Tuesday, October 7, 2008

SANG AMANAH (5)

(5)

Pak Umar bergegas menuju ke tempat parkir motor. Pikirannya terpusat kepada keadaan Amir yang saat ini sedang ditangani dokter di rumah sakit Harmoni. ‘Ya Allah, mudah-mudahan Engkau lindungi anak hamba itu,’ pinta pak Umar dalam doa di hatinya. Di dekat tempat parkir itu ada dua orang murid sedang berjongkok seperti mencari sesuatu di selokan. Pak Umar langsung menegor mereka.

‘Sedang melakukan apa kalian di sini? Apa kalian tidak belajar di kelas?’

Kedua anak itu terkejut dan menoleh ke arah pak Umar. Keduanya berubah pucat dan menggigigil ketakutan seperti sedang melihat hantu.

‘Eh nggak.. anu pak. Kami minta izin keluar kelas sebentar karena ada keperluan.’

‘Apa kalian sedang belajar biologi pagi ini? Apa yang kalian cari di got itu?’

‘Bukan pak. Eh anu… pak. Maaf pak… kami mau kembali ke kelas.’

‘Siapa nama kalian?’

Kedua anak itu berpandangan satu sama lain dengan sangat ketakutan tapi tidak menjawab pertanyaan itu.

‘Ada apa dengan kalian ini? Siapa nama kalian dan dari kelas berapa?’

Sekarang mereka benar-benar hampir pingsan. Ingin rasanya mereka cepat-cepat lari dari sana tapi bagaimana mungkin? Mereka benar-benar telah tertangkap basah biarpun pak kepala sekolah yang baru ini tidak tahu kesalahan mereka.

‘Hei kenapa kalian diam saja? Hayo jawab! Siapa nama kalian?’

‘Saya Iwan Tirta pak. Kelas dua C dan dia ini Adrianto pak. Kami sekelas.’

‘Ya sudah. Kalian pergi masuk kelas.’

Keduanya bergegas pergi. Tidak menuju kelas tapi mengendap-endap menuju ke arah gerbang. Tapi… ya ampun. Di sana sedang berdiri pak Suprapto memandang ke arah mereka. Tidak mungkin maju terus ke arah sana. Mereka merubah langkah ke arah tempat parkir mobil. Namun pak Suprapto sudah melihat mereka dan berteriak memanggil.

‘Iwan.. Adrianto… kemari kalian!’

Kedua anak itu berpandang-pandangan. Keduanya semakin pucat. Keduanya semakin menggigil ketakutan. Tapi keduanya terpaksa sekali harus mendatangi pak Suprapto.

‘Ya, pak.’

‘Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian pucat begini. Coba mendekat ke sini!’

Pak Suprapto mengamati kedua anak itu penuh kecurigaan. Mencoba mendekatkan hidungnya ke arah mulut mereka. Tidak tercium bau yang mencurigakan.

‘Kalian ikut saya ke kantor!’

‘Anu pak. Anto sakit. Saya mau mengantarnya pulang.’

‘Jangan bohong kamu. Kamu pun sakit. Saya akan menggeledah kalian berdua. Ada apa dengan kalian berdua ini? Tadi kalian ikut upacara, nggak?’

‘Ah .. eh.. ya pak. Ikut pak.’

‘Benar? Kalian tidak berbohong? Baik. Saya akan tanyai teman-teman kalian. Sekarang ikut ke kantor saya.’

Keduanya tidak bisa berkutik lagi. Habislah harapan mereka. Keduanya terpaksa mengikuti pak Suprapto dari belakang. Anto ingin rasanya berbuat nekad melarikan diri, tapi lututnya gemetar. Tidak mungkin dia bisa lolos. Seandainya dia lari ke arah gerbang itu, biar pak Suprapto tidak sanggup mengejarnya, di sana ada petugas Satpam. Dia pasti akan dengan mudah ditangkap petugas Satpam bertubuh kekar itu. Ya sudahlah. Mungkin ini akan menjadi akhir petualangan kenakalannya di sekolah ini. Mungkin dia akan dikeluarkan dari sekolah ini. Dia sudah berkali-kali berurusan dengan jenderal, eh.. dengan pak Suprapto. Bahkan dia yang mula-mula mempopulerkan panggilan ‘jenderal’ itu. Tiba-tiba ia ingat mami. Mami yang menghabiskan banyak waktunya di tempat tidur karena sakit. Dia ingat mami pasti akan sangat kecewa dengan dia. Dan penyakit mami pasti akan bertambah gara-gara ini. Padahal dia sudah berjanji sama mami akan merubah sikapnya. Akan jadi anak baik-baik. Dia ingin membahagiakan mami. Dia ingin mami sembuh. Mami sudah terlalu banyak menderita gara-gara papi. Gara-gara papi mau kawin lagi. Apalagi kalau papi tahu. Papi akan bertambah mengomel-omeli mami. Dan mami akan bertambah pilu. Mami akan bertambah parah sakitnya. Ah. Dia anak yang sangat menyusahkan. Dia selalu saja menyusahkan.

Lamunan panjang Anto terhenti waktu dari arah sana pak Umar berjalan tergopoh-gopoh. Pak Suprapto memandang pak Umar dengan pandangan heran dan bertanya.

‘Tidak jadi ke rumah sakit pak Umar? Pak Umar dari mana?’

‘Jadi pak. Saya akan berangkat sekarang.’

‘Oh. Saya pikir tadi sudah berangkat. Maaf apakah pak Umar ada kesulitan? Maksud saya mungkin perlu uang barangkali untuk di rumah sakit?’

‘Terima kasih, pak. Tidak. Saya punya uang. Saya berangkat pak.’

‘Baik kalau begitu. Tapi? Pak Umar naik apa? Kok berjalannya ke arah sana?’

Pak Suprapto bertambah heran ketika melihat pak Umar berjalan kaki tergopoh-gopoh menuju pintu gerbang.

‘Naik kendaraan umum pak.’

Pak Umar mempercepat langkahnya. Petugas Satpam memandang heran kepada pak Umar yang mengangguk kepadanya dan bergegas menghampiri tukang ojek. Pak Umar menaiki ojek motor itu dan terus berlalu. Pak Suprapto yang memperhatikan semua itu dari jauh tidak kalah heran. Ada apa dengan pak Umar? Anto dan Iwan memperhatikan juga dengan wajah kebingungan.


*****


Anto dan Iwan dibawa ke kantor pak Suprapto. Keduanya pucat pasi. Keduanya menggigil ketakutan. Keduanya seperti sedang sakit parah. Pak Suprapto menyuruh panggil pak Hardjono atau pak Mursyid. Kebetulan hanya pak Mursyid yang ada sementara pak Hardjono sedang mengajar. Pak Suprapto menyuruh petugas Tata Usaha mengambil tas sekolah kedua anak ini dan menyuruh panggil empat orang murid kelas dua C yang biasanya akrab dengan mereka. Pak Mursyid yang pergi memanggil anak-anak itu. Empat orang itu segera datang. Herman, Lutfi, Djoko dan Bambang. Keempat anak itu juga harus membawa tas sekolah mereka. Sapto tidak ikut. Sapto berbuat seolah-olah bukan teman akrab Anto dan Iwan.

Pak Suprapto meminta pak Mursyid menggeledah keenam tas anak-anak itu. Menggeledah kantong baju dan celana mereka. Pak Mursyid bahkan menyuruh mereka melepas pakaian sehingga yang tinggal hanya pakaian dalam saja. Sesudah itu semua mereka disuruh mengambil air seni masing-masing bergantian untuk diperiksa. Pak Suprapto menduga bahwa ini pasti kasus narkoba. Tetapi tidak ada bukti sedikitpun. Tidak ada yang ditemukan dari tas maupun dari kantong mereka. Herman, Lutfi, Djoko dan Bambang diizinkan kembali ke kelas, tapi Iwan dan Anto tetap ditahan.

Pak Suprapto mulai menginterogasi mereka.

‘Ada apa dengan kalian? Lebih baik mengaku saja karena pasti akan ketahuan juga. Apa yang telah kalian lakukan?’

‘Tidak pak…. Anu pak… kami.. anu pak..’ Anto tergagap-gagap.

‘Berbicara yang benar! Kalian anak laki-laki, ngomongnya kok seperti anak perempuan. Hayo! Ada apa dengan kalian?’ desak pak Suprapto.

‘Anu pak… Kami… Saya minta maaf pak. Saya yang bersalah, Iwan hanya ikut-ikutan saja. Saya yang melakukan.’

‘Baik… melakukan apa? Apa yang kalian perbuat?’

‘Saya telah mencoret-coret Vespa bapak Kepala Sekolah yang baru itu pak. Saya tidak tahu kalau beliau itu pengganti bapak.’

‘Mencoret-coret Vespanya?’(‘Oo.. jadi dia masih naik Vespa seperti lima tahun yang lalu itu?’) Pak Suprapto baru sadar. ‘Apa yang kalian tulis? Dengan apa kalian coret?’

‘Dengan cat semprot pak.’

‘Apa yang kalian tulis?’

‘Anu pak…. heh…anu pak.’

‘Kalau begitu hayo kita lihat ke sana! Kalian tunjukkan dimana Vespa itu berada sekarang!’

Dengan tubuh gemetaran seperti orang sakit parah, kedua murid bandel yang malang itu digiring ketempat parkir motor diikuti pak Suprapto dan pak Mursyid. Vespa itu masih di sana. Tulisan ‘sok tau lo’ terbaca dari kejauhan. Rupanya ini ulah anak-anak bandel ini, pikir pak Suprapto. Apa pak Umar tidak memakai kendaraannya untuk pergi ke Rumah Sakit karena coretan itu? Setelah dekat betul pak Mursyid melihat ketidak beresan lain dari Vespa itu.

‘Wah bannya kempes pak. Kedua-duanya lagi. Jangan-jangan anak-anak ini juga yang menjahili.’ kata pak Mursyid.

‘Apa yang kalian lakukan dengan bannya?’ bentak pak Mursyid.

‘Saya lepas anginnya pak dan pentilnya saya buang.’ Anto mengaku dengan pasrah.

Pak Mursyid hampir saja menempeleng Anto kalau tidak cepat di cegah pak Suprapto.

‘Baik, kalau begitu cukup jelas sekarang mengenai urusan kalian. Hayo, kita selesaikan di ruangan saya.’

Mereka kembali digiring ke kantor kepala sekolah dan interogasi dilanjutkan. Pak Suprapto meminta pak Mursyid ikut serta menanyai anak-anak itu.

‘Kapan perbuatan jahil itu kalian lakukan?’

‘Tadi pagi pak. Sebelum upacara.’

‘Sekarang coba kamu jelaskan, apa alasan kalian menjahili Vespa pak Umar. Bukankah kalian belum kenal dengan pak Umar sebelum ini?’

‘Belum pak.’

‘Lalu?’

‘Kejadiannya begini pak. Tadi pagi ada yang mau berantam pak. Ada yang mau duel. Kami sedang ramai-ramai mau menyaksikannya. Tiba-tiba kami dibentak pak Umar menanyakan apa yang kami lakukan. Duelnya batal, pak. Saya tidak tahu beliau itu siapa, pak. Tapi saya melihat beliau itu yang tadi datang mengendarai Vespa. Saya kesal, lalu saya jahili Vespa beliau itu, pak. Tapi setelah bapak memperkenalkan bahwa beliau itu calon pengganti bapak, kami ketakutan. Saya ketakutan dan mengajak Iwan menemani saya mencari pentil ban Vespa yang saya buang di got. Waktu kami sedang mencari itu, pak Umar itu datang ke tempat parkir sepeda motor. Kami tambah ketakutan. Beliau menanyakan apa yang kami lakukan. Beliau menanyakan nama kami berdua dan dari kelas mana. Setelah itu beliau menyuruh kami kembali ke kelas. Saya tadinya mau mengajak Iwan kabur dari sekolah, tapi kepergok bapak di gerbang. Itulah yang terjadi pak.’

Pak Suprapto berpandang-pandangan dengan pak Mursyid, hampir tak percaya.

‘Baiklah. Saya ingin kamu mengulangi cerita ini di depan orang tua kamu. Sekarang beritahukan berapa nomor telepon orang tua kamu, karena saya akan memintanya segera datang sekarang juga.’

‘Saya minta maaf pak. Mohon jangan bapak panggil orang tua saya ke sini pak. Saya mohon dengan sangat. Saya bersedia bapak hukum apa saja.’

‘O..itu tidak bisa. Kekurang ajaran kamu ini harus diketahui juga oleh orang tua kamu. Berikan nomor teleponnya atau handphonenya sekarang!’

‘Saya benar-benar memohon pak. Akibatnya bisa fatal pak.’

‘Fatal? Fatal untuk kamu? Apa kamu diancam akan dibunuh orang tua kamu kalau mereka tahu bagaimana kurang ajarnya kamu? Apa kamu ini di rumah anak yang sangat baik? Tidak. Bagaimana juapun orang tua kamu harus diberi tahu. Ini bukan sekedar perbuatan iseng, tapi sudah menjurus ke kriminalitas. Kamu tahu, pak Umar itu barusan bergegas mau ke rumah sakit karena dia dapat telepon anaknya mengalami kecelakaan. Tapi dia tidak bisa menggunakan kendaraannya karena kejahatan yang kamu lakukan. Kalau kamu tidak mau memberi tahu nomor telepon orang tua kamu, saya akan mencarinya di Tata Usaha.’

‘Pak. Sekali lagi saya mohon maaf. Saya akan menerima hukuman apapun yang akan bapak berikan kepada saya. Tapi mohon jangan telepon ibu saya. Ibu saya sedang sakit di rumah. Ibu saya menghabiskan hari-hari beliau di tempat tidur. Beliau menderita kanker. Kalau beliau diberi tahu tentang saya sekarang, saya takut ibu saya tidak akan kuat menerimanya.’

‘Kalau begitu saya akan telepon ayah kamu.’

‘Bahkan akan lebih gawat pak. Orang tua saya dalam proses mau bercerai. Ayah saya selalu memarah-marahi ibu. Sedang ibu saya dalam keadaan sakit. Saya tidak takut untuk ditempelengi ayah, tapi saya takut kalau ibu dibentak-bentak ayah, penyakit ibu akan semakin parah.’

‘Kalau tahu begitu kenapa kamu masih berlaku kurang ajar di sini?’

‘Saya mengaku salah pak. Saya minta maaf. Saya akan minta maaf kepada pak Umar. Saya akan pasrah seandainya bapak mau memukul saya. Atau mau menghukum saya dengan hukuman apapun.’

‘Bagaimana kalau kamu saya keluarkan dari sekolah ini?’

‘Itupun akan saya terima pak. Dan saya harus berpura-pura kepada ibu saya bahwa saya masih tetap sekolah. Dan saya akan mencoba mencari sekolah lain diam-diam dan menjaga jangan sampai ibu saya tahu.’

‘Baiklah. Saya tangguhkan hukuman kamu sampai pak Umar kembali. Saya akan jelaskan cerita ini nanti kepada pak Umar. Bukan…bukan begitu. Kamu yang harus mengulangi penjelasan ini nanti kepada pak Umar. Sekarang, kalian berdua, kalian bongkar ban Vespa pak Umar itu dan kalian bawa ke tukang ban untuk dipompa kembali. Setelah itu kalian pasang kembali. Dan kalian usahakan menutupi coret-coretan di sepeda motor itu paling tidak agar tulisannya tidak terbaca lagi. Seandainya pak Umar memaafkan kalian, terutama kamu Adrianto, maka ini merupakan peringatan terakhir untuk kamu. Kalau kamu melakukan lagi hal-hal kurang ajar sesudah ini, kamu segera dikeluarkan. Kamu akan diberi surat peringatan yang akan di tempel di ruangan guru sehingga setiap guru akan mengawasi kamu secara khusus. Sekarang kalian pergi lakukan yang saya katakan!’


*****

No comments: