Monday, April 27, 2009

DERAI-DERAI CINTA (14)

14. PAMIT MUNDUR

Suasana jadi agak kaku di meja makan pagi itu. Seperti biasa, mak dang buru-buru ketika sarapan. Nenek seperti tidak ada nafsu makan. Begitu juga dengan Imran. Mak dang melihat keduanya dengan sudut mata.

‘Kok tidak bersemangat mak makan?‘ tanya mak dang memecah kesunyian.

‘Ndak apa-apa,’ jawab nenek.

‘Makanlah, mak. Nanti sakit perut mak,’ kata tante Ratna.

Nenek diam saja.

‘Kamu ke Pakan Baru hari ini, Ran ?’ tanya mak dang pula.

‘Tidak mak dang. Awak di rumah saja,’ jawab Imran.

‘Kamu juga. Kenapa sedikit sekali makan?’ tanya mak dang lagi.

‘Tidak apa-apa, mak dang.’

Mak dang juga sudah selesai makan dan bersiap mau berangkat ke kantor.

‘Taufik! Mak mau pulang,’ kata nenek, ketika mak dang baru mau berdiri.

Mak dang tidak jadi berdiri. Pasti beliau kaget mendengar kata-kata nenek.

‘Kenapa mak? Bagaimana mak mau pulang?’

‘Sudah cukup pula waktu mak disini. Sekarang mak mau pulang,’ jawab nenek.

‘Bagaimana mak mau pulang? Keadaan di kampung sedang centang parenang begitu?’

‘Tidak apa-apa. Biar sekalian mak urus semua yang rusak dan kacau balau itu. Mak cari tukang. Diupah orang mengurus dan membersihkan sawah.’

‘Tidak usahlah, mak. Dulu kan sudah dijanjikan si Nursal dan si Tamrin bahwa mereka yang akan mengurusnya di kampung. Mak disini saja dulu.‘

‘Mak tidak akan banyak cakap, Taufik. Mak akan menyuruh si Imran membeli karcis bus ke Pakan Baru hari ini. Mak akan pulang.’

‘Nantilah, mak. Nanti malamlah kita bicarakan lagi. Pergilah ambo ke kantor dulu,’ kata mak dang.

Mak dang tahu betul bagaimana kerasnya nenek.

‘Baik, kalau memang masih ada yang ingin kau bicarakan. Urusan mak mau pulang tidak ada lagi yang perlu dibincangkan.’

‘Janganlah begitu, mak. Kan kasihan pula si Imran. Mak temanilah dia dulu paling tidak sampai dia mulai bersekolah.’

‘Kau tanyalah dimana dia mau bersekolah.’

‘Kau akan bersekolah disini kan, Imran ?’

‘Maaf mak dang. Awak rasa.........’

‘Aaaaah, sudahlah! Nantilah kita bicarakan lagi.’

Mak dang berdiri. Beliau berpamitan dengan mak mau berangkat ke kantor. Tante Ratna dan Lala hanya bisa diam. Mata Lala terlihat berlinang oleh air mata.


***

Kenyamanan adalah ketenangan hati. Kenyamanan ternyata tidak dipengaruhi oleh cuaca buatan. Tidak dipengaruhi oleh kesejukan ruangan ber AC. Ruangan di rumah ini dingin dan sejuk karena pendingin udara. Tapi tidak nyaman sedikit juga terasa oleh nenek. Beliau tersinggung. Sebagai orang tua, sebagai mertua, sebagai nenek-nenek beliau merasa dilecehkan.

Beliau merasa kehadiran beliau di rumah ini tidak diinginkan. Nenek sebenarnya bukanlah orang tua yang sulit. Beliau bukan seorang mertua yang cerewet, yang suka ikut campur urusan anak dan menantu. Namun dalam kesederhanaan itu beliau mempunyai harga diri. Harga diri perempuan. Harga diri perempuan tua Minang.

Tante Ratna, istri mak dang adalah orang yang suka ceplas-ceplos, seperti yang beliau katakan sendiri. Kalau ada yang terasa di hati beliau sampaikan tanpa basa-basi. Tanpa berpikir panjang. Memang kadang-kadang terasa menyakitkan bagi orang yang tidak terbiasa dengan cara-cara seperti itu. Disini awal ketidak serasian antara tante Ratna dengan nenek. Nenek orang kampung, orang yang sangat ketat dengan adat sopan santun. Bagi nenek, berbicara itu ada etikanya. Bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua, berbicara dengan suami, berbicara dengan yang lebih muda. Tidak bisa semua disamaratakan saja.

Nenek lebih banyak berada di kamar. Mau ke dapur, dilarang tante Ratna. Berbicara dengan Sri, dikomentari tante Ratna sebagai sesuatu yang tidak perlu. Nanti bisa membuat Sri besar kepala kalau terlalu berakrab-akrab dengannya. Jadi tidak tahu apa lagi yang bisa dikerjakan nenek. Tante Ratna sekali-sekali mengajak nenek berbincang-bincang. Tapi sering berakhir dengan ketidak senangan nenek. Terutama kalau tante Ratna mengatakan, tidak bisa begitu dong, mak. Bagi nenek kata-kata seperti ini menyakitkan hati.



***

Pulang dari kantor mak dang tidak kemana-mana sore itu. Beliau mencari nenek yang sedang berada di kamar dengan Imran.

‘Sedang apa mak? Bagaimana kalau kita pergi berjalan-jalan sore ini, mak?’

‘Tidak usahlah. Sudah terlalu petang,’ jawab nenek.

‘Apa saja kerja, mak? Di kamar saja seharian?’

‘Apa lagi yang akan dikerjakan? Di rumah ini tidak banyak yang boleh mak kerjakan,’ jawab nenek terus terang.

Mak dang mengerti apa yang dimaksud nenek.

‘Tidak ada mak pergi berjalan-jalan di dekat-dekat sini?’

‘Berjalan kemana?’

‘Maksud ambo, kalau di kamar terus kan bisa pusing kepala, mak. Kan bisa juga mak pergi melemaskan otot berjalan-jalan di depan rumah sana. Tidak ada kau ajak nenek berjalan-jalan, Ran?’ tanya mak dang.

‘Pernah mak, dang. Kami berjalan ke arah sekolah Lala sore-sore dua hari yang lalu. Tapi tidak jauh-jauh,’ jawab Imran.

‘Iyalah. Hitung-hitung untuk olah raga. Marilah kita ke luar duduk, mak. Sambil minum teh,’ ajak mak dang.

‘Sebelum cerita berpanjang-panjang, mak dan Imran akan pulang hari Sabtu ini. Tiga hari lagi. Kalau kau belikan karcis bus, alhamdulillah. Kalau tak kau belikan, uang mak ada untuk membelinya,’ kata-kata nenek keluar dengan tegas.

Mak dang tidak segera menjawab. Beliau menarik nafas dalam-dalam.

‘Kenapa rupanya, mak? Mak tersinggung lagi?’

‘Syukurlah kalau kau tahu mak tersinggung,’ jawab nenek.

‘Mak! Si Ratna itu, kalaupun mulutnya kasar, hatinya tidaklah seperti itu mak.’

‘Itu urusan kaulah Taufik. Mak tidak pernah dan tidak akan pernah ikut campur urusan kau dengan rumah tanggamu.’

‘Bagaimana mak akan tinggal di kampung sementara keadaan sedang hancur begitu. Mak tunggulah sampai kondisi kampung jadi lebih baik dulu.’

‘Tidak apa-apa. Biar mak saksikan dan mak urus apa-apa yang perlu diurus di kampung sana.’

‘Tadi ambo telepon si Fatmah di Jakarta. Dia tidak setuju kalau mak tinggal di kampung sementara ini. Ditawarinya mak untuk datang ke Jakarta. Kalau pendapat ambo, disini mak agak sebulan dua, nanti sesudah itu mak ke Jakarta pula ke tempat si Fatmah dan si Munah. Urusan kampung kita serahkan saja dulu kepada si Tamrin dan si Nursal.’

‘Tidak. Pikiran mak sudah bulat. Mak akan pulang ke kampung. Kalau mak mau, nanti dari kampung mak pergi ke Jakarta,’ jawab nenek.

Mak dang tidak bisa lagi berbicara. Beliau tahu betul watak nenek. Kalau beliau sudah memutuskan sesuatu, pantang bagi beliau berbalik surut.

Semua terdiam. Sunyi untuk beberapa saat.

‘Sedang kau Imran? Bagaimana?’ tanya mak dang.

‘Biarlah awak sekolah di kampung saja mak dang.’

‘Kenapa tidak mau kau sekolah disini?’

‘Tidak usahlah mak dang. Biarlah di kampung saja.’

‘Bagaimana kau akan bersekolah di kampung? Kampung kita masih diselimuti kehancuran? Dulu kau berusaha menjual pisang, sekarang tidak ada lagi pisang yang tumbuh. Sawah-sawah kita gagal dipanen. Bagaimana kau akan hidup di kampung?’

‘Insya Allah nanti ada saja jalan, mak dang. Biarlah awak di kampung saja.’

‘Kau marah pada mak tuo Ratna? Kau tersinggung?’

‘Tidak mak dang. Awak tidak tersinggung,’ jawab Imran.

‘Mak dang ingin kau disini. Bersekolah disini. Mak dang akan membiayai sekolahmu sampai nanti kau masuk perguruan tinggi. Kau tidak tertarik ?’

‘Terima kasih mak dang. Awak minta maaf, biarlah awak pulang ke kampung saja.’

‘Kau ternyata juga keras hati. Begini sajalah. Mak dang anjurkan kau berpikir panjang agak beberapa hari ini. Berdoa kepada Allah minta petunjuk. Sebelum kau benar-benar memutuskan untuk balik lagi ke kampung.’

Imran tidak menjawab. Mak dang menarik nafas dalam-dalam sambil menerawang ke langit-langit. Entah apa yang beliau pikirkan. Kembali sepi.


*****

No comments: