa. Waktu itu, kalau kau masih ingat, sangat gencar diadakan screening. Kau pasti juga pernah mengalami. Akupun menjalaninya. Memang setiap kali ditanya tentang orang tua, apakah terlibat dengan partai terlarang, aku sudah barang tentu menyembunyikan dan mengatakan tidak. Nah, inilah yang diungkitnya waktu dia datang berbicara empat mata denganku. Katanya, pada kesempatan screening berikutnya, kalau dia ditanya tentang aku dan ayahku, sebagai teman sekampung, dia pasti akan mengatakan yang sebenarnya.’

Marwan kembali berhenti sejenak dan memandang ke arahku. Mungkin ingin meyakinkan dirinya bahwa aku mau mendengar ceritanya itu. Padahal aku sedang mendengarkan dengan penuh perhatian.

‘Terus bagaimana ?’ tanyaku pendek.

‘Mula-mula aku menganggap ucapannya hanya main-main. Mana mungkin dia akan menggulingkan periuk nasiku dengan cara seperti itu. Tapi dia sangat serius. Dia berulang-ulang mengingatkanku. Aku mulai agak penasaran dan mengingatkan bahwa bukankah tidak ada untungnya baginya membuka cerita itu. Tapi dia tetap bersikeras. Katanya kalau didiamkan, termasuk dia pasti akan celaka suatu hari nanti. Dan dia tidak mau mengambil resiko itu.

Ringkas cerita, nanti akan aku jelaskan lebih rinci kalau kau tertarik, karena aku menolak mengundurkan diri, dia benar-benar melaporkan kepada petugas screening itu bahwa aku adalah anak orang PKI. Aku hampir diseret kepengadilan karena dianggap telah menipu dengan menyembunyikan kebenaran. Untung tidak jadi. Hanya dipecat dengan tidak hormat dari perusahaan tempatku bekerja. Dan tambahan atau bonusnya sesudah itu, beberapa bulan kemudian istriku minta cerai. Dia pergi meninggalkanku.

Itulah kesimpulan dari cerita itu. Tentu ada rinciannya. Tapi aku hanya akan menceritakan kalau kau berminat mendengarkannya lebih jauh,’ Marwan mengakhiri ceritanya sementara.

Aku terperangah mendengarnya. Aku tahu cerita screening. Akupun berkali-kali melaluinya. Menjawab pertanyaan yang memang kadang-kadang menggiring dan menjurus. Yang kalau salah-salah jawab bisa menimbulkan masalah. Tapi karena aku memang tidak punya masalah tidak pernah aku mendapat kesulitan apa-apa. Aku juga mengenal teman sekantor dulu yang juga diberhentikan karena terindikasi terlibat. Bahkan ada yang cucu dari orang PKI juga diberhentikan. Gara-gara dia cucu seorang anggota PKI. Aturan bersih lingkungan di jaman Orde Baru itu memang sangat susah dimengerti.

‘Aku prihatin mendengar ceritamu,’ kataku setelah kami sama-sama hening beberapa saat.

‘Aku bukan minta simpati. Toh ini cerita lama. Sudah dua puluh tahun lebih yang lalu,’ kata Marwan.

‘Teman yang melaporkan itu, kau bilang teman kita. Maksudmu teman satu SMP?’

‘Ya, tapi dibawah kita dua tahun. Mungkin kau tidak mengenalnya. Dia sekampung dengan ayahku. Masih sekampunglah denganku.’

‘Apakah kalian punya masalah di kampung? Kenapa dia sebegitu teganya melakukan itu kepadamu?’

‘Aku tidak yakin bahwa ada masalah. Tapi mungkin dari pihak orang itu seperti ada masalah. Lain lagilah ceritanya,’ kata Marwan.

Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi? Marwan memandang ke depan dengan pandangan setengah kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Kami kembali sama-sama terdiam.

‘Maaf, tapi....... Sebenarnya ayahmu itu benar-benar PKI nggak sih ? Kau bilang beliau bukan orang politik pada dasarnya,’ aku bertanya memecah kesunyian.

‘Panjang lagi ceritanya itu,’ jawabnya.

‘Cobalah ceritakan sedikit!’ kataku.

‘Pada awalnya ayahku tidak pernah tertarik dengan politik. Tapi tidak pula terlalu alergi dengan politik. Ayah menerima bahwa ibu adalah aktifis Masyumi. Seingatku tidak pernah ada masalah. Sampai suatu hari, saudara kembar ayah di bunuh tentara PRRI. Ayah dan pak tangah itu sangat dekat satu sama lain. Ibaratnya kalau yang satu disakiti yang lain benar-benar merasa pula kesakitan. Nah, sesudah saudara kembar beliau itu terbunuh, ayah jadi agak labil. Beliau marah dan benci kepada PRRI, meski yang berbuat itu mungkin hanya oknum saja di kalangan PRRI. Dalam suasana labil itu, ayah didekati atau entah bagaimanalah ceritanya, oleh seseorang yang lebih tua dari ayah. Datuk Rajo Bamegomego gelar beliau, orang sekampung dengan ayah. Beliau ini seorang PKI sejak lama. Pelan-pelan, ayah mulai tertarik dan ikut partai komunis itu.’

‘Dan ayahmu aktif di partai itu?’ aku menyela.

‘Kalau menurut pendapatku beliau hanya ikut-ikutan. Karena di partai itu sepertinya dipupuk rasa kebencian kepada PRRI. Kepada Masyumi dan sebagainya.’

‘Nah, bagaimana dengan ibumu. Kan ibumu justru orang Masyumi?’

‘Disana aku yakin bahwa ayah hanya sekadar ikut-ikutan. Beliau bercerita di rumah, bahwa inyiak Datuk Rajo Bamegomego berkali-kali menyuruh beliau menceraikan saja ibuku. Kenyataannya beliau tidak pernah melakukannya. Dan kadang-kadang di rumah, keluar juga dari mulut beliau tentang ketidakberesan partai komunis itu.’

‘Misalnya?’

‘Kau ingat tidak? Waktu itu di kampung kita diperintahkan menggali lubang perlindungan di setiap pekarangan rumah? Di tahun-tahun 1964?’

‘Ya, aku ingat. Di kampung kami juga ada perintah itu. Aku masih ingat letak lubang perlindungan itu di samping rumah kami. Dalamnya kira-kira satu meter, lebar enam puluh senti meter dan harus dibuat cukup untuk tempat semua penghuni rumah. Katanya waktu itu untuk tempat berlindung seandainya rumah kita diserang tentara Inggeris, waktu kita sedang mengganyang Malaysia,’ jawabku.

‘Ayahku bercerita, dalam rapat disebutkan bahwa lubang itu sebenarnya adalah untuk jadi kuburan penghuni rumah. Siapa saja yang jadi musuh revolusi akan dibunuh, dan mayatnya tinggal dimasukkan ke dalam lubang yang sudah disiapkan itu. Biar tidak mencurigakan, perintah membuat lubang diberikan kepada setiap warga.’

‘Oh ya? Mengerikan sekali. Tapi untunglah, seingatku tidak ada berita ada musuh revolusi yang dibunuh dan dikuburkan ke lubang perlindungan itu. Dan ayahmu bercerita seperti itu di rumah, maksudnya untuk apa?’

‘Untuk menunjukkan bahwa beliau tidak setuju dengan pemikiran itu. Tapi beliau tidak bisa membantahnya di dalam rapat, lalu mengeluarkan ceritanya kepada ibuku di rumah.’

‘Tadi kau bilang, awalnya karena saudara kembar ayahmu dibunuh PRRI sehingga beliau akhirnya ikut-ikutan bersimpati dengan PKI. Memangnya kenapa saudara ayahmu itu dibunuh?’

‘Begini lagi ceritanya,’ Marwan melanjutkan lagi cerita itu.


*****

No comments: