Tuesday, February 26, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.15)


15. Memancing Di ’Tabek’

Pagi itu Aswin terbangun saat mendengar suara orang mengaji di mesjid. Saat jam menunjukkan pukul setengah lima pagi. Dibangunkannya Pohan, dan diajaknya pergi shalat subuh ke mesjid. Pohan setuju. Dan mereka pergi ke mesjid. Sesudah shalat subuh, Aswin mengajak pergi berjalan-jalan di kampung. Meskipun udara sebenarnya cukup dingin subuh itu. Mereka berjalan santai mengikuti jalan arah ke Sianok. Cukup jauh juga mereka berjalan kaki sebelum berbalik kembali pulang ke rumah. Waktu mereka sampai di rumah hari sudah mulai terang. Di rumah hanya ada nenek sendirian.

‘Where have you been?’ tanya nenek ketika melihat Aswin masuk rumah, sendirian.

Aswin menjawab dalam bahasa Inggeris juga, mengatakan bahwa mereka baru saja pergi berjalan kaki sesudah shalat subuh di mesjid. Dan Aswin menanyakan kemana etek. Nenek menjawab, ‘She is going out to buy ‘ketupat’ for breakfast.’

Mereka berbincang-bincang berdua, in full English, sementara Pohan masih belum masuk rumah. Entah kemana dia mampir. Nenek menanyakan tentang tempat mana saja yang mereka kunjungi kemarin, bagaimana kesan Aswin tentang apa yang dilihatnya, dan kemana rencana hari ini. Aswin menjelaskan semuanya, dan memuji semua yang sudah dilihatnya sampai tadi malam, termasuk pertunjukan tari-tarian yang disebutnya spectacular.

Tidak lama kemudian Pohan muncul membawa dua buah tangkai pancing. Aswin tidak mengerti apa yang dipegangnya itu.

‘Kamu dari mana? Dan itu apa?’ tanya Aswin.

‘Dari mengambil pancing-pancing ini di belakang rumah di sebelah,’ jawab Pohan.

‘Pancing? Apa hari ini kita tidak jadi beristirahat saja dan tidak usah pergi?’ Aswin bertanya lagi.

‘Justru itu. Nanti kita mancing,’ jawab Pohan pula.

‘Mancing? Maksudmu kita pergi ke Paya Kumbuh, begitu?’

Pohan tertawa mendengarnya.

‘Bukan di Paya Kumbuh. Kita mancing di tabek di belakang rumah di sebelah sana,’ kata Pohan pula.

‘O o… Jadi kita juga bisa memancing di tabek di belakang rumah. Aku pikir harus pergi ke Paya Kumbuh. Kemarin kamu bilang di Paya Kumbuh banyak kolam tempat memancing.’

‘Betul. Tapi tidak hanya di Paya Kumbuh saja tempat memancing,’ jawab Pohan pula.

Terdengar suara mobil. Rupanya etek yang datang. Etek pergi membeli ketupat sayur ke Koto Tuo. Mereka sarapan dengan ketupat sayur, sambil berbincang-bincang. Aswin juga menyukai ketupat sayur.

Nenek yang banyak tanya pagi ini. Dan nenek selalu berbicara dalam bahasa Inggeris. Entah kenapa beliau sengaja benar berbahasa Inggeris. Mungkin lagi senang saja menunjukkan kemampuan beliau yang memang sangat sempurna. Dan Aswin melayaninya, berbahasa Inggeris. Pohan dan etek tersenyum-senyum saja mendengar pembicaraan mereka.

‘Apakah ‘tabek’ mempunyai arti kata lain selain kolam?’ tanya Aswin.

‘No. Tabek in Bahaso Minang means pool,’ jawab nenek.

Aswin lalu menanyakan apa arti ’tabek patah’. Dan nenek menerangkan, tetap berbahasa Inggeris, itu bisa saja berarti, dua kolam yang berbatasan satu pematang perantara tapi permukaan keduanya tidak sama tinggi sehingga terlihat seolah-olah patah. Aswin terkagum-kagum mendengar keterangan itu. Jawaban itu sangat ilmiah, katanya. Kenampakan seperti itu, kalau memang demikian adanya, dalam ilmu geologi memang disebut patahan.

’Jadi kalian tidak akan pergi-pergi hari ini?’ tanya etek.

’Tidak. Biar Pohan beristirahat dari menyetir hari ini,’ jawab Aswin.

’Dan kami akan memancing di ’tabek’ belakang,’ ujar Pohan.

’Apakah di dalamnya banyak ikan?’ tanya Aswin pula.

’Banyak. Pergilah pancing. Nanti etek buatkan gulai ikan atau ikan goreng,’ usul etek.

’Waaw. Saya suka sekali ikan. Digulai... digoreng kering.. mmh,’ Aswin menelan ludah membayangkannya.

‘Mana yang lebih kamu sukai? Digoreng atau digulai?’ tanya etek pula.

‘Yang mana saja. Saya suka ikan diapakan saja,’ jawab Aswin.

’Tapi ini ikan air tawar. Mungkin kamu belum pernah mencobanya,’ Pohan mengingatkan.

’Oo pernah. Di restoran Cina, aku pernah makan ikan mas digoreng kering. Ayo, jam berapa kita memancing?’ tanya Aswin lagi.

‘Bisa sekarang, kalau kamu mau. Sehabis sarapan ini,’ ujar Pohan.

’OK. Aku sudah siap. Pasti menarik juga acara memancing,’ komentar Aswin.

’Ya. Siapa saja yang pulang kampung pasti menyempatkan memancing di belakang itu,’ kata etek pula.

’Tabek’ terletak di belakang rumah gadang bergonjong. Tabek milik kaum. Dan etek Rasuna mengupah orang lain untuk merawatnya. Di kampung ini memang banyak orang yang bukan asli Koto Gadang mendapat pekerjaan seperti mengerjakan sawah dengan berbagi hasil, menguruskan kebun bahkan memelihara rumah yang ditinggal pemiliknya merantau. Orang-orang pendatang seperti itu tinggal di rumah-rumah rancak, boleh mengambil hasil kebun di sekitar rumah, mengerjakan sawah dengan berbagi hasil. Bahkan adakalanya diberi upah pula oleh pemiliknya.

Dengan demikian, ’tabek’ di belakang rumah itu sangat terawat. Banyak ikan di dalamnya dan ikannya besar-besar. Ada ikan gurami, ikan mas, ikan tawes, mujair dan lele. Di sekelilingnya di buat beberapa buah pondok-pondok kecil dengan bangku-bangku dari bambu, tempat duduk memancing. Sering juga orang dari Bukit Tinggi datang minta ijin untuk memancing di ’tabek’ ini, karena ’memancing’ merupakan hobi orang ’kota’. Kalau diijinkan mereka bersedia membayar. Tapi oleh etek tidak diijinkan. Kolam itu memang disiapkan untuk jadi tempat hiburan bagi sanak famili yang pulang kampung.

Aswin dan Pohan mengambil tempat di bangku-bangku yang membelakangi matahari. Di hadapan mereka terlihat gunung Singgalang. Mereka mulai memancing. Umpannya adalah campuran yang terbuat dari tepung ketan dan gilingan daging ayam yang dilumatkan dan dimasak sehingga jadi seperti kalamai yang lengket. Umpan hasil kreasi Pohan. Dan umpan ini sangat digemari ikan-ikan. Baru saja mereka duduk sekitar lima menit, Pohan sudah berhasil mendapatkan seekor ikan mas seukuran setengah kilo. Dan tidak lama kemudian pancing Aswin juga ditarik ikan. Kali ini seekor ikan lele.

’Hati-hati kamu. Ikan itu ada durinya dan tajam,’ Pohan mengingatkan.

Ternyata memancing ini juga ’a lot of fun’ kata Aswin. Mereka menyepakati tidak akan mengambil kecuali ikan yang beratnya setengah kilo atau lebih. Tiap kali ikan kecil terpancing mereka lepaskan kembali. Dan yang memenuhi kriteria itu hanyalah ikan-ikan mas. Sampai jam sembilan pagi mereka telah mendapatkan sepuluh ekor ikan besar-besar. Ikan-ikan itu sementara ditempatkan dalam sebuah ember besar berisi air agar tidak mati. Nenek dan etek ikut datang ke pinggir ’tabek’ melihat mereka memancing. Mungkin karena mendengar suara mereka yang riuh setiap kali mendapatkan ikan di mata pancing. Nenek juga ikut senang melihat anak-anak muda itu keriangan. Aswin menawarkan apakah nenek juga mau mencoba memancing. Dan nenek menerima tawaran itu. Tangan beliau masih kuat mengayun untuk melemparkan benang pancing jauh ke tengah. Sama kuatnya waktu menarik tangkai pancing yang digantungi ikan.

Tapi akhirnya mereka kecapekan. Karena hari mulai panas. Dan ikan tidak seperti awal-awal tadi lagi mudahnya dipancing. Mungkin ikan juga sudah mulai kepanasan dan tidak bernafsu memakan umpan. Ikan hasil pancingan disuruh bersihkan etek kepada tek Sarah, istri dari orang yang merawat ’tabek’.

Dan siang itu mereka pesta makan ikan mas goreng kering dan sambalado. Aswin ternyata benar-benar seorang penikmat ikan. Dia makan sampai bercucuran keringat. Etek juga membuat pangek ikan tapi mengusulkan untuk dimakan saat makan malam biar ikannya lebih empuk.

Sehabis makan siang Aswin menamatkan membaca buku-buku yang dibelinya kemarin. Dan sore harinya mereka berkeliling naik sepeda sampai ke ngarai Sianok. Meski tidak pergi ke tempat yang jauh hari ini, ternyata banyak juga hal yang menyenangkan yang mereka lalui.

Dan malamnya mereka kembali pesta makan dengan ikan hasil tangkapan tadi pagi. Ikan yang dipangek seperti gulai Kapau. Dan ada pula belut kering digoreng belado. Bergelintin-pintin rasanya. Etek memang seorang juara dalam memasak. Sesudah makan mereka kembali terlibat dalam obrolan. Obrolan yang bagai tidak ada habis-habisnya. Banyak tanya Aswin. Tentang Negeri Minangkabau, tentang adat orang Minang, tentang sejarahnya, tentang kebiasaan pergi merantau sampai tak seorangpun dari anggota keluarga yang tinggal di kampung, dan sebagainya. Dan nenek menjawab hampir semua pertanyaan itu. Nenek memang sangat luas pengetahuannya. Kadang-kadang cerita itu disela oleh etek atau Pohan yang bertanya tentang pengalaman pelancongan Aswin ke tempat-tempat lain. Dan Aswinpun pandai pula berkisah, bercerita tentang apa yang pernah dilihatnya.

Jam setengah sepuluh nenek sudah mengantuk. Dan beliau menyarankan agar semua pergi tidur karena besok akan pergi lagi melancong. Ya, besok mereka akan pergi ke Padang melalui Maninjau, Lubuk Basung, Tiku, Pariaman, Lubuk Alung dan terus ke Padang.

*****

No comments: