Tuesday, May 6, 2008

BANDA ACEH

BANDA ACEH

Akhirnya aku mengunjungi Banda Aceh pekan yang lalu. Dalam perjalanan menjemput puteri kami kedua yang baru saja menyelesaikan tugas PTTnya di kabupaten Gayo Luwes. Tadinya ada keinginanku untuk menjemputnya ke Blangkajeuren, menemui ibu dan bapak angkatnya dan orang-orang yang telah banyak membantunya selama bertugas disana. Sayang istriku sudah menyerah duluan, trauma dengan kondisi perjalanan dengan mobil travel melalui jalan rusak, yang kami alami waktu mengunjungi kota itu sekitar setahun yang lalu. Kami akhirnya sepakat untuk menjemput puteri kami di Banda Aceh saja.

Pesawat Sriwijaya Air yang kami tompangi mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda jam 2 siang pada hari Kamis tanggal 1 Mai yang lalu, terlambat hampir satu jam dari jadwal. Cuaca cerah. Bahkan cukup panas. Kami dijemput puteri kami yang ditemani sejawatnya sesama dokter gigi yang adalah orang Aceh asli. Anakku telah menyewa sebuah mobil Kijang untuk kami gunakan selama kunjungan ini. Tujuan pertama kami, atas permintaanku adalah mesjid raya Banda Aceh. Aku sudah berniat akan shalat disana. Mesjid besar yang bersih, rapi dan menyejukkan. Aku menjamak dan mengqasar shalatku.

Sesudah makan siang, kami langsung menjelajahi kota, melihat sisa kerusakan akibat tsunami tanggal 26 Desember 2004. Melalui jalan dengan bangunan baru, entah rumah atau mesjid atau pertokoan. Melalui tempat pemakaman massal. Kami dibawa mengunjungi lokasi kapal PLTD yang didamparkan air pasang tsunami. Sebuah kapal yang puluhan meter panjangnya, lebih sepuluh meter tingginya dipindahkan dari tempat bersandarnya semula sejauh lebih kurang sepuluh kilometer ke daratan. Masya Allah. Aku melihat peringatan Allah yang sangat nyata. Kapal yang ribuan ton bobotnya itu ‘diletakkan’ dengan sangat ‘rapi’ memotong tegak lurus sebuah jalan, menghimpit rumah-rumah dikiri dan kanan jalan itu. Kapal itu ‘duduk’ dengan sangat eloknya disana, tidak miring, tidak oleng. Daerah sekitar kapal itu akan dijadikan sebuah taman tempat mengenang bencana tsunami. Banyak pengunjung naik ke atas kapal itu. Tapi aku tidak tertarik melakukannya. Aku benar-benar terkesima membayangkan dahsyatnya pukulan ombak tsunami yang terjadi pada hari itu, melalui keberadaan kapal PLTD ini, ditempat ini.

Kami kunjungi pula dermaga (pelabuhan) yang sedang dibangun. Supir merangkap pemandu kami memberi tahu bahwa kapal PLTD yang baru kami lihat sebelumnya dulu tertambat dekat pelabuhan itu. Di lepas pantai terlihat pulau-pulau kecil di ujung Sumatera. Pemandangan yang cantik.

Pagi hari di hari kedua kami beristirahat di penginapan karena puteri kami harus pergi mengurus surat-surat dinasnya sekalian berpamitan ke Dinas Kesehatan Propinsi. Siang itu aku shalat Jumat di mesjid raya ditemani teman anakku sesama dokter gigi. Khatib Jumat adalah bapak Profesor Jimly As Siddiqi.

Sesudah makan siang kami pergi mengunjungi musium. Sebenarnya bangunan musium ini sedang direnovasi dan diperbesar, tapi ada bagian yang dapat dikunjungi. Aku sangat senang mendapatkan informasi tentang perang Aceh yang dipajang dalam bentuk foto dengan catatan serta keterangan di dalam musium ini. Keterangan tentang perang Aceh melawan Belanda, dalam sebuah peperangan terpanjang yang dihadapi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tentang korban dari fihak Belanda, diantaranya Jenderal Kohler, pemimpin tentara Belanda yang tertembak dekat sebuah pohon di halaman mesjid raya. Dicatatkan pula perkataan terakhir jenderal malang itu, ‘Oh Tuhan, aku tertembak.’ Dan jenderal Belanda itu mati disitu. Pohon dekat dia tertembak oleh orang Belanda dinamai pohon Kohler.

Tentang kebrutalan serdadu-serdadu Kumpeni dalam perang itu. Tentang kegigihan pemimpin-pemimpin dan rakyat Aceh dalam melawan Belanda. Seandainya saja rakyat Aceh mendapat bantuan dana atau senjata ketika itu, belum tentu Belanda akan memenangkan peperangan.

Tidak lupa pula pemandu kami menunjukkan komplek kuburan serdadu Belanda di tengah-tengah kota yang dibiarkan dan dipelihara untuk bukti sejarah. Belanda memang telah membayar sangat mahal biaya perang menaklukkan semangat jihad masyarakat Aceh.

Kami kunjungi Lok Nga, tempat berdirinya pabrik semen di pinggir pantai yang juga rusak parah diterjang tsunami. Dan mesjid yang meskipun selamat di tengah perumahan penduduk yang hancur, sekarang juga direnovasi dan diperbesar dengan bantuan dari pemerintah Turki. Di kampung ini terlihat rumah-rumah baru yang juga dibangun atas bantuan Turki, diberi lambang bulan bintang seperti yang terdapat pada bendera Turki.

Aku menemani istriku shalat asar di mesjid kampung itu. Seorang ibu yang kehilangan suami, anak-anak dan cucunya ketika musibah tsunami menimpa, bercerita dengan berurai air mata kepada istriku. Derita yang dialami keluarganya tidak mungkin dilupakan.

Pemandu kami membawa kami ke lokasi lain yang juga dibangun atas bantuan pemerintah Turki. Aku sangat terkesan di tempat kedua ini, dimana terdapat komplek pemakaman orang-orang Turki (batu nisannya dihiasi bulan bintang). Kebetulan sore itu ada pula serombongan orang-orang Turki sedang berkunjung. Salah satu diantara mereka adalah seorang anak muda yang jadi mahasiswa di Unsyiah. Dia fasih berbahasa Indonesia.

Kekagumanku bertambah setelah mengetahui bahwa yang dikuburkan disitu adalah tentara Turki yang dulu datang menolong Aceh ketika perang melawan Portugis. Jadi mereka datang disekitar tahun 1500 an. Ketika aku bertanya sambil setengah tidak percaya (karena belum pernah mendengar cerita ini) aku dikenalkan kepada seorang bapak tua penjaga komplek makam ini. Nama orang tua itu Abdul Aziz. Beliau adalah keturunan Turki.

Beliau bercerita bahwa raja Aceh mengirim utusan meminta bantuan kepada Sultan Ottoman (sultan Selim) untuk mengusir penjajah Portugis. Utusan itu membawa lada (hasil bumi Sumatera) sebagai cendera mata. Ketika sudah mendekati pelabuhan laut kesultanan Ottoman, kapal mereka diserang badai. Lada, buah tangan yang mereka bawa tumpah ke laut. Waktu utusan itu datang menghadap Sultan, mulanya mereka ditolak karena mereka tidak membawa cendera mata. Salah seorang anggota rombongan kembali ke kapal di dermaga dan berhasil mengumpulkan secupak lada yang tertinggal. Lada secupak itu dibawa kembali menghadap Sultan sebagai bukti bahwa sebenarnya mereka ada membawa barang seserahan namun sudah terbuang ke laut.

Ringkas cerita, dengan bukti secupak lada itu, Sultan Ottoman percaya. Beliau bersedia mengirimkan bala bantuan ke Aceh. Maka datanglah rombongan tentara dan insinyur (ahli membuat meriam) ke kerajaan Aceh. Jumlah mereka 317 orang (wallahu a’lam) datang dengan beberapa buah kapal. Mereka membantu kerajaan Aceh memerangi Portugis dan berhasil mengalahkannya. Seusai perang, rupanya tentara Ottoman itu tidak kembali pulang tapi menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Salah seorang anggota rombongan itu yang rupanya seorang ulama bernama Selahaddin (demikian tertulis di makamnya, mungkin menurut ejaan kita Salahuddin) yang oleh masyarakat Aceh dijuluki Tengku Di Bitay. Beliau mengajarkan agama Islam di mesjid di kampung itu. Bitay adalah nama kampung tersebut. Menurut cerita puteri dari bapak Abdul Aziz (yang lebih banyak berbicara) bahkan ketika Sultan Iskandar Muda masih remaja, beliau datang mengaji ke tempat Tengku Di Bitay.

Aku ditawari untuk melihat musium mini di komplek itu yang tentu saja aku terima. Di dalam musium itu ada lukisan Sultan Selim, lukisan kapal perang kesultanan Ottoman yang datang mebantu Aceh dilengkapi dengan catatan sejarah. Semua ini benar-benar merupakan informasi baru bagiku karena belum pernah aku mendengar sebelumnya.

Ketika Aceh berperang melawan Belanda di tahun 1873, sangat boleh jadi mereka kembali meminta bantuan Turki Ottoman. Hanya saja, kondisi kesultanan Ottoman pada tahun-tahun itu sudah tidak lagi perkasa.

Kami tinggalkan komplek pemakaman Bitay ketika hari sudah menjelang maghrib.

Malam itu kami berbincang-bincang di bawah pesawat Seulawah, yang sekarang menghiasi lapangan besar. Seulawah adalah pesawat pertama yang dimiliki pemerintah Indonesia, sumbangan masyarakat Aceh di awal kemerdekaan. Kami berdiskusi dalam cerita panjang tentang peperangan demi peperangan yang dilalui Aceh secara nyaris bekerkesinambungan dalam jangka waktu lebih dari seratus tahun. Semoga saja tidak ada lagi perang dan pertumpahan darah di bumi Serambi Mekah ini untuk masa mendatang.

Hari Sabtu tanggal 3 Mai, pagi kami bersiap-siap untuk meninggalkan Banda Aceh. Sempat juga kami dibawa berkeliling kota sebelum berangkat menuju Bandara, termasuk mengunjungi toko oleh-oleh, sebuah tempat wajib untuk dikunjungi istriku.

Jam satu siang kami sudah berada di Bandara. Pesawat Sriwijaya Air tepat waktu kali ini. Kami berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda jam 13.40 menuju Jakarta melalui Medan.

*****

1 comment:

Diana Saib said...

kenapa nggak ada fotoooooo?????