Friday, November 7, 2008

SANG AMANAH (50)

(50)

‘Apakah abang akan ceritakan semuanya kepada anak-anak?’ tanya ibu Fatimah kepada suaminya pak Umar waktu mereka dalam perjalanan pulang dari rumah keluarga pak Suryanto.

‘Semua yang mana maksud kamu Fat?’ tanya pak Umar.

‘Semua yang kita temui hari ini. Penolakan abang atas hadiah mobil. Tawaran pergi umrah,’ jawab ibu Fat.

‘Ya… nanti di rumah kita diskusikan bersama. Ada hal-hal yang mudah-mudahan bisa jadi pelajaran bagi anak-anak kita,’ pak Umar menjelaskan.

‘Bagaimana pendapat abang tentang tawaran mereka untuk pergi umrah?’ tanya ibu Fat pula.

‘Kalau menurut kamu bagaimana, Fat?’ pak Umar balik bertanya.

‘Abang dong yang menentukan. Pertanyaannya kan tertuju kepada abang,’ jawab ibu Fat.

‘Maksud abang, pendapat kamu sejujurnya. Apakah kamu kepingin?’ tanya pak Umar lagi.

‘Saya seperti yang saya katakan di rumah mereka tadi. Saya ini makmum. Apa kata abang saya ikut,’ jawab ibu Fat lagi.

‘Paling tidak kamu harusnya punya dong pendapat. Apa pendapat kamu?’ pak Umar mendesak.

‘Tidak ada bang. Tidak ada pendapat saya. Seandainya abang tolak, saya mengerti kenapa abang tolak dan saya mendukungnya. Seandainya abang terima, saya bisa juga memahami kenapa abang terima, sayapun mendukungnya pula,’ jawab ibu Fat berdiplomasi.

‘Kamu benar-benar istri yang sangat baik, Fat. Baiklah, saya tahu apa yang akan saya lakukan. Saya akan beristikharah. Saya akan mohon petunjuk kepada Allah,’ kata pak Umar akhirnya.

‘Itupun saya sangat sependapat. Saya akan berdoa agar abang diberi petunjuk untuk menentukan pilihan.’

Mereka melaju menuju pulang di jalan Kali Malang yang tidak seramai hari-hari kerja. Lima belas menit kemudian mereka sudah sampai kembali di rumah. Mereka dapati anak-anak masih melanjutkan gotong royong membersihkan pekarangan rumah. Fauziah langsung menyongsong kedatangan mereka. Pak Umar mengucapkan salam seperti biasa dan dijawab anak-anak pula seperti biasa. Faisal dan Amir menghentikan pekerjaan mereka dan mengikuti orang tua mereka masuk ke dalam rumah. Setelah itu Fauziah langsung memberondong orang tuanya dengan pertanyaan.

‘Bagaimana keadaan ibu itu ayah? Apakah dia sudah berangsur baik? Apakah dia sudah bisa bangun dari tempat tidurnya?’ tanya Fauziah bertubi-tubi.

‘Banyak betul pertanyaan kamu. Mana yang harus ayah jawab terlebih dahulu?’

‘Ceritain aja ayah, bagaimana keadaan ibu yang dulu sakit parah kata ayah itu!’ pinta Fauziah pula.

Mereka berkumpul di ruang tengah rumah mereka yang tidak seberapa besar itu. Ibu langsung berganti pakaian dan setelah itu langsung menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Ibu bisa mendengarkan percakapan ayah dan anak-anak dari dapur. Ayah mulai menceritakan keadaan ibu Ningsih.

‘Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah ibu Ningsih itu kelihatannya sudah sembuh. Ayah sangat heran melihat keadaannya sekarang karena dalam pikiran ayah dia itu masih seperti kondisinya yang ayah lihat sebulan yang lalu. Ternyata dia sekarang segar bugar tidak terlihat sakit sedikitpun. Maha hebat kekuasaan Allah, ayah sangat ta’jub melihatnya.’

‘Dia tidak lagi terbaring di tempat tidur ayah?’ Faisal ikut bertanya.

‘Tidak. Dia duduk bersama-sama kami, ikut ngobrol bersama-sama. Sedikitpun tidak terlihat bahwa dia itu sebulan yang lalu sakit berat,’ jawab ayah.

‘Mujarab juga obat yang ayah tunjukkan. Padahal dia itu, kata ayah dulu, sudah habis dioperasi, kan?’ tanya Amir.

‘Benar. Waktu ayah dulu mengunjunginya dia sudah dua bulan sebelumnya dioperasi. Semenjak habis dioperasi itu, katanya hampir tidak pernah turun dari tempat tidur. Tapi sekarang, dengan kekuasaan Allah dia sembuh.’

‘Syukurlah kalau begitu. Tentulah anaknya yang bandel itu ikut bahagia, ya ayah?’ tanya Fauziah.

‘Mereka sekeluarga bahagia sekali. Dan anaknya itu, kelihatannya sudah tidak bandel lagi sekarang. Ayah sering melihatnya ikut shalat di mesjid sekolah,’ jawab ayah.

‘Dan tahukah kalian bahwa ayah tadi mengembalikan pemberian?’ ibu ikut nimbrung dari dapur.

‘Kenapa dikembalikan ayah? Apa sih pemberiannya?’ tanya Amir.

‘Kira-kira menurut kamu apa?’ ayah balik bertanya.

‘Paling-paling uang. Kenapa ayah kembalikan? Kan bisa saja diserahkan lagi ke mesjid Al Muhajirin, untuk kas mesjid,’ kata Amir.

‘Sayang pemberiannya bukan uang,’ kata ayah.

‘Jadi apa dong?’ tanya Amir penasaran.

‘Ya, memangnya apa ayah? Pemberiannya?’ Fauziah ikut-ikutan tidak sabar.

‘Apa tadi, bu? Yang mau dikasih sama orang itu?’ ayah berpura-pura bertanya.

‘Kalian mau tahu pemberiannya apa?’ tanya ibu. ‘Mobil. Sebuah Kijang baru. Sudah disiapkan di garasi mobil mereka. Sudah diserahkan kuncinya kepada ayah, tapi ayah menolaknya,’ ibu menjelaskan secara ringkas.

Ketiga anak-anak itu melongo mendengarkannya. Mereka tahu orang tua mereka tidak biasa berpura-pura. Artinya, mereka percaya dengan apa yang dikatakan ibu. Tapi mereka ketiganya tidak tahu atas dasar apa ayah menolak pemberian itu.

‘Bagaimana sih cerita lengkapnya ayah?’ tanya Amir agak penasaran.

‘Seperti yang diceritakan ibu. Jadi maksud mereka, karena saking bahagianya barangkali, karena ibu Ningsih itu sudah sembuh, sebagai ungkapan terima kasih dan rasa syukur mereka, mereka mau memberi hadiah mobil untuk ayah. Mobilnya sudah ada di rumah itu. Masih baru, ayah lihat tempat duduknya masih dibungkus plastik,’ ayah coba menerangkan.

‘Apa alasan penolakannya ayah? Padahal mungkin saja mereka sudah ikhlas mau memberikannya kepada ayah. Bukankah tidak baik menolak rezeki?’ Faisal ikut berkomentar.

‘Ayah memberikan empat alasan kenapa ayah menolaknya kepada pak Suryanto. Ayah jelaskan lagi kepada kamu bertiga alasan-alasan tersebut.

Pertama kita tidak sanggup mempunyai sebuah mobil. Gaji ayah tidak cukup untuk membayar pajaknya, untuk membeli bensinnya, untuk biaya perawatannya.

Yang kedua ayah tidak mau timbul fitnah atas diri kita dari kalangan guru-guru di SMU 369. Bagaimanapun kita menerangkan nanti kepada orang lain, orang akan dengan mudah menilai, ‘baru sebulan jadi kepala sekolah sudah dapat mobil baru dari wali murid, bagaimana kalau setahun?’ kata orang. Meskipun kita mungkin bisa menutup kuping atas fitnah seperti itu, namun paling tidak kita ikut berdosa memberi orang kesempatan untuk berprasangka yang tidak patut atas diri kita.

Yang ketiga, fitnah itu juga bisa muncul dari lingkungan tempat tinggal kita. Tetangga-tetangga akan mencibir kepada ayah yang baru sebulan jadi kepala sekolah sudah dapat mobil baru. Mereka akan menyelidik. Akan bertanya kiri-kanan. Dan akhirnya mereka akan tahu bahwa ayah mendapatkannya dari seorang wali murid. Orang tidak akan percaya bahwa pemberian itu adalah sebagai ucapan terima kasih karena ayah telah menunjukkan obat kepada ibu Ningsih. Terlalu sulit untuk dipercaya.

Yang keempat, fitnah itu bisa hadir di rumah kita ini. Kalian selalu ayah ingatkan untuk bekerja keras, karena hanya dengan kerja keras dapat diperoleh hasil yang gemilang. Hasil yang berharga. Tentu kalian akan membanding-bandingkan kata-kata ayah dengan kenyataan dimana ayah begitu mudahnya mendapatkan sebuah mobil. Padahal kita tahu bahwa mobil sangat mahal harganya.

Itulah dasar pertimbangan ayah. Dan di samping itu, kita tidak boleh silau oleh kemewahan dunia ini yang datang dengan terlalu mudah,’ kata ayah mengakhiri keterangannya.

Ketiga anak-anak itu masih melongo mendengarkan ayah mereka.

‘Apa alasan mereka sebenarnya mau memberi ayah mobil?’ tanya Amir.

‘Menurut mereka sebagai ungkapan terima kasih karena ayah telah menunjukkan obat yang ternyata sangat mujarab bagi penyembuhan penyakit ibu Ningsih. Alasannya mungkin bisa ayah terima, karena ayah sendiri terheran-heran melihat kondisi kesehatan ibu Ningsih itu sekarang. Hanya hadiah semahal itu ayah tetap tidak sanggup menerimanya, karena memang kita tidak mampu memeliharanya,’ ayah menambahkan.

‘Betul ayah, Ziah sangat setuju. Tidak perlu kita punya mobil kalau memang kita tidak mampu mengurus dan membiayainya,’ kata Fauziah.

‘Jadi cuma begitu saja ceritanya ayah?’ tanya Amir masih penasaran.

‘Tentang mobil iya, cuma itu saja,’ jawab ayah berteka-teki.

‘Apa ada lagi yang lain selain mobil, ayah?’ tanya Amir lagi.

‘Sesudah tawaran mobil kita tolak apa lagi yang mereka tawarkan tadi, bu?’ tanya ayah berpura-pura.

‘Tawaran menemani mereka sekeluarga pergi umrah,’ jawab ibu.

‘Kalau yang ini tentu tidak ayah tolak,’ kata Faisal.

‘Kan sama juga dengan yang pertama. Karena sama-sama bisa menimbulkan pertanyaan orang lain juga,’ komentar Amir.

‘Iya ayah?’ tanya Fauziah. ‘Ayah sudah menolaknya juga?’

‘Untuk tawaran yang ini, ayah belum mengatakan iya dan belum mengatakan tidak,’ jawab ayah.

‘Kenapa ayah? Kan sama saja dengan tawaran yang pertama. Sama-sama bisa menimbulkan fitnah. Harusnya ayah bisa juga langsung menolaknya,’ kata Amir tetap kritis.

‘Ayah akan shalat istikharah. Ayah akan memohon agar diberi petunjuk oleh Allah. Kamu benar Mir, bahwa hal ini juga bisa menimbulkan fitnah. Itulah sebabnya ayah tidak langsung mengatakan bersedia. Tapi permintaannya agak berbeda. Karena kali ini ibu Ningsih itu meminta ayah beserta kamu sekalian, artinya kita berlima, menemani mereka sekeluarga melaksanakan ibadah umrah,’ ayah menjelaskan.

‘Kita semua juga diajak ikut ayah?’ tanya Fauziah berbinar-binar.

‘Ya…. begitu tadi kata ibu Ningsih itu. Kita semua akan diajaknya. Nah, sekali lagi belum ada keputusan ayah untuk itu. Sekarang ayah sekadar ingin tahu, bagaimana pendapat kalian masing-masing?’ tanya ayah.

Ketiga anak-anak itu saling berpandang-pandangan satu sama lain, kelihatan lucu sekali. Tidak seorangpun yang memberikan jawabannya. Mereka bingung mau menjawab pertanyaan itu. Kenapa tidak menanyakan pendapat ibu? Ya, harusnya tanya bagaimana pendapat ibu. Amir yang lebih kritis itu bertanya.

‘Bagaimana pendapat ibu?’ tanyanya.

‘Ibu tidak memberikan pendapat apa-apa. Ibu menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan ayah. Kalau ayah menerima, ibu bisa mengerti. Kalau ayah menolak ibu juga bisa memahami,’ kata ibu menjelaskan.

No comments: