Saturday, October 15, 2011

KENANGAN MASA PRRI (5)

5. Bergabung

Lewat tengah malam cuaca berubah cerah. Langit penuh bintang berkelap kelip. Tapi udara terasa sangat dingin. Di kedinginan malam itu ada enam orang berjalan beriring-iring di jalan kampung. Tanpa suara. Masing-masing memakai kopiah sebo untuk melindungi kepala mereka dari terpaan angin dingin. Masing-masing berkelumun kain sarung dan masing-masing menyandang bedil. Mereka adalah tentara PRRI. Yang paling depan adalah letnan Harun. Atau dikenal anak buahnya dengan panggilan komandan Basa. Gelarnya Sutan Basa. Mereka menuju ke rumah wali jorong. Anjing tuan Asmar tidak berbunyi sedikitpun.

Tuan Asmar, wali jorong itu adalah penghubung orang PRRI dengan simpatisannya di kampung. Umumnya penduduk kampung sangat memihak kepada PRRI tapi hanya sebagian yang benar-benar bersimpati. Para simpatisan ini, secara diam-diam berpartisipasi untuk membantu tentara-tentara PRRI itu semampunya. Ada yang menyumbang uang, yang menyumbang pakaian dan obat-obatan, yang menyumbang bahan makanan. Tuan Asmar yang menampungnya dan menyimpannya hati-hati di rumahnya. Dua kali sepekan, letnan Harun dengan anak buahnya atau kadang-kadang diwakili oleh anak buahnya datang ke rumah wali jorong untuk mengambil sumbangan-sumbangan itu.

Letnan Harun memberi isyarat di dinding bilik tuan Asmar. Tuan Asmar segera tahu karena memang dia tidak tidur sejak dari tadi. Setelah berbagi kode seperti biasa, keenam tentara itu masuk melalui pintu seperti yang dimasuki Junaidi.

Ada cahaya sangat temaram dari lampu togok yang berkedip-kedip di bilik kecil itu. Keenam tentara itu duduk bersandar ke dinding di samping Junaidi yang sedang tidur setengah mendengkur berselimutkan kain sarung. Dia tidak terganggu sedikitpun dengan kedatangan rombongan ini. Tuan Asmar membangunkan Junaidi dengan menepuk pundaknya. Junaidi segera bangkit dari tidurnya. Dikuceknya matanya sambil memandang keheranan pada keenam orang yang sudah duduk di kamar itu. Junaidi bangkit menyalami mereka.

‘Bagaimana kabar?’ tanya komandan Basa berbisik.

‘Kabar baik, pak,’ jawab Junaidi.

Dalam rombongan itu rupanya ada pula Tamrin, sahabat Junaidi. Dia tidak mengenalinya sampai Tamrin melepas sebonya. Mata Junaidi terbelalak. Tamrin tersenyum kepadanya.

Tuan Asmar mengeluarkan sebuah ketiding yang ditutupi dengan karung sumpit kosong dari sebuah peti kayu di sudut bilik. Ketiding itu berisi nasi bungkus dan ceret air minum yang memang sudah disiapkan dari senja. Sumbangan diam-diam dari orang kampung simpatisan. Bungkusan nasi itu dibagikannya. Junaidi juga kebahagian. Mereka sedang bersiap-siap akan menikmati nasi bungkus itu. Dari jauh terdengar gonggongan anjing sangat ramai. Suara salak anjing-anjing kampung.

‘Itu mereka. Kemasi barang bawaan. Kita segera turun!’ perintah komandan Basa.

Semua anak buahnya bersiap mengumpulkan bungkusan termasuk bungkusan obat-obat dari dalam ketiding. Satu per satu mereka turun dari pintu di lantai menuju kandang. Termasuk Junaidi. Jantung Junaidi berdebar-debar. Salak anjing itu makin ramai saja. Mungkin hanya pada jarak sekitar lima puluh meter dari rumah dan arahnya tepat menuju ke rumah tuan Asmar. Dalam hitungan belasan detik serombongan orang yang disalak anjing itu sampai di halaman rumah wali jorong. Terdengar derap sepatu tentara. Pastinya itu tentara pusat. Mungkin mereka sedang memeriksa sekitar rumah tuan Asmar.

Beberapa puluh detik pula sebelumnya, tuan Asmar sudah kembali menurunkan tongkat pasak pintu kandang dari dalam rumah. Di atas lantai yang jadi pintu masuk dari dalam kandang kembali diletakkan ketiding berisi karung sumpit kosong. Cerek air dipindahkannya ke luar dan lampu togok dipadamkannya. Tuan Asmar berjinjit sepelan mungkin ke kamarnya yang tidak berkunci dalam kegelapan. Rombongan tentara PRRI sudah berlalu semuanya.

Tepat ketika tuan Asmar sampai di kamar, dinding di luar kamar itu diketok orang dengan kasar.

‘Nyiak Jorong………! Nyiak Jorong………! Buka pintu kami mau ke rumah,’ teriak orang dari luar itu.

Pintu itu digedor berkali-kali.

‘Ya……! Siapa….?’ Jawab tuan Asmar sambil terbatuk-batuk.

Wali jorong itu melangkah ke luar kamar dan membuka sebuah jendela di tengah rumah untuk melihat keluar. Ada empat orang tentara berpakaian hijau berdiri di sana. Salah satu dari tentara itu sengaja menyenter ke arah rombongan mereka.

‘Ada apa?’ tanya tuan Asmar.

Suaranya tidak sedikitpun menunjukkan rasa takut.

‘Kami ingin naik ke rumah,’ jawab orang itu pula.

‘Baik! Naiklah, saya bukakan pintu,’ jawab tuan Asmar.

Dia melangkah ke pintu masuk rumah di bagian tengah antara rumah dan dapur dengan membawa lampu togok yang berkibar-kibar nyaris padam ditiup angin. Ditariknya pasak pintu rumah dan dibukanya gerendelnya. Rombongan itu sudah berada di depan pintu itu.

‘Naiklah!’ tuan Asmar mempersilahkan mereka naik.

Tentara-tentara APRI itu naik satu persatu, lima orang semuanya. Tuan Asmar mengenali bahwa tiga dari lima orang tentara itu adalah OPR, tentara bantuan dari orang lokal. OPR dengan tentara yang dari Jawa ibarat anjing pemburu dengan tuannya. Anggota OPR-lah yang biasanya mengendus-endus, mencari segala sesuatu yang mereka curigai untuk kemudian dilaporkan kepada atasannya anggota APRI dari Jawa. Di halaman anjing masih menyalak sekali-sekali.

‘Kami akan menggeledah rumah ini,’ kata seorang dari tentara dengan bahasa Indonesia aksen Jawa.

‘Silahkan, pak. Ada apa rupanya?’ tanya tuan Asmar pura-pura bodoh.

Tentara itu tidak menjawab. Semuanya memeriksa setiap sudut dengan bedil terkokang di tangan, siap diletupkan. Mereka masuk ke bilik-bilik yang terbuka pintunya, termasuk bilik tempat beberapa menit yang lalu ditempati rombongan tentara lain. Hanya ada ketiding kosong dalam bilik itu. Tentara itu terus memeriksa dan menyenter ke setiap sudut sampai ke langit-langit. Tidak menemukan suatu apapun.

‘Buka pintu ini!’ perintah tentara Jawa itu lagi.

Pintu yang dimaksudnya adalah pintu kamar di sebelah kamar tidur tuan Asmar yang ditempati mertuanya. Tuan Asmar membuka pintu itu yang memang tidak dikunci. Tentara itu melihat ada seorang tidur bergelung di atas dipan kayu. Tentara itu melongok ke dalam bilik dan menyenter ke bawah dipan. Tidak ada siapa-siapa selain orang tua yang kelihatannya sangat nyenyak tidurnya.

‘Nama saudara siapa?’ tentara Jawa itu bertanya lagi.

‘Asmar, pak,’ jawab tuan Asmar pendek.

‘Saudara, wali jorong?’

‘Ya.’

‘Tadi ada orang datang ke rumah ini?’

‘Tidak.’

‘Tidak ada tentara pemberontak yang datang?’

‘Tidak ada.’

‘Yang tidur itu siapa?’

‘Mertua saya.’

‘Kami tahu tentara pemberontak suka datang ke rumah ini.’

‘Tidak ada. Tidak sesiapapun yang datang.’

‘Kamar saudara yang mana?’

‘Yang ini,’ jawab tuan asmar sambil menunjuk ke pintu biliknya.

‘Ada siapa di dalam?’

‘Istri dan anak-anak saya.’

‘Coba buka!’

Tuan Asmar membuka pintu. Tentara itu melongok ke dalam. Darah tuan Asmar berdegup. Khawatir jika tentara ini berniat berbuat jahat. Di dalam kamar iti ada sebuah ranjang besi. Ada tiga orang tidur di atas ranjang itu. Istri dan kedua anak-anaknya.

Tentara itu menyenter-nyenter ke dalam kamar. Anak tuan Asmar yang kecil terbangun dan menangis ketakutan. Semua terbangun dan mereka duduk di tempat tidur. Istri tuan Asmar menutupi kepalanya dengan selendang. Pintu kamar itu kembali ditutup tentara Jawa itu.

‘Ya sudah! Saya perintahkan kalau ada tentara pemberontak datang ke rumah ini agar saudara melapor ke kantor Buter di Biaro,’ kata tentara itu.

‘Baik,’ jawab tuan Asmar.

‘Saudara kan ketua jorong. Laporkan juga kalau ada warga di kampung ini yang bekerja sama dengan pemberontak.’

‘Ya, pak.’

Kelima tentara itu turun dari rumah. Salak anjing tuan Asmar kembali heboh. Mereka berlalu dalam kegelapan malam.

*****

No comments: