Sunday, January 6, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (2)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (2)

2. NOSTALGIA MASA REMAJA

Dalam perjalanan pulang aku bercerita panjang kepada istriku. Menyambung yang sudah diceritakan Marwan sebelumnya. Istriku senang pula mendengar cerita pengalaman remajaku itu.

Kami dulu bersekolah di SMP kecamatan. Murid-murid sekolah itu berasal dari berbagai kampung di sekitarnya. Kami datang ke sekolah berombongan-rombongan, berkafilah-kafilah. Ada kampung yang ramai anggota rombongannya tapi ada juga yang sedikit, terdiri dari beberapa orang saja. Rombongan dari kampung kami agak lumayan banyak, mungkin sekitar tiga puluhan orang untuk semua tingkatan kelas. Dari setiap kafilah pasti ada yang dituakan atau yang jadi pemimpin, biasanya murid kelas tiga dan ini berganti setiap tahun sebab yang lebih senior berangkat meninggalkan sekolah. Murid sekolah itu lumayan banyak. Masing-masing kelas dibagi menjadi lima ruangan, dari kelas A sampai kelas E.

Pergaulan di sekolah itu cukup menyenangkan. Kami punya banyak sekali kawan. Meski kami adalah anak-anak orang kampung tapi kami juga tidak kalah aksi. Di sekolah kami mempunyai banyak kegiatan baik olah raga maupun kesenian. Tentu saja ada pula kegiatan pramuka. Kami latihan pramuka sekali seminggu, tiap hari Sabtu sore. Itu adalah arena kumpul-kumpul dan bersenang-senang, tempat kami belajar menjadi lebih dewasa. Pada saat acara kegiatan pramuka, disamping latihan bermacam-macam keterampilan, kami juga latihan bernyanyi-nyanyi, bermain gitar. Ujung-ujungnya kegiatan pramuka jadi arena tempat saling jatuh hati. Mulailah ada yang berpomle-pomlean. Biasanya kalau sudah begitu diikuti dengan bersurat-suratan.

Kami pernah ikut jambore pramuka se Sumatera Barat di Sawah Lunto. Tentu saja tidak semua anggota pramuka ikut. Yang ikut adalah anggota-anggota pilihan. Aku dan Marwan ikut dalam rombongan itu. Kami berkemah di Muaro Kalaban dekat kota Sawah Lunto selama lima hari ketika itu. Banyak kenangan waktu kami ikut berjambore ini. Aku tidak akan pernah lupa ketika regu kami jadi juara waktu diadakan acara penjelajahan malam yang diikuti oleh puluhan perwakilan berbagai sekolah. Karena kami umumnya anak-anak kampung, kami lebih berani dalam berjalan di tengah gelapnya suasana kampung di sekitar arena perkemahan yang waktu itu tidak ada penerangan listrik. Bahkan ada diantara rombongan kami yang diam-diam justru menakut-nakuti anak-anak dari rombongan lain ketika mereka melalui tempat-tempat gelap. Lawan-lawan kami yang kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah di kota, yang sudah dimanjakan lampu listrik umumnya sangat ketakutan. Dan kami juga juara paduan suara. Dan disanapun aku jadi bintang karena aku adalah ketua grup paduan suara rombongan kami.

Marwan dan aku juga pemain bola kaki sekolah. Pernah kami bertanding ke sekolah lain yang berakhir dengan kericuhan. Kami menang dalam pertandingan itu. Pemain lawan mulai bermain kasar. Kaki Marwan diserimpet hingga dia jatuh terjungkal. Dia tidak segera membalas. Pada saat lain terjadi perebutan bola. Marwan yang berada dekat anak yang menyerimpetnya tadi, dalam duel perebutan bola dengan indah menyikut kepala anak itu. Dalam permainan bola hal itu bisa terlihat sebagai ketidak sengajaan. Tapi rupanya anak itu tidak mau menerima. Marwan dikejarnya dan langsung dipukulnya. Marwan tentu saja melawan dan terjadi perkelahian singkat yang segera dilerai wasit.

Seusai pertandingan, dan ketika akan berangkat pulang, kami sudah dikepung oleh murid-murid sekolah itu yang badannya besar-besar. Kami ada sekitar dua puluhan orang sedang mereka yang datang pada saat itu sedikit lebih banyak. Anak yang tadi berkelahi dengan Marwan langsung mendekatinya sambil bercarut dan mengajak berkelahi. Dia memegang sebuah tongkat kayu. Aku yang berada di samping anak itu, merampas kayu yang dipegangnya sambil mengatakan kalau mau berkelahi silahkan pakai tangan kosong. Temannya yang lain langsung menerjangku dan kami langsung terlibat dalam perkelahian. Kamipun akhirnya terlibat dalam tawuran massal. Berdebuk-debuk bunyi tinju dan sepakan kaki. Kami yang dua puluh orang kompak dalam perkelahian itu saling melindungi dan saling menyerang. Ada sekitar lima menit lamanya ketika akhirnya guru-guru sekolah itu datang melerai. Guru-guru itu bertanya apa yang terjadi dan kenapa kami berkelahi. Aku menjelaskan bahwa kami tiba-tiba diserang dan kami melawan. Pak guru itu menanyai murid-muridnya kenapa mereka menyerang pemain tamu. Kalau kalah main bola ya kalah saja, kenapa mesti berkelahi, katanya. Pemain lawan itu tidak ada yang bisa memberikan jawaban kenapa mereka menyerang kami. Untunglah guru mereka cukup adil dan menyalahkan murid-muridnya karena berkelahi dengan tamu. Kami disuruh pulang dan murid-murid sekolah itu diancam kalau masih berkelahi lagi akan dihukum di sekolah.

Ketika aku baru duduk dikelas tiga, terjadi peristiwa pemberontakan PKI di bulan September tahun 1965. Meski hampir tidak ada dampak langsung dari peristiwa berdarah itu di daerah kami, ada juga pengaruhnya kepada kami. Kami ikut-ikutan jadi anggota Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia. Dan kami disuruh guru untuk bertugas ronda malam menjaga sekolah secara bergiliran. Hal yang tentu saja tidak akan kami tolak. Pada awal-awalnya ada bapak guru atau pegawai Tata Usaha yang ikut ronda bersama kami. Suasana masih lumayan tertib, meski sudah ada yang berani merokok saat jaga malam itu. Tentu saja ketika pak guru sedang tidak dekat kami. Setelah beberapa minggu, tidak ada lagi guru yang menemani. Kami jadi bebas dan leluasa. Acara ronda malam itu sedikit demi sedikit berubah menjadi pusat latihan jadi preman kecil-kecilan. Kami belajar main kartu koa sesama murid. Ada juga akhir-akhirnya yang benar-benar terlibat dalam perjudian kecil-kecilan. Sampai suatu hari pak kepala sekolah yang entah dapat laporan dari siapa menemukan kartu koa yang kami sembunyikan. Dan beliau juga menemukan banyak bekas sundutan api rokok di dinding ruangan posko ronda, bekas tempat mematikan api rokok. Kami, ketua-ketua kelas dikumpulkan dan dimarahi. Dan sejak itu ronda malam tidak diadakan lagi. Karena sebenarnya memang tidak ada gunanya.

Tapi di kampung masing-masing kami masih melanjutkan kegiatan ronda malam di hari Sabtu sore. Tentu saja dengan kegiatan yang mirip. Bergerombol-gerombol hilir mudik dalam kampung bersenjatakan pentungan kayu dan berbekal lampu senter. Kalau sudah capek meronda kami berkumpul untuk ngobrol. Lama kelamaan ada yang mengajak main kartu koa pula. Kami mulai pandai merokok dan main kartu serta bahampok kecil-kecilan.

Istriku mendengar cerita panjang lebar itu dengan penuh perhatian sepanjang perjalanan kami menuju rumah. Dia menyoalku dengan pertanyaan-pertanyaan.

‘Dan uda jadi ikut-ikutan pandai main kartu dan merokok kala itu?’ tanyanya.

‘Ya, bagaimana tidak. Karena baik di sekolah maupun di kampung, uda ketika itu senang bergaul. Dan pergaulan kami memang seperti itu. Semua yang biasa bergaul pasti kena imbas. Tapi tidak lama sesudah itu, ke kampung kami datang beberapa orang anggota Pelajar Islam Indonesia, disingkat PII, dari Bukit Tinggi. Mereka ingin merekrut anak-anak muda di kampung kami menjadi anggota. Dan bagi yang berminat diharuskan menjalani masa pelatihan selama seminggu,’ jawabku.

Aku termasuk yang berminat mengikuti pelatihan PII itu. Kami jalani masa pelatihan itu di saat libur sekolah, bertempat di ruangan sekolah dasar di kampung kami. Isinya adalah latihan berorganisasi secara islami. Kami diajar dan dilatih bagaimana cara berdiskusi, berdebat, berpidato bahkan berkhutbah. Tentu saja acara latihan itu sangat menarik bagiku. Programnya sangat intensif dan dilaksanakan sejak dari pagi, siang, malam, bahkan sampai tengah malam. Para pelatih itu pintar-pintar membawa acara, sehingga kami senang dan betah berada dalam acara itu. Sayang waktunya singkat untuk mempelajari materi latihan yang cukup banyak. Tapi paling tidak kepada kami sudah diajarkan dasar-dasar pengetahuan untuk berorganisasi dalam PII.

Dan sesudah itu akupun menjadi anggota PII. Jadi anggota PII ini berhasil menetralisir latihan kepremanan yang didapatkan selama mengikuti acara ronda malam.

Di kampung aku memang aktif kemana-mana. Termasuk di mesjid tentu saja. Apa lagi sejak jadi anggota PII. Kami menjadi anak-anak muda yang alim.

Tahun 66 itu terjadi pergeseran tahun ajaran. Karena di kota-kota besar kegiatan sekolah banyak terganggu oleh kegiatan-kegiatan di luar sekolah, untuk berdemo. Masa belajar yang tadinya berakhir di bulan Julli di geser ke bulan Desember. Itu terjadi di seluruh Indonesia. Tanggal 1 Agustus seharusnya kami sudah duduk di bangku SMA tapi karena penundaan masa tahun ajaran kami masih tetap saja di SMP. Kami tidak terlalu perduli dengan hal itu. Dan kami tetap berada dalam kesibukan rutin sekolah baik yang perlu maupun yang tidak perlu. Kami tetap mengikuti latihan-latihan olah raga dan kegiatan pramuka seperti biasa.

‘Tapi, ngomong-ngomong. Apa benar uda ikut mengatakan bahwa da Marwan itu anak orang PKI? Apa benar dia anak orang PKI?’ tanya istriku.

‘Sesudah peristiwa Gestapu, memang banyak orang curiga kepada orang-orang yang dikenal sebagai anggota PKI. Sebelum peristiwa itupun sebenarnya kami mendengar siapa yang anggota PKI siapa yang bersimpati kepada PKI. Bahkan di antara guru kami ada yang terang-terangan mengaku sebagai anggota PKI. Kami tidak mengerti apa-apa dan tidak perduli dengan semua itu. Dan dari mulut ke mulut memang kami dengar bahwa ayah si Marwan anggota PKI. Ketika kemudian PKI diketahui sebagai dalang peristiwa Gestapu, banyak orang yang tadinya mengaku PKI itu menghilang, bersembunyi entah kemana. Termasuk guru kami itu. Orang jadi takut diketahui sebagai anggota PKI. Dan Marwan pasti terhina ketika kePKIan ayahnya disebut-sebut,’ aku mencoba menjelaskan.

‘Dan benarkah uda menghalangi si Rosmiar jadi pomle da Marwan karena itu ?’

‘Jelas tidak. Uda tidak ada urusan dengan itu. Dan Marwan adalah teman baik uda. Seperti yang diceritakannya tadi, kami sebenarnya adalah sahabat baik. Dan uda tidak kenal siapa ayahnya, bagaimana mungkin uda akan menjelek-jelek orang yang tidak dikenal. Entah kenapa si Rosmiar menyebut pula nama uda ketika dia menolak si Marwan yang jatuh hati kepadanya. Dan entah kenapa Marwan mengajak uda berkelahi gara-gara itu.’

‘Dan sejak berkelahi tidak lagi jadi sahabat karib?’

‘Hanya untuk sementara waktu sesudah itu. Tapi lama kelamaan kami berbaik lagi. Bahkan sesudah kami berkelahi massal sesudah main bola, kami jadi bersahabat baik lagi. Dia sangat menghargai pembelaan uda kepadanya ketika berkelahi massal itu.’

‘Dan pergi jambore pramuka juga sesudah perkelahian?’

‘Uda lupa. Mungkin sebelum kami berkelahi. Ya, benar sebelum berkelahi. Karena sejak jambore itu dia mulai jatuh hati kepada si Rosmiar yang juga ikut dalam rombongan.’

‘Murid wanita juga ikut berjambore?’

‘Ya, ada rombongan murid laki-laki dan ada rombongan murid wanita. Kemah kami tidak berdekatan. Terpisah sejauh lima ratus meter di sebuah lapangan yang luas dekat sungai. Ketika jambore justru tidak ada waktu untuk berdekatan dengan murid wanita. Masing-masing kami sibuk dalam aneka perlombaan. Kami bersama-sama satu rombongan besar dalam perjalanan ketika berangkat dan pulang. Waktu itu kami naik keretapi ke Sawah Lunto.’

‘Dan selama dalam perjalanan itu anggota rombongan berpomle-pomlean?’

‘Ya lebih kurang begitulah. Sekedar untuk bernyanyi-nyanyi bersama dalam perjalanan. Bergurau dan bercanda. Tapi tidak bisa kami berbuat yang aneh-aneh karena disamping ada guru-guru yang mengawasi di dalam kereta juga ada penumpang lain. Lagi pula apa yang dapat dilakukan anak-anak kecil bercelana pendek berpacaran ketika itu.’

‘Apakah da Marwan juga ikut jadi anggota PII?

‘Ya, dia ikut. Karena di kampungnya juga ada acara yang sama. Waktu kami ngobrol di sekolah, dan uda katakan bahwa uda akan ikut latihan untuk menjadi anggota PII, banyak teman-teman yang juga ingin ikut, termasuk Marwan. Kala itu anggota senior PII memang datang ke kampung-kampung untuk merekrut anggota baru. Entah kenapa mereka tidak datang ke sekolah saja.’

‘Dan di sekolah tidak ada kegiatan PII atas nama sekolah?’

‘Tidak ada. Dan rasanya tidak boleh. Yang boleh hanya mendirikan sekeretariat KAPPI. Tapi KAPPI itu juga kalah pamor di sekolah kami. Seingat uda hanya sekali kami ikut dalam aksi demo mengatas namakan KAPPI, ketika seorang anak STM mati tertembak di Bukit Tinggi. Di sekolah kami lebih senang menggunakan identitas sebagai murid SMP kami saja.’

‘Apakah ketika itu uda dan teman-teman uda sudah mengerti politik?’

‘Jelas belum. Kami tidak tahu apa itu politik. Di sekolah guru mengajarkan kami tentang apa yang sedang terjadi di kancah politik ketika itu. Tapi kami hanya mengerti begitu-begitu saja dan tidak ada yang benar-benar tertarik.’

‘Apakah uda aktif pula di PII di luar kampung?’

‘Tidak. Hanya di kampung saja. Setelah seminggu latihan itu kami tidak pernah lagi bertemu dengan para pelatih dari Bukit Tinggi itu. Sesudah latihan kami diberi kartu anggota dan lencana PII dari logam untuk disematkan di kopiah atau jaket. Kami tidak punya kopiah dan jaket, jadi lencana itu untuk sementara kami sematkan di baju. Hanya beberapa hari dan sesudah itu kami sudah lupa.’

‘Jadi tidak banyak manfaatnya pelatihan seminggu itu kalau begitu?’

‘Tidak banyak, tapi ada. Paling tidak seperti uda katakan tadi menetralisir kami dari menjadi preman kampung. Kami tetap bergaul dengan preman kampung, yang suka merokok, suka berhampok. Tapi kami tidak ikut-ikutan merokok dan berhampok lagi sejak kami jadi anggota PII itu.’

‘Akhirnya kan selesai juga masa sekolah uda di SMP. Bagaimana lagi seterusnya pergaulan dengan teman-teman SMP itu?’

‘Ketika kami tamat dari SMP keadaan huru hara sudah semakin reda. Tahun 67 uda masuk SMA di Bukit Tinggi. Banyak juga muridnya yang dari SMP kami. Tapi disana gabungannya jadi lebih besar karena SMA itu menerima murid dari banyak SMP yang lain. Marwan sudah menghilang entah kemana. Ada juga uda dengar kabar selentingan bahwa dia dibawa saudara ayahnya ke Jawa. Kami tidak ada kontak sama sekali lagi sejak itu.’

‘Sampai hari ini?’

‘Ya, sampai hari ini.’

‘Ketika tamat dari SMP tidak adakah acara perpisahan? Tidak adakah saling memberitahu kemana akan melanjutkan sekolah?’

‘Tentu saja ada. Tapi acara yang lebih banyak hura-huranya. Kami dalam keadaan gembira karena sudah lulus ujian dan akan melanjutkan sekolah ke sekolah berikutnya. Acara perpisahan itu diisi dengan berbagai acara nyanyi-nyanyi, ada deklamasi, ada pementasan drama juga oleh adik kelas kami. Wakil kami berpidato mengucapkan kata berpisahan. Kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg tentang perlakuan guru-guru yang suka marah-marah.’

‘Uda tetap jadi penyanyi di saat perpisahan itu.’

‘Sudah barang tentu. Marwan yang mengiringi dengan gitar seperti biasa. Nyanyi bertambuh-tambuh karena setiap kali selesai sebuah lagu, teman-teman itu berteriak-teriak mintak diteruskan. Pokoknya heboh dan ramai.’

‘Siapa yang berpidato mewakili anak kelas tiga untuk menyampaikan kata perpisahan? Uda juga?’

‘Bukan. Ada teman lain. Lupa pula uda namanya. Anaknya memang pintar berpidato. Seperti orang besar penampilannya. Dan mantap kata-katanya.’

‘Da Marwan tidak pamit mau melanjutkan sekolah kemana? Dia tidak pamit mau ke Surabaya?’

‘Seingat uda tidak. Kami merasa bahwa semua kami yang lulus pasti akan melanjutkan sekolah ke Bukit Tinggi. Baik ke SMA. Ke STM atau ke SMEA. Tapi tidak ada yang saling bertanya persisnya mau masuk sekolah mana. Mungkin semua menganggap nanti akan ketahuan juga ke sekolah mana masing-masing melanjutkan.’

‘Dan selama beberapa kali berjumpa di toko tadi uda tidak bisa mengingat dia. Berubah benarkah wajahnya?’

‘Ya iyalah. Dulu mana ada dia berjenggot dan berkumis seperti itu. Tapi garis wajahnya itu yang tetap uda ingat samar-samar sebagai orang yang pernah uda kenal.’

Tak terasa kami sudah sampai di rumah. Perbincangan nostalgia masa SMP ku itu sementara berhenti sampai disana.


*****

No comments: