Saturday, October 4, 2008

SANG AMANAH (2)

(2)

SMU 369 terletak di jalan Swadaya, kira-kira 500 meter dari jalan raya Kali Malang. Jalan Swadaya ini terletak di kompleks perumahan. Setiap jarak 50 meter diberi ‘polisi tidur’ supaya kendaraan tidak melaju kencang. Pagi hari begini beriring-iringan rombongan anak sekolah menuju ke arah SMU 369. Tidak semuanya murid SMU, karena di samping sekolah itu ada pula SD dan SMP. Begitu pula mobil-mobil pribadi beriring-iringan sehingga jalan kecil inipun hampir macet. Mobil-mobil pribadi itu ada yang dikendarai sendiri oleh murid SMU dan ada yang hanya mengantar. Karena yang mengantar ini bergantian berhenti di gerbang sekolah maka kendaraan yang di belakangnya tertahan sementara dan inilah yang menjadikan macet. Yang mengendarai sepeda motor juga banyak meski tidak semuanya murid SMU karena ada pula tukang ojek motor yang mengantar murid sekolah sebagai penumpangnya.

Jam baru menunjukkan pukul 6.30. Pak Umar mengendarai Vespanya perlahan-lahan mengikuti laju iringan kendaraan lain yang banyak itu. Sesampai di gerbang sekolah petugas satpam menahan pak Umar karena tidak mengenalinya. Pak Umar melepas helm dan ‘topeng’ saputangan sebelum memperkenalkan dirinya. Petugas satpam itu tidak tahu siapa pak Umar karena memang belum pernah bertemu sebelum itu. Pak Umar menjelaskan bahwa dia adalah tamu pak Suprapto. Dia dipersilahkan masuk. Tidak lupa petugas itu mengingatkan bahwa tempat parkir sepeda motor terletak di bagian samping kanan bangunan sekolah. Sementara dia ditahan oleh petugas satpam untuk menanyai identitasnya tadi, pak Umar sempat memperhatikan bahwa mobil-mobil yang memasuki pintu gerbang tidak hanya dikendarai oleh murid-murid SMU tapi ada juga yang dikendarai oleh orang lebih tua yang mungkin guru-guru sekolah itu. Tidak satu orangpun yang dikenal Pak Umar. Gerbang sekolah itu terletak di tempat yang lebih tinggi di sisi jalan Swadaya, kira-kira 50 meter dari bangunan sekolah. Untuk mencapai kompleks bangunan sekolah ada jalan menurun. Di sebelah kiri jalan itu, di tempat yang rata adalah pelataran parkir mobil yang cukup luas, dapat menampung puluhan mobil. Tempat itu sudah separuhnya terisi mobil dari berbagai merek, ada yang baru ada yang sudah agak tua, terparkir bersusun-susun rapi. Ada petugas yang mengaturnya. Pak Umar terus ke samping kanan sekolah seperti yang dikatakan petugas satpam tadi dan segera menemukan tempat parkir motor. Tempat parkir motor lebih kecil, terletak di bawah rimbunan pohon mahoni. Pak Umar memarkir Vespanya di sana dan melepas atribut bersepeda motornya. Jaketnya dilipatnya dan dimasukkan kedalam tas kulit. Ada beberapa orang murid laki-laki yang baru datang dan memarkir motor pula di pelataran itu. Mereka meletakkan helm masing-masing di sebuah rak besar yang sengaja disiapkan untuk itu. Pak Umarpun meletakkan helmnya di rak itu. Seorang murid yang baru datang menyapanya ramah.

‘Mau ketemu siapa oom?’

‘Oh yaa. Saya mau menemui bapak kepala sekolah. Bapak Suprapto,’ jawab pak Umar.

Murid itu sekilas memperhatikan dirinya sebelum berlalu sesudah terlebih dahulu mengangguk sopan. Pak Umar bergerak ke arah bangunan induk, mencari plang penunjuk kantor kepala sekolah. Tiba-tiba dia berpapasan dengan kerumunan murid-murid yang sedang berteriak-teriak sambil mengelilingi dua orang murid yang sedang berdorong-dorongan seperti akan berkelahi, tapi belum ada yang mulai memukul. Yang satu berbadan gempal, lebih jangkung tapi kelihatannya agak jengah, sementara yang satunya lebih kurus tapi terlihat gesit dan lebih agresif. Yang berkerumun memprovokasi agar perkelahian itu segera saja dimulai. Pak Umar spontan saja setengah menghardik kepada kerumunan itu.

‘Ada apa ini?’

Suara itu begitu berwibawa. Suara guru yang sudah berpengalaman mengajar selama lebih lima belas tahun. Suara wibawa andalan orang sederhana seperti pak Umar. Semua mata menoleh ke arah pak Umar dengan pandangan penuh tanda tanya termasuk kedua orang yang seperti akan berkelahi itu. Seorang murid bertanya dengan setengah berteriak.

‘Siapa nih Jul? Bokaplo? Jangan bawa-bawa bokap dong ke sekolah.’

‘Bukan….. Gue nggak tau nih siapa. Ada apa oom? Jangan ikut-ikutan dong urusan anak muda.’

‘Mau jualan apa pagi-pagi ini ke sini oom?’ yang lain menimpali.

Mungkin mereka menyangka dirinya seorang ‘salesman’. Pak Umar hanya memperhatikan murid-murid itu satu persatu tanpa bersuara. Meskipun masih berteriak-teriak satu sama lain, mereka pelan-pelan membubarkan diri. Acara duel yang sudah hampir terjadi tadi terpaksa batal. Pak Umar melanjutkan langkahnya mencari kantor pak Suprapto.

*****

Tiga orang murid dari kerumunan tadi Anto, Iwan dan Sapto rupanya punya rencana lain.

‘Siapa orang tua sok tau tadi?’ tanya Anto.

‘Mana gue tau. Pedagang obat ngkali. Lihat aja gayanya.’

‘Itu yang pakai Vespa tadi kan? Yang tadi ditahan petugas Satpam?’

‘Kayaknya iya deh.’

‘Kalau gitu mari kita cari Vespanya ke belakang.’

‘Lo mau ngapain?’

‘Kita kasih dia oleh-oleh atas sikap sok taunya tadi.’

‘Maksud lo?’

‘Sini aja ikut gue.’

Ketiganya bergegas ke tempat parkir motor. Di sana hanya ada satu Vespa. Anto mengambil sesuatu dari balik rak tempat helm. Tabung cat semprot. Tabung itu di kocoknya dengan menggoyang-goyangkannya. Lalu dengan keahlian seorang profesional vandalis bagian depan Vespa biru muda itu ditulisinya kata-kata ‘sok tau lo’. Tulisan yang cukup besar untuk dibaca dari jarak dua puluh meter. Ketiga anak muda itu tertawa kegirangan atas lelucon mereka. Beberapa murid lain yang baru datang memandang sambil tersenyum seolah-olah itu sangat biasa-biasa saja. Seorang di antaranya menyapa.

‘Vespa siapa To?’

‘Vespa tukang obat sok tau. Yang barusan menggagalkan duel pagi ini.’

‘Emangnya barusan siapa yang mau duel?’

‘Ah sok interogasi lo. Herman sama Samson. Kenapa emang?’

‘Nggak. Gue kan petugas peliput acara duel. Nyaris kehilangan berita dong gue hari ini.’

‘Kalau gitu lo datangin lagi aja mereka. Suruh lagi berantem. Atau mendingan nanti siang pas bubaran. Tapi kayaknya sih si Gendut ngeper tuh.’

Anto menyimpan kaleng cat semprot ke tempatnya dan kembali menghampiri Vespa malang itu sambil berjongkok.

‘Terus lo mau ngapain lagi tuh?’ Iwan bertanya penasaran.

‘Ngempesin ban Vespa ini. Biar lebih seru. Gue pengen lihat ntar dia mendorong Vespa ini nanjak ke gerbang sana sampai jontor.’

‘Iya kempesin aja dua-duanya sekalian.’

‘Oou.. itu so pasti.’

‘Lo nggak ngeri nih? Jangan-jangan yang punya sodaranya si jenderal. Ntar kita di suruh upacara lagi rame-rame.’

‘Ah. Takut amat sih lo? Si jenderal udah mau pensiun aja. Bila perlu mobil si jenderal sekalian kita preteli.’

‘Sok jago lo!’

‘Emang jago. Mau nantang duel?’

‘Ah enggak. Kita duelnya di Blok M aja. Duel makan mie.’

‘Gitu dong. Jangan macam-macam sama ogut.’

Anto bukan saja mengempesi kedua ban Vespa itu tapi sekalian membuang pentilnya ke got. Bel jam tujuh berbunyi. Murid-murid SMU itu berkumpul untuk upacara di depan sekolah.

*****

No comments: