Monday, March 3, 2008

KETUPAT LEBARAN (1426)

KETUPAT LEBARAN (1426)

Setiap kehidupan berlalu dalam suatu siklus perulangan keteraturan yang nyaris abadi. Sebuah keteraturan yang berulang seperti teraturnya matahari terbit dan terbenam. Seperti teraturnya perputaran siang dan malam. Seperti teratur datangnya waktu-waktu shalat. Seperti teraturnya peredaran bulan di langit yang diawali dengan manzilah tipis. Lalu semakin berisi. Lalu semakin membulat purnama untuk kemudian bergerak lagi turun semakin kecil menuju bentuk kelopak tua. Sebelum menghilang dan memulai lagi urut-urutan yang sama. Keteraturan peredaran bulan itu bahkan dapat digunakan manusia untuk alat pengenal waktu. 'Yas aluu naka 'anil ahillah. Qul hiya mawaaqiitu linnasi wal hajj' (Mereka bertanya kepadamu tentang besar kecilnya bulan. Katakanlah, 'bulan itu menunjukkan tanda-tanda waktu bagi manusia dan untuk menentukan waktu berhaji.' (Q2-189)).

Bulan-bulan waktu itu selalu datang dan pergi dalam keteraturan yang nyaris abadi. Dianya akan tetap berputar seperti itu insya Allah sampai hari kiamat. Sampai Allah Sang Maha Pencipta menetapkan lain. Sya'ban berlalu Ramadhan datang. Ramadhan usai Syawal menjelang. Begitu terus. Dan manusia menumpang menghitung perjalanan waktu hidupnya diantara Ramadhan-Ramadhan yang dilaluinya itu, sampai akhirnya dia terpaksa mengalah dalam usianya yang singkat. Ramadhan demi Ramadhan bagaikan makhluk lincah berlompatan yang satu sesudah yang lain.

Sebuah Ramadhan baru saja berlalu mengiringi terbenamnya matahari sore hari tadi. Membawa kesaksian pengabdian hamba-hamba Allah yang beriman. Yang sebelum Ramadhan itu datang diseru ulang untuk menjalankan sebuah perintah Allah 'azza wa jalla, yakni perintah menjalankan puasa, menahan diri dari gejolak hawa nafsu. Menahan diri dan mengendalikan hawa nafsu itu sedemikian rupa agar jatuh tersungkur kedalam sebuah kepatuhan total kepada Sang Khaliq. Pengendalian dan pengekangan dari penyimpangan yang mungkin terjadi melalui setiap anggota panca indera. Ada saja mereka yang patuh total menahan diri itu. Ada saja mereka yang setengah-setengah dalam menahan diri itu. Ada saja mereka yang sebegitu beraninya menantang perintah yang tidak sulit itu.

Manusia yang dibekali akal, selera dan nafsu memang harus menapaki hidup dengan penuh hati-hati, kalau ingin selamat baik untuk kehidupan dunia maupun untuk menghadang kehidupan akhirat. Terdorong akal takabur jadinya. Terdorong selera akan membawa penyakit. Terdorong nafsu miriplah dia dengan hewan. Maka Allah bekali pula manusia itu dengan hati dan kecenderungan kepada kebenaran. Dan kebenaran yang hakiki itu datangnya hanya dari Allah semata. Hati yang mau menuruti kebenaran yang datang dari Allah itulah yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman yang diseru untuk patuh menjalankan perintah-perintah Allah termasuk perintah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Perintah pengendalian diri. Dimulai dengan pengendalian selera makan minum. Dan pengendalian nafsu biologis. Dan pengendalian nafsu berkata-kata yang tidak perlu. Pengendalian dari mendengar kata-kata yang tidak bermanfaat yang cenderung mengarah kepada yang tidak senonoh. Dan pengendalian mata dari memelototi hal-hal yang tidak pantas untuk dilihat. Pengendalian jiwa dari khayalan-khayalan porno. Semua itu. Semua itu dilatih dalam Ramadhan. Dan itu bukanlah latihan yang mudah. 'Betapa banyak orang yang berpuasa tapi yang mereka dapatkan tidak lebih dari rasa lapar dan haus,' sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Karena meskipun mereka berhasil mengendalikan rasa lapar dan haus namun mereka gagal total dalam mengendalikan diri dari kata-kata kosong. Dari mata yang jelalatan. Dari tangan-tangan kotor mereka untuk menggerayangi hal-hal yang tidak halal. Entah itu mengambil hak orang lain. Entah itu menzhalimi orang lain. Entah itu membuat persekongkolan jahat untuk memenuhi nafsu serakah. Meskipun mereka puasa pula. Nilai puasa mereka itu tidak ada di sisi Allah.

Berbagai ragam kepatuhan mereka-mereka yang diseru. Bermacam-macam cara mereka-mereka menyikapi perintah Allah itu. Ada yang maksimal usahanya. Ada yang penuh keberhati-hatian. Namun tidak kurang pula yang asal-asalan. Yang sekedar ikut-ikutan. Bahkan ada pula yang menghindar dengan kesombongan. Dengan seribu dalih. Padahal Allah Maha Tahu dengan apa yang mereka perbuat. Seandainya saja kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang Allah berkenan dengan ibadah Ramadhan yang lalu itu. Yang Allah ridha dengan apa yang kita lakukan selama bulan Ramadhan itu. Baik puasanya. Maupun ibadah-ibadah malamnya. Sadaqahnya, infaqnya, zakatnya. Tadarus al Qurannya. i'tikafnya. Silaturrahmi sesama jamaahnya. Bahkan tidur diantara waktu-waktu sempitnya. Seandainya saja kekeliruan-keliruan kecil kita yang perbuat juga namun kita cepat-cepat minta ampun kepada Allah, lalu Allah segera mengampuninya. Seandainya saja kita termasuk orang yang mempunyai kesabaran untuk mengendalikan diri selama bulan Ramadhan itu, dan pengendalian diri itupun dinilai oleh Allah. Betapa akan bahagianya kita mendapatkan pahala dari sisi Allah. Betapa akan berbahagianya kita ketika Allah mengakui bahwa jiwa kita dinilai Allah kembali fitri, suci murni seperti ketika kita baru saja dilahirkan ibu kita. Dan tentulah kita akan berusaha keras menikmati kebersihan jiwa itu selama mungkin. Menjaga agar ianya jangan segera pula menjadi cacat dan kotor kembali oleh berbagai dosa.

Karena kita tidak tahu entahkah kita akan berjumpa kembali dengan Ramadhan berikutnya. Siapa tahu tepian tempat kita berlabuh sudah semakin dekat. Siapa tahu perputaran waktu yang sangat teratur itu sudah membawa kita kepada akhir petualangan dunia. Dan seandainya demikian apa lagi yang dapat kita perbuat?

Menyempurnakan bilangan hari puasa di bulan Ramadhan telah menyentakkan hati kita untuk taat dan patuh kepada Allah semata. Untuk mengakui keesaan Allah dan oleh karenanya semua ibadah hanya tertuju bagiNya semata. 'Walitukmilul 'iddata walitukabbirullaaha 'alaa maa hadaakum wa la'allakum tasykuruun'. (Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan hari berpuasa dan mengagungkan Allah karena Dia telah menunjuki kamu. Mudah-mudahan kamu bersyukur. (Q2 - 185)).

Dan sesudah berakhirnya bilangan Ramadhan bergemuruhlah gema takbir mengagungkan asma Allah. Allaahu Akbar - Allaahu Akbar - Allaahu Akbar. Laa ilaha illallaahu Allaahu Akbar. Allaahu Akbar wa lillaahil hamd. Gema takbir yang merasuk kedalam relung hati. Mengakui kebesaran Allah. Tiada Tuhan selain Allah. Dan kita tidak menyembah kepada selain Allah. Dan kita mengikhlaskan beragama dengan agamaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya. Tidak ada Tuhan selain Allah sendiri Nya. Dia membenarkan janjiNya, menolong hamba-hambaNya, menghancurkan segala rombongan musuhNya. Tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha besar.

Begitu gema takbir itu berkumandang. Laa ilaha illallaahu wa laa na'budu illaa iyyaahu mukhlishshiinalahuddiin walau karihal kaafiruun. Laa ilaha illallaahu wahdahu, sadaqaa wa'dahu, wa nashara 'abdahu, wa a'azzajundahu wa hazamal ahzaaba wahdahu. Laa ilaha illallaahu wallaahu akbar.



*****

No comments: