Monday, January 21, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (21)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (21)

21. MENJELANG TAMAT

Desi meneteskan airmata mendengar cerita Marwan. Sebegitu teganya orang itu, katanya. Akupun keluar keringat dingin mendengarnya. Aku tahu persis dengan screening dan peraturan pemerintah tentang bersih lingkungan. Aku juga kenal seorang teman di tempatku bekerja yang diberhentikan karena kakeknya PKI. Kalau dipikir secara logika sehat memang tidak masuk akal. Sedang Allah Sang Maha Pencipta saja sangat pengampun. Maha Pengampun. Tapi dalam hal ini orang yang tidak bersalah yang dihukum, sementara orang yang bersalahnya sendiri mungkin sudah insaf. Dan dalam kasus Marwan, ayahnya sudah pula dihukum. Seandainya ada orang berdosa, berbuat salah lalu minta ampun pasti diampuni Allah. Sedangkan nabi Ibrahim punya orang tua tidak seiman alias kafir sementara beliau sendiri seorang nabi. Tidak ada istilahnya dosa turunan, itu sangat tidak masuk di akal. Katakanlah, seorang ayah bisa saja mempengaruhi anak-anaknya untuk menjadi seorang yang sama dengan dia dalam hal ideologi, tapi bukankah hal seperti itu bisa diperiksa. Apa susahnya untuk memeriksa latar belakang orang seperti Marwan? Bagaimana sepak terjangnya selama hidupnya? Seandainya ada yang mencurigakan, bolehlah ditindak. Atau seorang cucu orang PKI seperti orang sekantorku dulu? Tahu apa sang cucu tentang dosa kakeknya?

Tapi itu fakta. Itu kenyataan yang dicatat sejarah di negeri ini. Suatu kesewenang-wenangan dengan dalih pencegahan.

‘Betul-betul tragis, Wan. Betul-betul tragis kisahmu. Dan sesudah itu kau benar-benar langsung berhenti dari pekerjaan?’ tanyaku.

‘Biar aku teruskan cerita sepulang dari kantor security Pertamina itu.

Aku kembali ke kantor. Di dalam mobil, sopir yang orang Jawa Timur, yang denganku selalu berbahasa Jawa Surabayaan itu bertanya dengan guyon, apakah urusanku beres. Aku jawab, beres. Jadi bisa to mas, aku nitip dibeliin kanguru, katanya. Kujawab, bisa, nanti aku belikan sekebun binatang.

Kami tertawa-tawa dalam mobil, bertiga dengan petugas security dari kantor yang ikut mengantar. Aku tertawa tanpa dibuat-buat. Plong saja dadaku, tidak ada beban sedikitpun.

Di kantor aku temui atasanku. Dia langsung menyapa dan bertanya apakah semuanya OK. Aku jawab dengan tenang semuanya tidak OK. Apa maksudmu, bukankah hari Sabtu ini kamu berangkat ke Perth, tanyanya lagi. Aku ceritakan apa yang baru saja aku alami. Brian Skinner menggebrak meja dan memaki. God damned it, katanya. Justru aku yang bertanya jadinya, kenapa dia sebegitu marah.

Rupanya dia benar-benar sudah berbicara dengan Dick Knox. Bahkan disampaikannya pula ke GM kami karena dia tahu ini masalah besar. Dia tahu bahwa masalah ini serius setelah dia mendapat informasi dari bagian legal di departemen administrasi. Dia bertanya apakah betul ada sangsi dikeluarkan bagi orang yang dinilai tidak bersih lingkungan, dan dia mendapat jawaban, betul. Kepadanya dijelaskan oleh karyawan dari bagian legal apa yang dimaksud bersih lingkungan. Dan GM, mau-maunya memerintahkan Dick Knox agar menasihati anak buahnya untuk tidak membuat kesulitan kepada karyawan lain di kantor ini.

Dan ternyata tidak ada gunanya. Brian, jadi gugup dan nervous. Dia memutar nomor GM yang rupanya tidak ada di tempat. Mungkin sedang meeting ke luar kantor. Dia putar nomor Dick Knox yang ternyata juga tidak ada di tempat. Orang itu bersama-sama Indra pagi hari ini berangkat ke Irian.

Brian menyuruhku tenang. Sebuah saran yang pasti basa basi saja, karena aku yakin tidak ada apapun lagi yang bisa diperbuat. Aku kembali ke ruanganku. Aku teruskan bekerja, meski otakku mulai dibisiki setan sedikit demi sedikit. Bukankah ini benar-benar kurang ajar? Benar-benar keterlaluan? Bahkan seandainya kau bunuhpun pantas rasanya si Indra itu, kata setan.

Untunglah kebiasaan berzikir cepat menyadarkanku. Tidak. Tidak perlu itu. Tenang. Tenang sajalah. Percayalah Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan hamba Nya yang berserah diri. Dikeluarkan dari perusahaan ini bukanlah berarti kiamat. Jangan panik, kata hati kecilku.

***

Di rumah aku beritahu Ita dengan sesabar mungkin tentang apa yang terjadi pada diriku pagi hari itu. Ita menagis histeris. Aku sabarkan dia, agar menerima musibah ini dengan penuh kesabaran. Ini namanya musibah, dan sebagai orang yang beriman kita harus bersabar. Dia mulai agak tenang. Malamnya kami berdiskusi tentang cara menghadapi hidup ke depan. Tapi pada saat berdiskusi itu reaksi Ita jadi kacau kembali. Dia mengumpat habis-habisan kepada Indra yang tidak dia kenal. Dengan mengatakan orang itu manusia iblis. Terkutuk. Aku cegah dia dari mengumbar marah seperti itu yang tidak akan ada gunanya. Dia berbalik marah kepadaku.

‘Uda jangan terlalu sok percaya diri. Harga diri uda dihinakan orang. Periuk nasi uda dipecahkan orang, uda hanya bisa bilang sabar, sabar. Sabar itu kan ada batasnya. Uda berurusan dengan manusia sakit berhati setan, uda masih bisa bilang sabar. Seharusnya uda melakukan sesuatu,’ katanya.

‘Apa yang harus uda lakukan? Melaporkannya ke polisi? Membunuhnya? Orang itu betul-betul sakit jiwa. Uda yakin dia sudah dinasihati atasannya, seperti yang diberitahu oleh atasan uda karena general manejer juga ikut campur. Tapi buktinya dia tetap melapor ke Pertamina. Bahkan diperkuat pula oleh kesaksian mamaknya. Ini semua perbuatan orang-orang sakit jiwa. Dan uda berada dalam posisi yang tidak bisa melawan. Bagaimana uda akan melawan? Dulu, Ita nasihati uda agar membicarakan hal ini dengan atasan uda di kantor, sudah uda lakukan. Bagus reaksi atasan uda itu. Bagus reaksi pihak GM. Tapi orang ini tidak perduli.

Ita sarankan agar uda minta tolong mamak di kampung menghubungi familinya di kampung. Sudah pula uda lakukan. Mak Sinaro sudah berbicara dengan nenek Rohana, adik Datuk Rajo Bamegomego. Dia sanggupi untuk menasihati saudaranya. Uda yakin dia melakukan itu karena uda kenal dari ibu bahwa nenek Rohana itu baik dan jernih pikirannya. Tapi apa yang terjadi? Pak Kahar Sutan Mudo, mamak si Indra itu malah membuat kesaksian di atas kertas bermeterai membuat laporan untuk Pertamina.

Ita, ini skenario Allah. Sesudah terjadi seperti ini, uda meyakininya sebagai takdir Allah. Allah sedang menguji uda. Sedang menguji kita. Bagaimana reaksi kita dihadapan Allah.’

‘Tapi ini terlalu konyol. Terlalu menyakitkan,’ jawab Ita terisak-isak.

***

Pagi besoknya aku dipanggil Brian dan diajak menghadap GM. Aku ditanyai apa yang terjadi di security Pertamina kemarin. Aku ulangi lagi cerita itu. Dia mengangguk-angguk mendengar ceritaku.

‘Apakah kamu yakin kamu pasti diberhentikan gara-gara itu ?’ tanyanya.

‘Seperti itu yang kemarin mereka katakan sebagai resiko paling ringan. Resiko paling berat saya akan diajukan ke pengadilan karena berbohong tentang informasi yang sangat penting.’

‘Ke pengadilan?’ tanyanya heran.

‘Begitu kata petugas yang kemarin berbicara dengan saya,’ jawabku.

‘Apakah mungkin ada orang yang akan mengaku bahwa ayahnya PKI, meski seandainya ayahnya memang PKI ketika melamar pekerjaan?’ tanya GM itu.

Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Aku diam saja.

‘Apa rencanamu kalau keputusan itu jatuh?’ tanyanya lagi.

‘Belum tahu,’ jawabku singkat.

‘Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku sangat bersimpati degan masalahmu. Perusahaan akan melakukan yang terbaik yang bisa diperbuat untukmu. Hanya itu yang dapat saya katakan. Oh ya, saya akan konfrontir dengan Indra untuk mengkonfirmasi bahwa memang dia yang membuat laporan itu. Kau setuju?’

‘Pertama terima kasih atas simpati anda. Kedua saya tidak merasa perlu di konfrontir dengan orang itu. Tidak ada gunanya,’ jawabku.

***

Aku dipanggil dua kali lagi ke kantor security Pertamina. Hanya dalam waktu sepuluh hari. Untuk diinterogasi lagi. Untuk ditanya pertanyaan yang itu-itu lagi. Aku tidak pernah bergairah untuk menjawabnya.

Dari kampung aku terima sebuah surat dari mamakku. Surat pernyataan kesaksian dari empat orang yang menyaksikan bahwa ayahku, dulu di awal tahun 1965 menyatakan di depan umum bahwa beliau keluar dari partai komunis, sesudah perlakuan pemimpin PKI menghukum beliau secara fisik dengan mengurung beliau satu hari satu malam karena beliau kedapatan masih melakukan shalat ketika berlangsung rapat PKI di kota Padang. Akibat pernyataan beliau keluar dari partai itu, rumah istri beliau dibakar oleh orang PKI. Surat pernyataan itu ditanda tangani empat orang saksi, Rusyad gelar Katik Sati, Tamimi gelar Sutan Mantari Gobah, Khaidir gelar Malin Basa dan Mukhtar gelar Sutan Sampono. Surat itu disahkan oleh Kepala Desa / Wali Jorong, tertanda Marlis gelar Sutan Pamuncak Nan Basa.

Aku serahkan juga surat itu kepada petugas security. Surat itu akan dijadikan pertimbangan, kata kepala security waktu itu. Sementara ini terhitung tanggal 1 Oktober saudara diminta non aktif dari kantor, menunggu keputusan final dewan pimpinan security Pertamina, kata petugas itu.

Aku pulang dengan pikiran sangat mumet. Tidak semudah itu urusan ini bisa selesai rupanya. Maksudku selesai dengan langsung saja mengatakan bahwa aku diberhentikan. Apa lagi yang mereka cari? Bukankah mereka bertugas membersihkan lingkungan? Dan mereka sudah membuktikan bahwa aku berasal dari lingkungan yang tidak bersih, menurut kaca mata mereka? Lalu kenapa masih bertele-tele? Aku bukan sok jagoan. Bukan sok tidak sabaran. Aku hanya sudah terlalu letih. Terlalu capek.

***

Di kantor aku tetap bekerja. Semampuku. Menyelesaikan tugas dan pekerjaanku dengan sebaik yang aku bisa. Aku biasanya selalu sibuk dan banyak pekerjaan, dengan laporan-laporan pekerjaan dari lapangan.

Pada siang hari ketika aku kembali dari kantor security Pertamina yang ketiga kali, aku ditelpon Dick Knox. Dia menyuruhku datang ke ruangannya. Dan aku datang tanpa memikirkan apa yang akan dikatakannya. Di kantornya sedang ada Indra. Aku sapa kedua orang itu, dengan senyum. Dan aku tanya, ada perlu apa dia memanggilku.

‘Aku telah mendengar masalahmu,’ katanya membuka pembicaraan.

‘OK,’ jawabku singkat.

‘Aku sangat prihatin dan bersimpati kepadamu,’ katanya.

‘Baik, terima kasih,’ jawabku singkat.

‘Aku ingin bertanya kepadamu.......’ katanya ragu-ragu.

‘Silahkan,’ kataku singkat. Selalu aku jawab singkat-singkat saja.

Sementara itu terdengar bunyi tapak kaki orang datang. Dugaanku, orang itu Brian, atasanku. Aku kenal suara ketukan sepatunya. Apakah dia hanya kebetulan lewat atau menuju ke ruangan ini? Tapi aku tidak mau menoleh. Aku masih menunggu kata-kata Dick Knox yang masih ragu-ragu. Brian muncul di pintu, mengucapkan salam dan bertanya kalau dia boleh masuk. Dick mengijinkannya masuk. Aku perhatikan si Indra dengan tampang yang aneh sekarang. Bukan dengan tampang biasanya yang aku menyebut tampang orang sakit jiwa.

‘Apa yang kalian bicarakan?’ tanya Brian.

‘Aku bersimpati kepada Marwan,’ kata Dick Knox.

‘Tadi kau bilang kau ingin menanyakan sesuatu! Tanyakanlah!’ aku mengingatkannya.

‘Baik... Aku ingin menanyakan. Bagaimana pandanganmu tentang orang ini?’ tanyanya sambil memberi isyarat ke arah Indra.

Aku tidak segera menjawab. Pertanyaan itu terlalu mengambang. Pertanyaan macam apa ini? Memang apa yang akan dilakukannya terhadap Indra?

‘Pandangan apa maksudmu?’ tanyaku.

‘Pandanganmu. Atau perasaanmu atas apa yang dia lakukan yang menyebabkan kau mendapat masalah,’ katanya.

‘Perlukah aku jawab pertanyaan itu? Aku kira dia sudah mengerjakan sebuah tugas penting yang berat. Dan dia telah mengerjakannya dengan sangat baik.’

‘Bagaimana pendapatmu kalau dia aku pecat?’

‘Dick, maaf. Itu bukan urusanku.’

‘Aku tidak suka dengan manusia bajingan seperti dia ini,’ katanya lagi.

‘Dick! Itu urusanmu. Tidak usah melibatkan aku,’ jawabku tenang.

‘Maksudmu? Apakah kau memaafkannya?’

‘Itu juga bukan urusanmu,’ jawabku.

‘Kau takut kepadanya?’ tanyanya memancing.

‘Takut kenapa?’ aku agak terpancing.

‘Kalau kau mengatakan setuju dia aku pecat, apakah kau takut dia akan menyerangmu?’

‘Dia tidak akan sanggup menyerangku,’ jawabku.

‘Aku ingin kau tahu bahwa aku memecatnya,’ kata Dick Knox.

‘Sudahlah. Aku yakin itu bukan urusanku. Masih ada yang lain yang ingin kau katakan?’ tanyaku.

‘Tidak,’ jawabnya.

Brian Skinner mungkin masih penasaran. Dia mengajukan pertanyaan bodoh kepada Indra.

‘Kenapa kau lakukan hal itu?’ tanyanya.

Indra yang wajahnya sekarang pucat itu tidak berani menjawab. Sepertinya dia menangis.

Aku minta ijin untuk keluar dari ruangan itu. Brian Skinner mengikutiku. Kami tidak berkata-kata apapun. Aku kembali ke ruanganku. Beberapa orang rekan datang bertanya tentang perkembangan terakhir statusku. Aku jawab bahwa aku sudah menjelang tamat.’


*****

No comments: