Wednesday, November 26, 2008

SANG AMANAH (74)

(74)

17. Harapan Kembali (1)


Hari sudah hampir jam setengah sebelas malam. Langit mendung dan hujan rintik-rintik masih turun. Sore tadi hujan lebat sempat turun sebentar. Jalanan masih basah dan di sana-sini air tergenang. Edwin berjalan tergesa-gesa menuju halte bus di pinggir jalan Prof. Dr. Saharjo, tidak jauh dari pompa bensin tempatnya bekerja. Memakai topi dan jaket penahan hujan rintik-rintik yang terasa dingin menerpa muka. Dia baru selesai bertugas jaga di pompa bensin di dekat itu, pekerjaan yang ditekuninya sejak empat bulan terakhir. Setiap hari dia bekerja di sini dari jam dua belas siang sampai jam sepuluh malam. Tidak ada penjelasan kenapa jam kerjanya seperti itu dan tidak berubah-ubah. Tidak ada sistim rotasi. Pokoknya, sejak dia diterima mas Hendro bekerja di sini, peraturannya ya seperti itu. Mas Hendro adalah mandor para pegawai di pompa bensin itu. Dia itu saudara sepupu Amir, teman sekolah Edwin dulu dan yang memperkenalkannya kepada mas Hendro. Pada waktu pulang, kadang-kadang dia ditawari boncengan sepeda motor oleh mas Hendro, sampai ke Kampung Melayu. Tapi hari ini, karena hari hujan, mas Hendro pulang lebih awal. Katanya, karena di daerah dekat tempat tinggalnya kebanjiran.

Lalu lintas di jalanan sudah mulai sepi. Edwin sedang menunggu angkot ke jurusan Kampung Melayu dan dari sana dia harus naik angkot lain ke jurusan Bekasi. Dia sudah menunggu kira-kira sepuluh menit. Belum ada angkot yang arah ke Kampung Melayu datang. Beberapa tukang ojek menghampirinya, tapi Edwin menolak. Ongkos ojek ke Kampung Melayu paling kurang tiga ribu rupiah. Dan kalau sampai ke rumahnya di perapatan Halim bisa enam ribu rupiah. Itu sama dengan uang makannya satu hari. Kalau naik angkot dia akan membayar dua ribu lima ratus sampai ke rumah. Jadi lebih baik menunggu.

Edwin faham betul arti uang seribu dua ribu rupiah yang harus diperhitungkan pengeluarannya. Dia bahkan sangat sadar bahwa dia harus bekerja. Dia harus membantu ibu mendapatkan uang untuk menunjang kehidupan keluarganya. Semenjak ayahnya, yang bekerja sebagai petugas Satpam di sebuah gedung bertingkat di Jakarta Pusat, meninggal karena kecelakaan lalu lintas setengah tahun yang lalu, kehidupan mereka semakin berat. Ibunya juga bekerja sebagai petugas kebersihan, atau ‘cleaning service’ di bangunan yang sama. Penghasilannya jelas sangat minim dan tidak cukup untuk menunjang kehidupan mereka berlima. Waktu ayahnya masih hidup, dengan penghasilan ayah dan ibu berdua kehidupan mereka masih lumayan. Tapi semenjak ayahnya meninggal, beban ibunya menjadi bertambah berat. Edwin adalah anak paling tua. Adik-adiknya masing-masing bersekolah di SMP kelas dua, SD kelas lima dan kelas dua. Mereka beruntung, karena dengan penghasilan Edwin sebagai pegawai pompa bensin, adik-adiknya masih tetap dapat bersekolah.

Sambil berteduh di halte bus yang sepi itu, Edwin mengamati jalan raya, menunggu-nunggu kedatangan angkot. Matanya mengamati sebuah taksi yang sedang berbelok di putaran berbentuk huruf U. Bahagian depan taksi itu sudah berada di sisi jalan sebelah ke dekat halte, tapi tiba-tiba taksi itu berhenti. Karena dari arah barat tiba-tiba pula datang sebuah mobil sedan dengan kecepatan tinggi. Suara kenalpot sedan itu sangat keras memekakkan telinga. Meskipun bagian depan taksi yang akan berputar arah itu menjorok ke jalan yang akan dilaluinya, sedan yang sedang ngebut itu seharusnya bisa berlalu dengan aman. Masih cukup lebar jalan untuk dilaluinya tanpa mengganggu taksi itu. Tapi mungkin karena gugup dengan posisi taksi seperti itu, sedan ngebut ini membanting setirnya ke kiri. Di depan, ada sebuah mobil lain yang baru keluar dari pompa bensin, sedang berhenti menunggu kesempatan untuk berbelok ke kiri ke jalan besar. Sedan ngebut yang kehilangan kendali itu menghantam mobil yang sedang berdiri ini di bahagian depan dan seterusnya terguling dan akhirnya menghantam tiang listrik di tengah jalan dalam posisi terbalik. Kaca-kacanya hancur dan bagian atap sedan itu penyok tertekan, menyebabkan pengemudi dan seorang penumpang di dalam terjepit. Sedan yang baru keluar dari pompa bensin ringsek di bagian depannya, dengan posisi bergeser empat puluh lima derajat dari semula akibat hantaman.

Edwin hampir tidak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya. Beberapa detik dia hanya ternganga menyaksikan kecelakan dahsyat itu. Setelah sadar dia berlari menghampiri mobil yang terbalik. Dari arah pompa bensin, Mansur, temannya sesama pegawai pompa bensin, juga berlari mendekati mobil nahas itu. Dari mobil yang tertabrak keluar seorang bapak-bapak dengan tubuh menggigil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Bapak itu pasti sangat terkejut dengan apa yang baru saja dialaminya. Taksi yang akan berputar tadi, berhenti dekat mobil yang kena tabrak dan sopirnya keluar menghampiri mobil yang terbalik itu. Sopir taksi itu memeriksa denyut nadi kedua orang di dalam mobil ringsek itu. Yang laki-laki rupanya hanya pingsan dengan muka berlumuran darah. Edwin, Mansur dan sopir taksi mengeluarkannya dengan hati-hati. Penumpang di sebelah kirinya, seorang wanita muda, kelihatannya sudah tidak bernyawa. Tidak ada lagi denyut nadinya dan kepalanya mengeluarkan darah jauh lebih banyak.

Sopir taksi mengajak Edwin dan Mansur menggotong laki-laki malang itu, yang ternyata adalah seorang anak muda, ke taksinya untuk diantarkan ke rumah sakit. Orang itu dibaringkan di jok belakang dengan kaki ditekuk. Kemungkinan kakinya patah. Dia merintih waktu kakinya ditekuk. Sopir taksi meminta agar salah satu di antara Edwin dan Mansur menemaninya mengantar ke rumah sakit. Mansur menyuruh Edwin saja yang pergi sementara dia akan menelpon polisi dan ambulan. Sopir taksi memberi tahu Mansur bahwa dia akan membawa anak muda itu ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara, seandainya nanti ada yang perlu diberi tahu.

Dengan diantar oleh Edwin, anak muda yang luka-luka itu dibawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara. Waktu mereka sudah hampir sampai di rumah sakit, HP di kantong laki-laki malang itu berbunyi. Sopir taksi menyuruh Edwin mengambil HP itu sekalian menjawabnya. Edwin mengeluarkan HP dari kantong jaket laki-laki itu dan menjawab panggilannya. Terdengar suara seorang laki-laki dari ujung sana.

‘Udah nyampe dimana lo Tom?’

‘Hallo, ini bukan Tom. Dengan siapa ini?’ Tanya Edwin.

‘Hah! Siapa lo? Mana Tomi?’

‘Mas. Yang punya HP ini mengalami kecelakaan. Mobilnya menabrak mobil lain dan terbalik. Mobil itu rusak berat. Orang ini sedang pingsan dan luka-luka waktu kami keluarkan dari mobil itu. Saat ini sedang kami bawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara. Kami sudah hampir sampai di rumah sakit ini sekarang,’ jawab Edwin.

‘Apa kamu bilang? Kamu ini siapa?’ suara dari sebelah sana.

‘Saya yang menolong orang itu. Nama saya Edwin. Saya sedang berada di halte bus dekat tempat itu waktu kecelakaan terjadi’, jawab Edwin.

‘Dimana kejadiannya? Dan kamu dimana sekarang?’ tanya orang itu lagi.

‘Kejadiannya di jalan Prof. Dr. Saharjo di Tebet. Dekat pompa bensin. Di sebelah kiri jalan kalau dari arah Pancoran. Saya membawa orang yang luka-luka ini ke rumah sakit bersama seorang sopir taksi,’ jawab Edwin lagi.

‘Terus Henni bagaimana?’ tanya orang itu lagi.

‘Ada seorang wanita di mobil itu. Dia tidak tertolong. Dan waktu kami membawa laki-laki ini, wanita itu masih belum dikeluarkan dari mobil yang terbalik itu,’ jawab Edwin.

Terdengar suara laki-laki di ujung telpon genggam itu berteriak histeris. Edwin mencoba memanggil-manggil, tapi tidak dijawabnya lagi.

Sampai di rumah sakit mereka langsung membawa anak muda itu ke unit gawat darurat. Dia masih pingsan. Dokter jaga segera merawatnya dibantu dua orang juru rawat. Menurut dokter kedua kaki orang itu memang patah, kepalanya sobek di keningnya dan mengeluarkan banyak sekali darah. Masih ada luka lain di tangannya yang tidak terlalu parah. Dokter menjahit luka di kepala itu sementara kaki yang patah mungkin harus dioperasi.

Sopir taksi yang baik itu mengajak Edwin untuk menunggu sampai salah seseorang dari keluarga anak muda itu datang ke rumah sakit. Edwin setuju saja. Dengan menggunakan HP anak muda itu mereka coba mencari alamat nya. Mereka berhasil mendapatkan alamat dan nomor telpon orang tua Tomi di Kebayoran Baru setelah terlebih dahulu menelpon salah satu nama yang ada di daftar nama-nama di HP itu. Kepada orang tua itu dijelaskan apa yang terjadi dengan anaknya. Tentu saja berikut mengenai korban wanita di mobil yang mengalami kecelakaan itu, yang masih mereka tinggalkan di mobil itu, karena dia sudah meninggal. Ayah Tomi yang menerima telpon, kaget dan histeris mendengar kabar itu. Dia memberi tahu bahwa dia sendiri akan segera menyusul ke rumah sakit.

Sambil menunggu, Edwin berbincang-bincang dengan sopir taksi yang baik itu, yang bernama Amran Harahap. Katanya, tadi itu dia sudah mau pulang ke Bekasi sesudah mengantar penumpangnya ke Tebet Timur, namun sebelum pulang ingin mengisi bensin dulu. Waktu kecelakaan itu terjadi dia mau berputar menuju ke pompa bensin.

Lebih kurang setengah jam kemudian orang tua dari anak muda yang mengalami kecelakaan itu datang. Pak Suminta datang ditemani seorang anak laki-laki yang lebih muda, mungkin adik Tomi. Pak Suminta tidak dapat menyembunyikan kesedihan hatinya. Air matanya bercucuran waktu melihat keadaan anaknya. Edwin menceritakan bagaimana terjadinya kecelakaan tadi secara ringkas. Pak Suminta mendengarkan cerita itu sambil sesenggukan menahan tangis, sambil dia tak henti-hentinya memandangi dan memegang tubuh Tomi yang terbaring lemah.

Sesudah selesai dengan cerita ringkas itu, Edwin dan sopir taksi mohon diri setelah terlebih dahulu menyerahkan HP Tomi kepada ayahnya. Pak Suminta mengucapkan terima kasih banyak atas pertolongan mereka berdua. Waktu Edwin ditanya dimana alamatnya, dia hanya memberitahu bahwa dia bekerja di pompa bensin dekat tempat terjadinya kecelakaan tadi. Anak laki-laki yang bersama pak Suminta itu mencatat informasi yang diberikan Edwin dan Amran Harahap, berikut nomor taksinya.


*****

No comments: