Thursday, February 21, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.5)

5. Puncak Lawang

Sesuai rencana, tepat jam sembilan pagi Pohan dan Aswin berangkat dari rumah di Koto Gadang. Cuaca mulai cerah. Kabut embun sudah tersapu dan matahari bersinar menghangatkan. Di hadapan terpampang dua sejoli Marapi dan Singgalang, utuh tanpa sedikitpun diselimuti awan. Pemandangan yang bukan main indahnya di mata Aswin. Kedua gunung kebanggaan Ranah Minang itu seolah-olah sepenjangkauan tangan jaraknya di depan mereka.

’Pohan! Bisa kita berhenti sebentar? Aku ingin memotret kedua gunung yang indah ini,’ kata Aswin.

’Tentu. No problem. Kita berhenti di pinggir di depan itu,’ jawab Pohan sambil meminggirkan mobil.


’Masih seringkah gunung Marapi ini menunjukkan aktifitasnya?’ Aswin bertanya, sambil dia membidik kedua gunung itu dengan camera kecilnya. .

’Masih. Kadang-kadang mengeluarkan awan dan debu panas, kadang-kadang sampai terlihat mengeluarkan api,’ jawab Pohan.

’Kalau dia meletus tentu daerah di sekitar sini akan kena debu letusannya,’ Aswin menebak.

’Betul. Daerah Bukit Tinggi dan sekitarnya mengalami hujan abu kalau gunung itu meletus.’

’Sementara gunung Singgalang aman-aman saja bukan?’

’Ya, karena gunung Singgalang bukan gunung berapi. Atau dikatakan juga gunung berapi yang sudah mati.’

’Benar-benar indah kedua gunung ini. Apalagi disaat cuaca cerah seperti ini. OK mari kita teruskan perjalanan,’ kata Aswin.

Mobil mereka kembali melaju menuju Koto Tuo lalu berbelok ke kanan, memasuki jalan ke Matur. Melalui hamparan sawah dengan padi yang masih hijau di kanan dan kiri jalan. Sebahagian sawah itu ada yang masih belum ditanami. Terlihat orang membajak sawah dengan bantuan kerbau. Aswin memotretnya dari mobil yang sedang berjalan.

’Kamu mau kita berhenti lagi untuk memotret orang membajak itu?’ tanya Pohan.

’Tidak usah. Cukup sambil berjalan saja. Takutnya nanti waktu kita habis sebelum sampai di Lawang dan Maninjau,’ jawab Aswin.

Jalan itu tidak terlalu ramai dengan kendaraan. Kadang-kadang saja mereka berpapasan dengan angkutan umum dan sekali-sekali dengan kendaraan pribadi. Setelah beberapa kilometer jalan mulai mendaki dan berbelok-belok, melalui tebing terjal. Banyak pohon kulit manis tumbuh di tebing-tebing itu.

’Apakah ini belokan empat puluh empat?’ tanya Aswin.

’Bukan. Masih jauh. Kelok empat puluh empat itu nanti mulai dari Embun Pagi di luar Matur saat mulai menurun ke arah Maninjau.’

’Begitu. Jadi jalan menurun di punggung bukit yang dibuat berbelok-belok. Apa kita langsung kesana sekarang?’

’Kita akan ke Puncak Lawang dulu. Nanti di Matur kita berbelok ke kanan ke arah Lawang. Sebaliknya, kalau mau ke Maninjau kita mengambil jalan terus.’

’Wah, ini country road. Dengan banyak pohon-pohon kayu di kiri kanan. Mungkin banyak binatang liar di dalam sana,’ celetuk Aswin.

‘Mungkin saja. Hutan semak-semak seperti ini seperti tempat orang berburu babi.’

‘Jadi orang berburu babi tidak masuk ke dalam hutan besar? Hanya di hutan di pinggir jalan seperti ini saja?’

’Kalau berburu tentu mereka masuk ke dalam hutan, bukan hanya dipinggir-pinggir hutan dekat jalan.’

Mobil mereka terus melaju menempuh belokan dan tanjakan sampai akhirnya memasuki kampung Matur. Mereka berbelok ke kanan menuju Lawang. Jalan ke Lawang agak lebih kecil tapi diaspal dengan baik. Makin mendekati puncak Lawang mereka melalui kebun tebu di kiri dan kanan jalan.

’Tanaman apa itu?’ tanya Aswin menunjuk kebun tebu.

’Tebu, bahan untuk membuat gula.’

’OK. Sugar cane. Gula Lawang?’

’Ya gula Lawang. Kok kamu tahu gula Lawang?’

’Karena ini kampung Lawang. Gulanya gula Lawang. Tapi aku jadi ingat nyanyian ayah. Lumpang sagu bergula Lawang. Diberi kelapa muda. Sedang ketuju dibawa orang. Kita jadi putus asa.’

’Wah nyanyian apa itu? Aku belum pernah mendengarnya. Lagu Minang?’ tanya Pohan.

’Ya, lagu Minang. Dan iramanya tidak irama sedih seperti lagu saluang. Aku heran kenapa lagu saluang yang kita dengar tadi malam tidak ada lagu Lumpang sagu bergula Lawang.’

’Lumpang sagu? Aku tidak mengerti apa maksudnya. Kalau iramanya tidak sedih aku kurang yakin itu lagu saluang. Lagu saluang biasanya hanya lagu-lagu melankolik. Mungkin itu lagu Minang moderen, bukan jenis lagu saluang. Kamu tahu iramanya seperti apa?’

’Seperti yang aku nyanyikan. Lumpang sagu, lumpang sagu, bergula lawang. Ditengah-tengah kelapa muda. Ya begitu. Nen nen nen nen nen nen nenenen.... Seperti itu,’ Aswin mencoba menyenandungkannya.

’Benar-benar aku belum pernah mendengar. Biar nanti kita tanyakan etek,’ ujar Pohan.

’Wah, itu apa yang dikerjakan orang dengan kerbau yang ditutup matanya itu? Kenapa kerbau itu berjalan berputar-putar disana? Bisa kita berhenti melihatnya sebentar?’ tanya Aswin.

’Baik, mari kita lihat. Itu mengilang tebu namanya. Memeras air tebu dengan alat giling yang diputar dengan bantuan kerbau. Mata kerbau itu ditutup supaya dia tidak pusing, karena untuk memutar alat penggiling tebu itu, kerbau berjalan berputar-putar dalam lingkaran kecil,’ jawab Pohan.

Seorang laki-laki sedang bekerja menggiling tebu dengan tekun. Batang-batang tebu yang sudah dipotong pendek dimasukkan kedalam dua roda penggiling yang memeras air tebu keluar. Air tebu itu ditampung dengan ember plastik ukuran sedang. Air tebu yang nanti akan dimasak untuk dijadikan gula serbuk yang dikenal sebagai gula Lawang.

Aswin minta izin memotret pemandangan yang baru sekali ini dilihatnya itu. Orang laki-laki itu mempersilahkannya. Mereka berbincang-bincang sebentar dengan bapak itu sebelum meneruskan perjalanan ke puncak Lawang.

Jam sepuluh mereka sampai di Puncak Lawang. Mobil mereka di parkir di pelataran parkir yang luas dan bersih. Beberapa buah bus parawisata dan mobil-mobil pribadi telah pula diparkir disini. Tentu saja disini juga banyak plang pengumuman berisi peringatan dan himbauan disamping ucapan selamat datang. Mereka berjalan menaiki tangga menuju ke hamparan Puncak Lawang. Hamparan atau tanah rata di bagian puncak bukit yang sudah ditata dengan cukup apik. Di bagian pinggir tebing ada pagar pengaman. Di bagian agak kebelakang, dekat tangga ada bangunan mushala terbuka cukup besar lengkap dengan tempat berwudhu dan kamar kecil. Ada beberapa kamar kecil disitu yang terpelihara kebersihannya. Semua bersih dan asri. Di pinggir tebing dekat pagar pengaman terdapat banyak teropong dengan kaki tertanam ke tanah yang dapat digunakan para pelancong secara cuma-cuma.

Pagi ini Puncak Lawang cukup ramai dengan pengunjung. Banyak turis antara bangsa. Mereka menikmati pemandangan lepas ke danau Maninjau yang seolah-olah sepelemparan saja jaraknya. Kelihatannya setiap orang menikmati panorama ini. Tak terkecuali Aswin. Dia sampai melongo saking takjubnya melihat pemandangan ke bawah dimana danau Maninjau terlihat utuh dan sangat jelas. Sayup-sayup di seberang sana terlihat pula lautan, di belakang perbukitan.

Agak ke sebelah utara ada pelataran yang rupanya tempat orang memulai terbang layang. Ada empat orang yang sedang bersiap-siap mau terbang. Satu persatu mereka berlari menuju pinggiran punggungan hamparan dengan alat terbang layangnya, meloncat, lalu mulai terbang. Pastilah mereka sudah sangat ahli. Dan mereka akan mendarat nanti di bawah, di Maninjau. Keempat-empatnya sekarang sudah melayang-layang dan berputar-putar. Hebat sekali mereka itu.

Aswin sibuk memotret kesana kemari.

’Cantik sekali. Benar-benar cantik sekali,’ kata Aswin.

’Kamu tidak ingin difoto dengan latar belakang danau Maninjau?’ tanya Pohan.

’Ya. Mari kita berfoto berdua. Biar kamera kecil ini aku letakkan di atas meja itu,’ ujar Aswin.

’Ada cara yang lebih bagus, yang dikerjakan banyak orang. Kita minta tolong ke polisi wisata itu memotretkan. Biar aku minta tolong padanya,’ kata Pohan.

Mereka berpose di tepi pagar, dipotret oleh polisi wisata berbaju teluk belanga, yang ramah itu.

’Sekarang bergantian. Tolong kamu fotokan aku dengan uda polisi ini. Maukan uda?’ tanya Aswin ke pak polisi itu. Tentu saja pak polisi yang baik itu tidak menolak.

Mereka menikmati pemandangan Puncak Lawang selama satu setengah jam. Jam setengah dua belas Pohan mengajak melanjutkan perjalanan ke Maninjau, sesuai rencana semula. Sebenarnya Aswin masih betah disana. Tapi dia juga sangat ingin melihat kelok empat puluh empat yang terkenal itu.

*****

No comments: