Tuesday, January 5, 2010

DERAI-DERAI CINTA (42)

42. SEBELUM MENINGGALKAN BANDUNG

Tibalah saatnya Imran harus meninggalkan Bandung. Karena dia ingin mencari kerja. Pusat lowongan kerja ada di Jakarta. Imran sudah mengirim beberapa buah lamaran ke perusahaan-perusahaan eksplorasi minyak bumi yang berkantor di Jakarta. Termasuk Caltex, karena mak dang Taufik menyarankan agar dia juga mengajukan lamaran ke perusahaan itu.

Imran bersiap-siap untuk meninggalkan Bandung. Dia akan ke Jakarta dan tinggal di rumah mak tuo Fatma sementara menunggu pekerjaan. Hal itu sudah dijelaskannya kepada Syahrul. Syahrul tentu saja tidak berkeberatan. Syahrul sendiri akan berangkat ke Australia bulan Juni nanti. Sepertinya akan berakhir kebersamaan mereka selama hampir lima tahun. Kebersamaan dalam persaudaraan sejati. Mereka sudah seperti bersaudara kandung saja. Senasib sepenanggungan

Suatu hari sebelum mereka berpisah itu, ketika Syahrul sedang ke Jakarta mengurus visa Australia, Imran sedang sendirian di rumah. Ratih datang bertamu.

‘Saya menyampaikan undangan uci,’ kata Ratih mengawali pembicaraan mereka.

‘Undangan apa?’ tanya Imran.

‘Uci ingin menjamu kak Imran dan kak Syahrul. Uci sudah mendengar bahwa kak Imran akan segera meninggalkan Bandung.’

‘Ucimu itu baik sekali. Saya akan meninggalkan Bandung karena saya akan melamar pekerjaan. Sekali-sekali tentu saya akan kembali juga ke Bandung….. Tapi undangan apa maksudnya?’

‘Undangan makan malam. Hari Sabtu ini. Lusa. Kak Imran belum berangkat kan?’

‘Saya akan berangkat hari Minggu sore,’ jawab Imran.

‘Berarti bisa dong?’

‘Insya Allah. Mudah-mudahan Syahrul sudah pulang sebelum hari Sabtu sore.’

‘Kak Syahrul kemana?’ tanya Ratih.

‘Dia ke Jakarta tadi pagi. Mengurus visa Australia.’

‘Iya, ya… Kak Syahrul juga mau berangkat, ya….’

‘Insya Allah satu setengah bulan lagi.’

‘Akan sepi tempat ini…..’ kata Ratih lirih.

‘Ya…. Itulah… Hidup kita ini dinamis…. Bergerak terus… Seperti air mengalir…’

‘Kak Imran berpuisi…. He..he..he..’

‘Tidak juga…. Saya hanya melihat kenyataan seperti itu…. Kehidupan ini bergulir. Dan kita kadang-kadang hanyut di dalamnya…’

‘Mungkin yang tepat kita berenang di dalamnya, kak. Berusaha mengendalikan diri di dalam arus kehidupan.’

‘Kamu benar….’

‘Dimana rencananya kak Imran mau bekerja?’

‘Saya sedang melamar di perusahaan-perusahaan eksplorasi minyak bumi.’

‘Seperti Caltex?’

‘Ya… Termasuk Caltex.’

‘Jadi kemungkinan akan bekerja di luar pulau Jawa?’

‘Belum tahu. Wallahu a’lam. Perusahan-perusahaan itu banyak sekali. Ada yang daerah operasinya di Sumatera, di Kalimantan, di Irian. Dan entah perusahaan mana yang akan mau menerima saya.’

‘Mudah-mudahan adalah, kak. Masak iya….. tidak ada yang mau menerima insinyur ITB?’

‘Semua itu di tangan Allah.’

‘Lalu…?’

‘Lalu kita harus bertawakkal… berdoa kepada Allah…’

‘Maksud saya….. Lalu…’

‘Lalu apa?’

‘Lalu bagaimana dengan……?’

‘Dengan apa?’ Imran balik bertanya sambil tersenyum.

‘Dengan niat kak Imran untuk….. berumah tangga….?’

Wajah Ratih memerah sesudah melontarkan pertanyaan itu.

‘Belum…. Belum saya pikirkan. Biarlah saya bekerja dulu. Saya kumpulkan sedikit uang dulu. Baru saya berpikir ke arah sana…’ jawab Imran.

‘Sudah ada calon?’ tanya Ratih lebih berani.

‘Belum,’ jawab Imran polos.

‘Belum….? Belum ada yang tercetus di dalam hati kak Imran?’

‘Belum…. Kalau sudah ada kemantapan hati saya untuk beristri, akan saya minta kepada Allah.’

‘Maksudnya?’

‘Saya akan shalat istikharah. Saya akan minta petunjuk kepada Allah.’

‘Begitu?’

‘Ya…. Begitu.’

‘Benarkah…. bahwa kak Imran sudah dijodohkan?’

‘Tidak….. ‘

‘Saya dengar……….’

Ratih mencuri pandang ke arah Imran dengan sudut mata.

‘Apa yang kamu dengar?’ tanya Imran

‘Saya dengar…. Kak Imran dijodohkan dengan anak pamannya itu….’

‘Dari mana kamu dengar?’

‘Jadi benar?’

‘Tidak….. Saya tidak tahu.’

‘Beritanya dari…dari…dari…’

‘Dari..dari..dari… Siapa? Saya tidak mengerti maksudnya.’

‘Saya diberitahu Irma. Irma dapat cerita dari Yuni. Yuni diberitahu kak Rizal saudara sepupu kak Imran itu.’

‘Ooo begitu…’

‘Jadi benar, kalau begitu?’

‘Saya tidak tahu. Benar, saya pernah mendengar dari Rizal ada pembicaraan orang-orang tua mengenai hal itu. Sudah lama sekali. Sudah lebih dua tahun yang lalu. Tapi tidak ada satu orangpun yang membicarakannya kepada saya selain Rizal.’

‘Maksudnya…. Kak Imran sedang menunggu pamannya akan menanyakan hal itu?’

‘Tidak juga.’

‘Seandainya ditanya? Apakah kak Imran akan langsung menerimanya?’

‘Belum tentu….. Seperti saya katakan tadi, saya akan beristikharah. Saya akan meminta petunjuk kepada Allah.’

‘Tentu tidak akan mudah bagi kak Imran menolak permintaan pamannya….’

‘Ya…… wallahu a’lam. Saya tidak tahu….’

Ratih kehabisan bahan pembicaraan untuk sementara. Mereka berdua terdiam beberapa saat. Ratih memandang dengan pandangan kosong. Melamun.

‘Sudah selesai ujian tengah semester?’ Imran memecah kesunyian.

‘Sudah, kak.’

‘Lancar?’

‘Biasa-biasa saja.’

‘Semoga ujian-ujiannya berhasil,’ Imran berbasa-basi.

‘Amiin…’

Mereka terdiam lagi. Beberapa saat lagi.

‘Kak Syahrul pernah cerita ke kak Imran?’

‘Tentang apa?’ Imran balik bertanya.

‘Tentang apa, ya….?’

‘Lho… Saya tidak mengerti maksudnya…. Tentang apa…?’

‘Tentang………’

‘Kok ragu-ragu?’

‘Tentang…….. Dia bilang…… Dia meminta saya……’

Imran terdiam. Diperhatikannya wajah Ratih. Akhirnya diajukannya juga pertanyaan.

‘Dia meminta Ratih…. Maksudnya dia meminta Ratih untuk jadi…..?’

Giliran Ratih terdiam. Dia menunduk tanpa menjawab. Imran juga tidak bisa berkata-kata. Dia cukup kaget mendengar apa yang baru saja diucapkan Ratih.

‘Saya percaya Syahrul bersungguh-sungguh. Saya sangat yakin itu. Sudah dijawab? Maksud saya sudah ada rencana yang lebih jelas?’ Imran memecah kesunyian.

‘Saya belum menjawabnya.’

‘Ya….. Ratih perlu memikirkannya…. Pikirkanlah sebaik-baiknya….’

‘Saya sudah memikirkannya………’

‘Bagus kalau begitu….’

‘Saya pikir, saya harus menyelesaikan kuliah dulu……’

‘Tentu saja…. Itu adalah rencana yang sangat baik.’

‘Dan sebelum kuliah ini selesai, saya belum mau…..’

‘Saya pikir Ratih benar…. Selesaikanlah dulu kuliahnya. Kan tinggal setahun dua tahun lagi saja. Sementara itu dia juga menyelesaikan sekolahnya… ’

‘Dia? Maksud kan Imran?’

‘Maksud saya Syahrul….. Kan tadi kita membicarakan Syahrul…’

Ratih kembali menunduk.

‘Ya…… Kak Syahrul itu berbeda dengan kakak…..’

Imran menangkap apa yang dimaksud Ratih.

Sukma datang mengetok pintu. Dia memberi tahu Ratih bahwa uci ingin menanyakan sesuatu. Ratih mohon pamit. Meninggalkan Imran sendirian.


*****

No comments: