Thursday, October 23, 2008

SANG AMANAH (31)

(31)

‘Maksudnya?’

‘Kok sendirian aja? Kan tukang harusnya banyakan?’

‘Lha..kan ini udah berdua..?’

‘Tapi saya ini kepala sekolah!’

‘Ya nggak apa-apa…Bisa jadi tukang batu juga, toh? Kita kerja berdua. Biar bangunannya cepat selesai.’

‘Lha terus? Saya kerja apa?’

‘Katanya kepala sekolah? Kok nanya lagi sih?’

‘Terus tukangnya yang lain?’

‘Ya sampeyan ini.’

‘Lha terus? Saya kerja apa?’

‘Ooo baik..baik.. Sampeyan kerjanya bikin halus batu bata ini, buat mlester temboknya nanti.’

‘Ngalusinnya pakai apa? Saya ini belum pengalaman jadi tukang. Pengalaman saya cuman jadi kepala sekolah. Jadi dikasih tahu dong.. Ngalusinnya bagaimana?’

‘Ngalusinnya dikunyah-kunyah… Dipecah-pecah dulu sebesar telor ayam..habis itu dikunyah-kunyah…Jangan sampai ketelan!’

‘Yaa… emangnya ini ketupat?…. dikunyah-kunyah?!’

‘Bukan…. ini lontong… Sampeyan ini katanya kepala sekolah, apa benar?’

‘Iya..benar..’

‘Berarti pak Suprapto dong…..’

‘Dari tadi tak bilang….aku iki Suprapto…kepala sekolah di sini. Kok sampeyan linglung begini sih? Katanya tukang!’

‘Lha ini mau mbangun lagi bakal apaan? Wong sekolah segini gede. Mau jualan kelas ya?’

‘Heh! Murid di sini kebanyakan, tau nggak?’

‘Terus?’

‘Kelasnya nggak cukup…makanya mau tak bangun lagi!’

‘Jadi…… yang mau mbangunnya itu sampeyan to?’

‘Yang punya proyek…Yang bangunnya ya situuu!’

‘Ya udah. Mau bangunnya berapa kelas nih?’

‘Enam kelas.’

‘Ooooo nggak bisa…terlalu dikit…saya nggak mau kalau cuman enam…rugi!’

‘Lha…maunya berapa?’

‘Sedikitnya dua puluh.’

‘Gile beneeer…. dari mana dokunya…dua puluh….? Ya udah… kalau mau bikinin sepuluh…kalau nggak mau ya udah…tak cari tukang lain.’

‘E..e..e..eit ntar dulu…jangan cepet ngambeg. Masa kepala sekolah ngambeg?’

‘Mau bikinin sepuluh nggak?’

‘Ya..mau..mau..mau deh. Mau diambilnya kapan?’

‘Diambilnya kapan???? Ini bukan pesan martabak.’

‘Oh ya…bukan martabak. Mau selesainya ding? Selesainya kapan?’

‘Bisanya kapan?’

‘Ntar juga bisa…’

‘Ya udah…ntar sore tak ambil..’

‘Yeeee…katanya bukan martabak!’

Dua orang wali murid datang, menanyakan kalau sekolah nya sudah jadi.

‘Selamat siang kembali pak kepala sekolah…sekolahnya udah jadi belum?’

‘Ooo.. pak Donatur….bu Donat…selamat siang…apa kabar?….Sekolahnya?.. Ntar… sebentaaar lagi..udah hampir matang kok.’

‘Kok sekolah hampir matang? Gimana urusannya sih?’

‘Maksudnya hampir jadi gitu…he..he..he..’

‘Kapan jadinya?’

‘Saya janji sama tukangnya mau tak ambil sore ini?’

‘Emang dibikinnya dimana? Kok mau diambil?’

‘Ya di sini ini? Tuu udah tercium harumnya kan? Pasti udah jadi…he..he..he..’

‘Kok he..he..he.. terus?’

‘Iya…saya lagi bahagia…. sebentar lagi kelasnya selesai…murid-murid semua pada masuk pagi….siiiip…..saya bisa main tennis lagi…. Kan tadi saya sudah dapat hadiah reket tennis..dua lagi he..he..he..’

‘Reket yang tadi dikasih POMG itu?’

‘Kok tahu?’

‘Lha orang saya juga lihat tadi di sini….’

‘Ya MM…..’

‘Kayak iklan obat batuk aja…… Jangan niru-niru iklan dong….! Tapi anak saya kapan bisa mulai sekolahnya sih, nih?’

‘Ooo segera..segera…. emang sudah dibawa sekarang anaknya?’

‘Ya belum…saya kan mau lihat dulu kalau pembangunannya itu sudah selesai atau belum….’

‘Sudah selesai… paling nunggu agak kering sebentar…kalau anaknya sudah dibawa…..sementara biar belajar di kantor saya dulu, ya?!’

‘Sampeyan ini bikin ruangan kelas apa bikin martabak, sih?’

‘Ya bikin martabak…ya bikin kelas….sampeyan doyan martabak juga toh? Kayak tukang tadi itu dong.’

‘Jadi udah selesai atau belum nih?’

‘Ya udaah…masak nggak lihat nih….udah jadi semua…’

‘Ya udah…kalau gitu tak jemput anaknya ya?!’

‘Ya ya…. jemput sana!’

‘Tapi…. lho…..itu siapa yang datang rame amat?’

‘Hah??? Ya ampuuuun. Orang Madura itu… Dia bawa tukang karapan sapi se Madura…!?!?’

‘Mereka mau ngapaiiiin?’

‘Mau sekolah di sini juga….. Itu yang di depan itu tadi bilang dia itu pemborong…dia mau borong semua kelas……’

Lima orang memakai atribut seolah-olah orang Madura datang. Mereka langsung duduk di lantai..sekolah, ceritanya jadi murid-murid.

‘Lha tempat anak saya maaana….?’

__________

Berakhirlah babak kedua drama komedi itu, diiringi tepuk tangan penonton. Pembawa acara muncul untuk menyampaikan acara berikutnya. Kali ini diisi oleh paduan suara guru-guru, membawakan beberapa buah lagu. Di antaranya lagu ‘Kapan-kapan’ yang diciptakan Koes-Plus yang sebagian sairnya diplesetkan. Semangat kebersamaan guru-guru untuk menyumbangkan suara yang meski sebagian bernada sumbang patut diacungi jempol. Pokoknya berani tampil pada acara ‘dari kita oleh kita untuk kita’ itu.

Lalu ada sebuah puisi yang dibacakan oleh ibu Sofni, guru Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia. Sebuah puisi datar seorang teman sejawat yang anak buah, cukup menyentuh, tentang perjuangan guru, keberhasilan karir guru yang dinilai dari suksesnya anak didik mereka mencapai cita-cita. Puisi itu;

Kebersamaan

Pagi ini seperti pagi kemarin
Pagi yang kita awali dengan pukul tujuh
Pada saat tepat lonceng pertama untuk kelas pertama
Bahkan lebih awal lagi dengan pukul enam
Waktu mencegat dan berebutan angkot di tepi kota
Bahkan lebih awal lagi dari itu
Waktu udara subuh Jakarta menyisakan sedikit kesejukan
Dan kita berbenah diri sebelum maju ke halte terdekat

Pagi ini seperti pagi kemarin
Tatkala kita dalam kebersamaan, kesederhanaan
Berlomba memberikan yang kita miliki
Kepada anak-anak yang dititipkan bangsa
Meski sebagian dari mereka kadang menguji kesabaran kita
Sebuah amanah yang tugas dan tugas yang amanah
Di sini kita berbagi rasa berbagi cerita
Dan bahkan juga ada kalanya berbagi duka

Pagi ini seperti pagi kemarin
Ada tugas menunggu kita
Dan tugas yang kita antarkan
Kepada pemuda pemudi harapan bangsa…….., konon
Harapan diri mereka sendiri
Dan orang tua mereka yang perduli
Yang mewanti-wanti agar jangan sampai mereka terlibat
Kedurjanaan narkoba serta kebejatan remaja ibukota

Hari-hari itu berulang dan berulang jua
Mengantar setiap tarikan nafas kita yang basah oleh keringat
Tatkala kita berhimpitan dalam sesaknya angkutan kota
Dan udara bagian kita yang dibubuhi pengapnya asap kenalpot
Tapi tetap kita maju
Tetap kita datang untuk hadir
Mengurai umur merentang usia
Ke sebuah batas

Beratus beribu sudah anak-anak titipan bangsa
Datang dan pergi dengan aneka tawa senyum dan ceria
Kita mencoba mengakrabi mereka, mengantar kegerbang cita
Banyak yang sudah sampai di ujung sana
Sebanyak yang terlunta didera kesempatan tak setara
Di samping satu dua gugur karena ulah sendiri mereka
Kita terima amanah
Kita seberangkan amanah

Dan pagi ini tidak seperti pagi kemarin
Meski pancaran mentari sedikitpun tiada berbeda
Pengapnya udara pagi didalam pekatnya konsentrasi CO2
Semua sama
Hanya satu yang tak sama
Dia yang kita hormati sebagai seorang ketua
Telah menunaikan baktinya dengan sempurna
Dan kini berhak atas masa purna karya

Selamat pak Ketua
Selamat karena kamipun ikut bangga
Dengan untaian prestasi tiada tara
Sebuah kesungguhan dan kesetiaan tak bercela
Tugas sekarang ada di pundak kami
Untuk meneruskan perjuangan ini
Sampai waktu-waktu kami datang pula
Selamat menikmati istirahat pensiun ‘Jenderal’
.

Ibu Sofni mengakhiri puisinya dengan membungkuk dalam. Hadirin bertepuk tangan membahana.

No comments: