Friday, May 1, 2009

DERAI-DERAI CINTA (18)

18. ANAK GADIS TETANGGA

Imran baru selesai makan siang. Sendirian saja karena Syahrul belum pulang kuliah. Dia duduk santai sambil berkipas-kipas karena kepanasan dan kepedasan. Suara musik dangdut radio tetangga terdengar menghentak-hentak. Siang ini tidak ada lagi kegiatan kuliah. Hari Kamis memang hanya ada satu mata kuliah dan tidak ada praktikum. Tadi pagi dia mengurus pengiriman kain ke Bukit Tinggi. Terus mampir di Bank Bumi Daya di jalan Merdeka. Mengambil uang untuk biaya tugas praktek lapangan ke Karang Sambung. Praktek lapangan geologi itu akan dilaksanakan selama empat puluh hari pada saat liburan semester nanti.

Sore ini Imran mau belajar ke perpustakaan. Belajar di perpustakaan jauh lebih enak karena tenang. Di tempat tinggalnya sering berisik. Disini rumah-rumah kontrakan sangat rapat satu sama lain. Banyak anak-anak kecil bermain dan mereka biasanya sangat ribut. Ditambah pula suara berisik radio yang dipasang keras-keras. Di rumah ini waktu yang aman untuk belajar hanya di waktu subuh.

Imran terkantuk-kantuk ketika terdengar suara memanggil.

‘Kak Imran........’

Imran bangkit dari duduknya. Suara itu suara Ratih. Anak pemilik rumah kontrakan. Ratih baru mulai kuliah di fakultas Farmasi Unpad.

‘Kak Imran.......’

‘Ya,’ jawab Imran sambil menuju pintu.

‘Kak Imran lagi sibuk, ya?’ tanya Ratih.

‘Saat ini nggak. Kenapa?’ Imran balik bertanya.

‘Ajarin Ratih, dong. Boleh nggak?’

‘Belajar apa?’

‘Ini, matematika. Ratih nggak ngerti-ngerti nih. Ratih boleh masuk nggak?’

‘Boleh. Silahkan. Memang kapan ujiannya?’

‘Besok, kak.’

‘Yang lebih jago sebenarnya kak Syahrul,’ kata Imran.

‘Dia kan nggak ada. Kak Imran kan juga jago.’

‘Kok tahu dia nggak ada ?’ tanya Imran asal-asalan.

Ratih tidak menjawab. Mukanya sedikit memerah.

Imran mengamati soal matematika itu. Berpikir sebentar. Beberapa saat kemudian dia sudah menemukan jawabannya. Imran menerangkan pemecahan soal itu kepada Ratih. Ratih manggut-manggut mengerti. Selesai soal itu, Ratih minta diterangkan dua buah soal yang lain. Kebetulan Imran juga dapat menyelesaikannya. Soal yang ketiga agak susah. Imran berpikir lama sebelum berhasil menemukan pemecahannya.

‘Terima kasih, ya kak,’ Ratih tersenyum.

‘Terima kasih kembali,’ jawab Imran, juga sambil tersenyum.

‘Kak Imran nggak pergi-pergi?’

‘Nanti saya mau ke perpustakaan. Mau belajar juga,’ jawab Imran.

‘Kapan mulai ujiannya, kak?’

‘Minggu depan sudah mulai mid test.’

‘Ratih sudah mulai minggu ini. Berat-berat nih.’

‘Tapi bisa, kan ?’

‘Yang kemarin, kimia susah. Ah, nggak tahulah.’

‘Mudah-mudahan berhasil.’

‘Amiin.’

Syahrul datang.

‘Asyik, nih. Berduaan,’ Syahrul menggoda.

‘Asyiik dong,’ jawab Ratih agak genit. ‘Udah, deh. Ratih pamit dulu, ya. Terima kasih ya kak Imran?’

‘Kok saya datang, langsung bubar? Terganggu ya?’

‘Ah nggak. Ratih minta tolong diajarin matematika. Sudah selesai. Dan kak Imran katanya mau pergi. Udah, kak ya....’

‘Sudah faham matematikanya? Sudah siap menghadapi ujian?’ tanya Syahrul.

‘Mudah-mudahanlah. Pamit dulu ya, kakak-kakak.’

Ratih lalu pergi.

Syahrul yang baru datang bergegas pergi shalat. Sudah jam setengah tiga. Selesai shalat baru dia makan.

‘Kau sudah makan, Ran?’ tanya Syahrul.

‘Sudah,’ jawab Imran pendek.

‘Beres urusan kiriman tadi pagi?’ tanya Syahrul lagi.

‘Alhamdulillah, beres. Dan sudah aku telepon ibu. Mudah-mudahan minggu depan sudah sampai disana.’

Syahrul makan dengan lahap. Pasti dia sangat kelaparan.

‘Pedas sekali asam padeh ini,’ komentar Syahrul.

‘Iya. Aku tadi juga kepedasan. Tadi cabe merah hanya dua buah, aku ganti dengan cabe rawit. Ternyata pedas sekali.’

‘Patutlah...... Tapi enak sekali ini. Kalau si Ratih lewat lagi, tidak akan kelihatan,’ kata Syahrul melucu.

Kambut. Kalau kau duduk disana, mana pula akan kelihatan dia lewat.’

‘Maksudku, kalaupun dia lewat di mukaku disini, tidak akan terlihat.’

‘Saking enaknya asam padeh?’

‘Bukan. Saking pedasnya. Terkerinyit-kerinyit mata menahan pedas.’

Kambut..... ‘

‘Jadi......., kau berminat nih, sama si Ratih?’ tanya Syahrul mengalihkan cerita.

‘Berminat apa ?’ tanya Imran.

‘Alaaah... Sudah mau berdua-dua... Masak masih kura-kura dalam perahu.... huuu haah... pedas....’

‘Berdua-dua? Ooo, tadi itu? Dia datang bertanya. Minta tolong ditunjukkan matematika, apa pula salahnya.’

‘Ah. Kau tidak arif-arif juga. Dia bukan sekedar minta diajari matematika, itu. Tapi ada maksud yang terkandung di hati. Ada udang dibalik bakwan. Masak kau tidak merasa?’

‘Tidak. Aku tidak merasa apa-apa. Aku datar-datar saja. Dia minta tolong, aku tolong.’

‘Iya pulalah kalau begitu. Siapa tahu nanti bersemi juga bunga sakura.’

‘Banyak benar puisimu. Bunga sakura mana pula yang akan bersemi?’

‘Entah. Bunga sakura dihati remaja barangkali...He..he..he..’

‘Aku mau ke perpustakaan sebentar lagi. Kau mau ikut?’ Imran mengalih pembicaraan.

‘Kau pergi sajalah. Aku mau beristirahat sebentar. Lagi pula nanti sore aku sudah janjian mau menyelesaikan tugas di rumah si Rinto.’

‘Dari perpustakaan, aku mau ke Sekeloa. Mungkin pulangnya malam.’

‘Berarti, nanti malam kau tidak makan di rumah?’

‘Mungkin tidak.’

‘Kalau begitu, nanti malam asam pedasnya kuhabiskan. He..he..he..’

‘Habiskanlah. Hati-hati... siap-siap saja dengan obat sakit perut.’

‘Tenang saja. Kan ada pisang. Netralkan dengan pisang, habis perkara.’


*****

No comments: