Monday, December 24, 2007

KERETAPI, RIWAYATMU DULU

KERETAPI, RIWAYATMU DULU

Saya mempunyai dua kenangan yang tidak mungkin dilupakan dari keretapi ‘nagari awak’ tempo dulu (sampai tahun 1970an). Lengkingan cuitnya dan bau asapnya. Bunyi lengkingan keretapi sekaligus menjadi tanda waktu bagi kami ketika itu. Mak-mak saya (yang manapun) biasa membangunkan kami di pagi hari dengan kata-kata, ‘Bangunlah lagi Buyuang, keretapi sudah ke ujung.’ Agak perlu beberapa kalimat untuk menerangkan makna kalimat ini.

Lintasan keretapi arah (ke dekat kampung kami yaitu) ke Baso agak khas, karena jalur ini dijalani secara khusus pada waktu itu. Sekurang-kurangnya ada empat kali keretapi bolak balik sehari secara teratur sejak subuh jam lima pagi, seterusnya jam sembilan pagi, jam satu siang dan jam lima sore melalui jalur ini. Saya tidak yakin ada lintasan yang dilalui dengan ‘sangat’ teratur seperti jalur Bukit Tinggi – Baso ini di tempat lain di Sumatera Barat.

Baso terletak sebelas kilometer arah ke timur dari Bukit Tinggi. Lebih jauh ke timur, kereta itu bisa pergi sampai ke Paya Kumbuh. Ada kereta dari Paya Kumbuh yang terus ke Padang sekali sehari, menempuh jarak 124 km dalam sehari suntuk, dan kereta yang ke Padang itu baru akan kembali keesokan harinya ke Paya Kumbuh.

Waktu keretapi yang berangkat jam lima subuh dari Bukit Tinggi sampai di Tanjung Alam (4 ½ km dari Bukit Tinggi) lengkingan atau cuitnya terdengar sampai ke kampung kami yang jarak lurusnya sekitar 2 ½ km. Waktu saat itu menunjukkan lebih kurang jam setengah enam. Arah ke Baso atau arah ke timur dalam bahasa di kampung kami disebut arah ke ujung. Itulah yang dimaksud mak-mak kami ketika membangunkan kami dengan mengatakan keretapi sudah ke ujung.

Bangun ketika suara keretapi terdengar di Tanjung Alam sangat pas dan mencukupi untuk mendapatkan keretapi itu nanti ketika dia kembali ke Bukit Tinggi. Mencukupi untuk bangun terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, shalat subuh (terlambat) lalu sarapan, dan seterusnya berjalan kaki 1 ½ km ke Biaro, dimana ada stoplat tempat membeli karcis. Keretapi akan sampai di stoplat ini kira-kira jam enam seperempat membawa kami untuk sampai di Bukit Tinggi jam tujuh kurang seperempat dan tidak terlambat di sekolah yang dimulai pukul tujuh.

Jadwal keretapi yang waktu itu dicemooh karena mempunyai jam karet, sebenarnya lumayan teratur kecuali pada hari Sabtu dan Rabu, hari pasar di Bukit Tinggi. Entah dengan cara apa para pedagang merayu petugas keretapi ketika itu yang membuat jadwal kereta pada hari-hari itu menjadi jadwal sangat telat. Kalau kami bisa sampai jam delapan di sekolah di Bukit Tinggi setiap hari Rabu atau Sabtu, itu namanya sudah sangat beruntung. Muatan keretapi di kedua hari itu, khususnya yang pagi dari arah Baso dan yang siang menuju Baso, na’utzubillah padatnya. Pernah saya mengalami hanya kebagian satu kaki yang menyentuh tangga kereta dan satu tangan berpegangan entah dimana saja, saking berselingkit-pingkitnya.

Pada hari-hari khusus itu, keretapi akan ngetem di Baso lebih lama, menunggu ‘urang panggaleh’. Tidak lupa pula masinis meninggalkan masing-masing sebuah atau dua buah wagon yang kami sebut ‘daresi’ di Biaro dan di Tanjung Alam. Kalau hari-hari biasa jam enam kurang kereta itu sudah menuju ke Bukit Tinggi, maka di hari Rabu dan Sabtu, jam tujuh lebih, lokomotif itu mendengus-dengus saking beratnya beban di tanjakan menjelang Biaro. Bebannya bertambah berat karena harus mendorong pula dua daresi ekstra yang ditinggal sebelumnya di Biaro, mendengus dengan tenaga ekstra mendaki di jembatan Batang Air Katik. Susah payahnya lokomotif menarik dan sekaligus mendorong di pendakian itu, yang menyebabkan para penumpang ikut sesak nafasnya, yang lalu melahirkan buah pemeo, ‘keretapi nan mandaki, manga angok awak nan sasak.’ (=keretapi yang mendaki kok nafas kita yang sesak).

Sesampai di stasiun Tanjung Alam yang mempunyai rel kereta ganda untuk langsir, susunan daresi di atur kembali dengan lokomotif kembali diletakkan paling depan. Maka dari Tanjung Alam ke Bukit Tinggi, lokomotif perkasa itu menarik rangkaian gerbong di jalan yang relatif lebih rata dengan cuitan panjang penuh kemenangan menjelang Bukit Tinggi.

Urut-urutan tempat kereta itu berhenti dari Baso adalah Koto Hilalang (2 km dari Baso, disini kereta kadang-kadang saja berhenti), lalu Biaro yang ada stoplatnya, kemudian Tanjung Alam, seterusnya Aur Tajungkang destinasi sebagian besar penumpang yang menuju baik Pasar Atas maupun Pasar Bawah, atau siswa SMA I Bukit Tinggi serta murid sekolah lainnya. Perjalanan keretapi itu berakhir di stasiun gadang (=besar) Bukit Tinggi yang berjarak satu kilometer dari Aur Tajungkang.

Benarkah jadwal kereta itu teratur di luar hari Sabtu dan Rabu? Ternyata ungkapan ini tidak terlalu tepat. Cukup sering lokomotif kereta yang asapnya terlihat tetap mengebul-ngebul di stasiun gadang (kelihatan dari stoplat Aur Tajungkang), ternyata sedang mengalami perbaikan cukup serius. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh calon penumpang selain menunggu dengan sabar sampai perbaikan itu selesai. Tidak susah memahami kalau lok-lok itu sering rusak, karena umumnya memang sudah lumayan sepuh. Sebagian besar dari lokomotif yang beroperasi sampai awal tahun tujuhpuluhan itu adalah buatan awal abad ke dua puluh dengan tahun pembuatan 1903, 1905, 1911. Hanya dengan keahlian khusus tenaga-tenaga ahli mesin ketika itu sajalah lok-lok itu tetap mampu berjalan.

Masa-masa ketika keretapi berjalan lancar sampai awal tahun tujuhpuluhan itu merupakan masa-masa indah masyarakat Baso dan sekitarnya karena mereka benar-benar mendapatkan subsidi nyata untuk alat transport keretapi. Bagaimana tidak, karena usaha perkeretapian kala itu sesungguhnya sangat tidak menguntungkan baik dari jumlah penumpang / pemasukan dari penjualan karcis. Kecuali pagi dan menjelang siang untuk jurusan Baso – Bukit Tinggi, siang dan sore jurusan sebaliknya di hari-hari Sabtu dan Rabu, keretapi itu sangat sedikit membawa penumpang. Sekali jalan sekurang-kurangnya dibawa empat buah wagon atau daresi dengan kapasitas 160 sampai 200 tempat duduk. Tidak pernah sampai seperduanya yang terisi, namun kereta itu tetap dengan setia dijalankan empat kali sehari. Belum lagi dikarenakan penumpang yang enggan membeli karcis alias membayar langsung ke kondektur di atas kereta. Membayar seperti ini boleh suka-suka, seikhlas kondektur, yang pasti lebih murah dari harga karcis. Kondektur-kondektur itu menyukai cara pembayaran seperti ini. Di hari Rabu dan Sabtu, kantong celana mereka menggelembung dan tangan mereka terkembang menggenggam uang receh yang dibayarkan para penumpang yang malas membeli karcis di stoplat itu. Sekali-sekali diadakan petugas polisi kereta api (PUKA) untuk menakut-nakuti penumpang, tapi ini hanya hangat-hangat tahi ayam.

Benar-benar sebuah keajaiban bahwa dengan kondisi manajerial yang ambur-adul itu perkeretapian di Bukit Tinggi – Baso itu bisa bertahan bertahun-tahun. Meskipun bahan bakar batu bara dapat mereka ambil gratis di Sawah Lunto, namun onderdil lokomotif tua tentunya tidak mungkin diperoleh secara gratis.

Sayapun sempat menikmati jasa keretapi itu ketika saya bersekolah di SMA III Birugo tahun 1969. Naik dari Biaro, turun di stasiun gadang untuk seterusnya berjalan kaki ke Birugo. Karena saya duduk di kelas tiga, dan tidak mungkin secara teratur terlambat dua kali seminggu akhirnya saya terpaksa menyewa kamar di Birugo.

Kalau jurusan Bukit Tinggi Baso dijalani empat kali sehari, jurusan Paya Kumbuh – Padang dijalani sekali sehari. Di sekitar tahun 1963 perkeretapian Sumatera Barat menerima ‘sumbangan’ sebagai pampasan perang dari Jepang berupa beberapa wagon dan lokomotif baru yang digunakan sebagai angkutan keretapi khusus. Diantaranya adalah keretapi Paya Kumbuh - Padang yang dijuluki dengan nama keretapi Ganefo, karena tahun 1963 adalah tahun dilangsungkannya sekali-sekalinya sukan Ganefo di Jakarta. Keretapi Ganefo pulang dan pergi Paya Kumbuh – Padang di hari yang sama, untuk dibandingkan dengan keretapi regular yang hanya mampu berjalan satu kali pergi saja. Kalau keretapi regular pernah saya tumpangi dari Bukit Tinggi ke Padang maupun dari Padang ke Bukit Tinggi masing-masing sekali, maka keretapi Ganefo tidak pernah saya coba. Soalnya keretapi ekspres ini tidak berhenti di stoplat Biaro, dekat kampung saya.

Naik keretapi dari Bukit Tinggi ke Padang berhabis hari dikarenakan seringnya kereta berhenti di stoplat-stoplat kecil. Akibatnya ya itu tadi, untuk menempuh jarak 91km Bukit Tinggi – Padang (harusnya panjang rel kereta lebih pendek lagi dari itu), diperlukan waktu antara tujuh sampai delapan jam. Berangkat jam tujuh pagi dari Bukit Tinggi baru akan sampai di Padang antara jam dua dan jam tiga sore. Tidak mungkin lagi kereta yang sama diberangkatkan kembali ke Bukit Tinggi, kecuali kalau mau sampai di Bukit Tinggi tepat tengah malam. Bandingkan dengan bus yang memerlukan waktu maksimum dua setengah jam untuk menempuh jarak yang sama.

Kalau Bukit Tinggi punya stasiun gadang, stasiun yang lebih besar lagi terdapat di Padang Panjang dan di Padang (pusat keretapi Sumatera Barat). Padang Panjang merupakan perlintasan keretapi Solok dan Sawah Lunto yang juga akan ke Padang. Keretapi Sawah Lunto – Padang pengangkut batu bara dari tambang Ombilin bahkan bertahan sampai awal tahun 2000an.

Saya tidak tahu kapan terakhir kali keretapi Baso – Bukit Tinggi berjalan. Ketika saya pulang kampung yang pertama kali tahun 1974 (sejak saya meninggalkan kampung pertengahan tahun 1970), keretapi di Bukit Tinggi sudah tidak ada. Waktu saya berangkat, kereta itu masih ada. Sejak keretapi tidak lagi berjalan itu, secara berangsur-angsur tapi pasti, jalan keretapi ‘diasak urang lalu’. Ada yang ditimbuni, bahkan ada yang dibongkar relnya. Stasiun atau stoplatnya sudah berubah menjadi lepau, kedai atau toko yang entah dengan cara bagaimana digunakan oleh mereka yang menempatinya.

Sebingkah kenangan tentang perkeretapian di kampung kita, ke masa ketika keretapi di masukkan kedalam bait pantun lagu Minang;

Mamakiak kureta Padang
Manyauik kureta Solok
Taragak badan nak pulang
Baju lah sasak dek panumbok


(Memekik kereta Padang
Menyahut kereta Solok
Rindu badan hendak pulang
Baju penuh oleh tambalan)

(pantunnya rada-rada kurang nyambung, memang.)
*****

No comments: