Thursday, March 27, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (27)

27. Hari Terakhir Di Makkah


Tidur saya tidak nyenyak semalam. Malam terakhir di Makkah. Tadi malam sekitar jam sepuluh petugas penyelenggara menimbang berat koper-koper kami. Konon perusahaan Penerbangan Saudia sangat ketat sekali dalam memberikan izin utuk kelebihan berat barang. Jadi untuk tertib dan bukti siapa yang punya barang lebih maka semua bagasi perlu ditimbang. Bagi kami tidak ada masalah, insya Allah. Jumlah berat barang kami masih dibawah kuota. Pagi-pagi sebelum shalat subuh barang-barang ini ditarok di luar kamar, siap untuk dibawa turun nanti dibawah urusan penyelenggara.

Saya selalu berangkat duluan ke mesjid sejak istri saya bisa pergi bertiga dengan si Sulung dan si Tengah. Dan pagi ini mudah-mudahan si Bungsupun akan bisa ikut pergi shalat. Karena dia tidak shalat sejak hari terakhir di Mina. Dan pagi ini saya ke tempat favorit. Perlu juga bernostalgia-nostalgia. Shalat seperti subuh kemarin. Berzikir seperti subuh kemarin. Berdoa seperti subuh kemarin. Apa lagi yang dapat saya ceritakan tentang kesyahduan? Tentang kebersamaan yang sunyi? Tentang ka’bah yang anggun ditutupi kiswah hitam? Tentang pancoran emas? Tentang jamaah yang tiada henti-hentinya thawaf bahkan di pagi buta ini sekalipun? Apa lagi yang dapat saya ceritakan tentang azan yang mendayu dengan suara dan irama yang khas yang dihantarkan oleh sistim suara yang prima? Tentang jamaah yang mengatur barisan tatkala shalat sunah fajar atau qabliyah subuh itu? Apa lagi yang dapat saya ceritakan tentang wajah-wajah tirus dibungkus sorban besar di kepala yang menatap sendu ke tempat sujud? Tentang bacaan imam yang menyejukkan? Apa lagi? Apa lagi yang dapat diceritakan tentang mata yang berkaca-kaca, nafas yang tertahan? Bahkan ketika imam membaca, ihdinashshiraathal mustaqiiim, shiraathallatziina an’am ta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘alaihim, waladhdhaaaaaaaalliiiiin.

Hampir selesai sudah. Hampir habis waktu. Iya kalau nanti Allah berkenan mengizinkan kembali. Berziarah kesini. Untuk shalat disini. Untuk thawaf dan sa’i lagi disini. Ya Allah, Maha Suci Engkau. Maha Bijaksana Engkau. Engkau perintahkan kami untuk berkonvensi akbar di tempat yang Engkau pilih ini. Ya Allah lembutkanlah hati-hati kami, ketika kami sampai dengan izin Engkau di kampung kami nanti, untuk tetap ikhlas dan khusyuk menghadapkan wajah kami ke arah bait Mu ini. Ya Allah persatukanlah hati kami dalam iman yang lurus dan teguh kepadaMu. Ya Rabb, ya Rabb, ya Rabbul ‘alamiin, jadikanlah kami hamba-hamba Engkau yang pandai bersyukur kepadaMu. Atas semua nikmat ini. Atas semua kemudahan ini. Atas segala rahmat Engkau. Ya Allah terimalah amalan yang sedikit ini, ampuni ya Allah, kekurangannya, kekeliruannya. Ya Allah, izinkan ya Allah hamba bertemu lagi dengan rumah suci Mu ini nanti.

Saya tarik langkah menuju hotel. Sambil menunduk menyembunyikan mata yang mungkin saja agak bengkak. Saya hitung langkah, saya hitung tarikan nafas. Sampai ke kamar hotel.

Si Bungsu yang mula-mula bertanya haru. ‘Bagaimana ini papa? Tadi saya tidak jadi pergi shalat subuh........,’ katanya tertahan. Ya, bagaimana ini? Maksudnya, dia tentu juga ingin thawaf wada’.

‘Sudah berapa hari kamu tidak shalat?’ tanya saya.

‘Ini hari ketujuh,’ jawabnya.

‘Berapa hari biasanya kamu libur?’ tanya saya.

‘Tidak tentu. Kadang-kadang lima hari, kadang-kadang enam hari, kadang-kadang tujuh hari,’ jawabnya.

‘Begini saja. Papa bukan mau sok pintar di hadapan Allah. Memohonlah kepada Allah agar kamu disucikanNya. Papapun akan mendoakan kamu. Kalau kamu bersih, sampai kita mau berangkat thawaf jam setengah sebelas nanti kamu ikut. Kalau tidak, kamu harus bersabar. Insya Allah tidak ada beban bagimu karena tidak thawaf wada’ dan nanti papa temani kamu untuk memandang ka’bah dari pintu mesjid, sebagai perpisahan, sebelum berangkat.’

Saya berdiri di jendela, memandang burung-burung elang yang terbang berputar-putar. Memandang merpati-merpati yang pindah dari bangunan yang satu ke bangunan yang lain. Memandang lalu lintas hamba-hamba Allah di bawah sana. Indah sekali. Memandang menyamping di kaca jendela ke arah Masjidil Haram untuk melihat sebagian atapnya yang putih. Dan menara-menara mesjid yang berdiri kokoh. Yang hanya terlihat sesudut saja karena terhalang oleh dinding bangunan ini. Memandang jauh ke seberang sana ke arah bangunan-bangunan yang berpacu-pacu dengan kaki bukit batu. Indah sekali. Negeri yang didoakan oleh nabi Ibrahim agar penduduknya diberi rezeki dengan buah-buahan oleh Allah, ini. Dan doa nabi Ibrahim itu dikabulkan oleh Allah. Wattiini wazzaituun. Wathuurisiiniin. Wa haatzal baladil amiin. (Demi buah tiin dan zaitun. Demi bukit thursina. Dan negeri yang aman ini.)

Si Sulung sedang mengaji pada bagian akhir juz amma. Istri saya sedang mengemasi pernak-pernik kecil yang masih belum beres. Dibantu si Tengah dan si Bungsu. Koper-koper kami sudah diangkat ke bawah ke lobby hotel. Tinggal beberapa barang tentengan yang akan kami bawa sendiri nanti. Termasuk jeriken putih 10 liter tempat zam-zam yang akan saya angkat sendiri nanti insya Allah. Saya suruh si Tengah menuliskan nama kakeknya dengan spidol hitam di jeriken itu. Sekedar untuk tanda biar tidak tertukar.

Dan kami menanti pukul setengah sebelas. Waktu kami untuk turun dan pergi ke mesjid. Untuk mengerjakan thawaf wada’.


*****

No comments: