Thursday, December 4, 2008

SANG AMANAH (83)

(83)

‘Maksud saya…… bagaimana ya, pak ya? Maksud saya…….. anak saya itu…. Edwin namanya, sekarang bekerja, pak. Dia bekerja untuk menunjang kehidupan kami anak beranak. Dia membantu saya mencari nafkah. Untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Mungkin bapak faham maksud saya sekarang,’ ujar ibu Winarni dengan kepala ditegakkan. Tampak sekali dia berusaha menahan perasaannya.

‘Ya… saya paham maksud ibu,’ giliran pak Umar sekarang yang terdiam.

Tiba-tiba terdengar suara orang mengucapkan salam.

‘Assalamu’alaikum.’

Ibu Winarni melangkah ke arah pintu keluar, menyambut yang mengucapkan salam.

‘Wa’alaikumsalam….. eeeei. Beneran jadi datang. Waduuh maaf nih. Begini keadaannya di sini. Silahkan masuk, pak.’

‘Wush, jangan manggil pak. Ini suami saya lho, Win. Kenalkan, mas ini Winarni teman terkurung di lift kemarin dulu itu. Tapi…eh, maaf. Lagi ada tamu ya Win?’

‘Iya. Masuk aja, nggak apa-apa,’ Winarni mempersilahkan Ningsih dan suaminya masuk.

Betapa kagetnya mereka melihat di dalam ruangan tamu itu ada pak Umar dan istrinya, ibu Fat.

‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh….. apa kabar bapak dan ibu Umar?’ mas Yanto mengucapkan salam.

‘Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Kabar baik…. kabar baik. Wah…kok bisa ketemu di sini kita? Subhanallah….subhanallah. Silahkan pak Yanto… silahkan…kebetulan saya ada keperluan sedikit dengan ibu Winarni,’ pak Umar menyapa pak Suryanto dan ibu Ningsih dengan ramah.

Giliran ibu Winarni yang kebingungan sebenar-benarnya bingung. Ada apa ini? Tapi dengan cepat otaknya berpikir. Oh, pastilah pak guru ini mengenal Ningsih dan suaminya karena anak Ningsih sekolah di SMU 369. Tapi kok kayaknya akrab sekali? Yaa…... mungkin saja mereka masih bersaudara. Tapi bagaimana kalau pak guru ini masih melanjutkan lagi pembicaraan tadi? Ah, rasanya sih pembicaraan mereka sudah selesai tadi.

‘Maaf… Silahkan duduk Ningsih, silahkan mas…. Maaf… Biar saya ambil satu kursi lagi di dalam,’ ibu Winarni berusaha tenang.

Ibu Winarni menenteng sebuah kursi dari ruangan dalam dan ikut duduk kembali.

‘Rupanya bapak-bapak dan ibu-ibu ini sudah saling kenal,’ ibu Winarni mencoba membuka kembali pembicaraan.

‘Maaf, saya cerita sedikit. Kamu ingat Win? Cerita saya bahwa saya baru saja sakit berat? Pak Umar ini yang membantu kesembuhan saya,’ ujar ibu Ningsih.

‘Oh begitu?’ jawab ibu Winarni sambil mengangguk ke pak Umar.

‘Saya hanya membantu dengan doa. Jadi sudah sehat benar sekarang ibu Ningsih? Sudah bisa beraktifitas secara normal kembali?' tanya pak Umar

‘Alhamdulillah, pak. Berkat doa bapak. Alhamdulillah saya sudah sehat,’ jawab Ningsih.

'Ngomong-ngomong, mana anak-anak kamu Win?’ tanya ibu Ningsih pula.

‘Mereka ada di dalam. Biar sebentar saya panggil,’ jawab ibu Winarni.

‘Win! Ini ada sedikit untuk anak-anak,’ ibu Ningsih menyerahkan kotak yang kelihatannya kotak kue-kue kepada ibu Winarni.

‘Kamu merepotkan diri,’ ibu Winarni berbasa basi. Dia meletakkan kotak kue itu ke belakang.

‘Wah, saya mohon maaf. Karena kami sudah cukup lama di sini, saya rasa kami mau mohon diri dulu,’ ujar pak Umar.

‘Kok buru-buru pak Umar?’ tanya pak Yanto.

‘Kami sudah dari tadi di sini pak Yanto. Saya mohon maaf, sudah merepotkan ibu Winarni. Baiklah kami mohon izin pamit dulu,’ pak Umar mengulangi kata-katanya.

‘Saya berterima kasih sekali atas perhatian bapak, tapi sekali lagi saya harap bapak bisa mengerti keadaan saya,’ ujar ibu Winarni.

‘Saya mengerti bu. Mudah-mudahan Allah SWT mencarikan jalan keluar yang terbaik buat ibu,’ pak Umar menambahkan.

‘Maaf, kalau boleh saya tahu. Kira-kira apa sih yang sedang pak Umar dan Winarni bicarakan? Maaf, hanya ingin tahu saja, karena pembicaraan yang terakhir ini seolah-olah menggunakan bahasa sandi bagi saya,’ Ningsih memberanikan ikut berbicara.

Winarni terdiam. Mukanya agak pucat. Sepertinya dia tidak ingin hal ini diketahui Ningsih. Ningsih menyesal bertanya. Dia mengerti bahwa pembicaraan tadi mungkin tidak boleh diketahuinya.

Pak Umar dan ibu Fat bangkit dari tempat duduk. Mereka bersiap-siap mau pergi. Pak Umar menyalami pak Yanto dan mengangguk kepada ibu Ningsih dan ibu Winarni. Ibu Fat mengangguk kepada pak Yanto dan menyalami ibu Ningsih dan ibu Winarni. Pak Umar dan istrinya pergi sesudah mengucapkan salam.


*****


Setelah pak Umar pergi mereka meneruskan berbincang-bincang bertiga. Ningsih kembali mencoba menanyakan, ada keperluan apa pak Umar tadi datang. Winarni masih ragu-ragu. Tapi Ningsih mendesak secara halus.

‘Kalau sekiranya kamu punya masalah, tidak ada salahnya kamu bagi-bagi Win. Siapa tahu dengan dipikirkan bersama-sama suatu masalah bisa lebih mudah diatasi,’ ujar Ningsih.

‘Ya.. kamu benar. Tapi tidak ada masalah kok Ning. Pak guru tadi itu menawarkan anak saya untuk masuk sekolah kembali. Padahal dia sudah terlalu lama bolos. Dan lagi pula dia sudah bekerja sekarang. Jadi saya rasa, tentu dia sudah tidak mau sekolah lagi,’ ibu Winarni menjelaskan.

‘Kamu yakin anak kamu sudah tidak ingin kembali ke sekolah?’

‘Ya..hampir yakin. Anak itu ……. Sangat bertanggung jawab sekali. Dia bekerja atas kemauannya sendiri,’ jawab ibu Winarni.

‘Tujuh belas tahun kayaknya masih terlalu muda untuk bekerja.’

Ibu Winarni terdiam.

‘Win, maaf. Mana anak-anak kamu?’ tanya Ningsih mengalihkan pembicaraan.

Ibu Winarni memanggil anak-anaknya. Anak-anak itu muncul satu persatu dari ruang belakang. Edwirna, Edwar dan Edwanto. Mereka bersalaman dengan ibu Ningsih dan pak Suryanto, yang berbasa basi menanyakan sekolah mereka. Anak-anak itu menjawab pertanyaan ibu Ningsih maupun pak Suryanto malu-malu, dan kemudian mereka kembali ke belakang.

‘Win, ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan. Kamu bilang, kamu dulu pernah bekerja sebagai tenaga pembukuan selama empat tahun, bukan? Bagaimana kalau sekarang kamu bekerja di perusahaan suami saya? Sebagai tenaga pembukuan?’

Winarni terdiam. Dia melongo mendengar penawaran itu. Ningsih melanjutkan lagi kata-katanya.

‘Saya sudah mengajukan lamaran atas nama kamu. Dan lamaran itu diterima oleh pimpinan ……..’ ujar ibu Ningsih terputus.

‘Benar, Winarni. Kamu diterima bekerja sebagai pemegang pembukuan di perusahaan yang saya pimpin. Tapi ada satu syaratnya. Mudah-mudahan kamu sanggup menerima syarat ini. Syaratnya, anak kamu yang paling besar bersekolah kembali,’ bapak Suryanto menyambung pembicaraan istrinya.

Winarni tambah melongo. Kali ini dengan air mata mulai mengalir. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Bagaimana ini? Dia tidak pernah mengajukan apa-apa, tapi tiba-tiba Ningsih datang mengulurkan tangannya yang lembut dibantu oleh suaminya yang santun menawarkan sesuatu yang terlalu indah. Tidak sedikitpun dia bermimpi akan menerima anugrah yang sebegini mulianya. Sepasang suami istri ini sungguh-sungguh telah diutus Tuhan untuk membantunya anak beranak.

‘Bagaimana Winarni? Apakah ada yang tidak berkenan?’ tanya bapak Suryanto kembali.

Ibu Winarni tambah berurai air mata. Suaranya tidak keluar karena ditelan oleh sesenggukannya. Anak-anaknya yang mendengar suara ibu mereka menangis bermunculan. Tiba-tiba pula muncul Edwin yang baru pulang dari tempat bekerjanya. Anak laki-laki yang sudah mendengar dari ibunya kemarin tentang rencana teman ibunya untuk datang ke rumah mereka, langsung mengerti bahwa tamu inilah teman ibu itu. Hanya dia tidak mengerti kenapa ibu menangis sesenggukan di hadapan orang ini. Edwin menyalami pak Suryanto dan ibu Ningsih, tanpa berkata sepatahpun. Matanya melirik wajah ibunya yang basah oleh air mata.

Edwin tidak tahan untuk tidak bertanya.

‘Ada apa ibu? Kenapa ibu menangis?’

Ibunya tetap diam dalam sesenggukan tangisnya. Edwin bingung seperti adik-adiknya yang juga bingung melihat ibu mereka menangis tapi tersenyum.

Ibu Ningsih mencoba memecah kebekuan itu.

‘Kamu yang namanya Edwin?’ tanyanya.

‘Benar tante,’ jawab Edwin singkat.

‘Begini, Edwin. Tante sudah mengajukan lamaran untuk ibu kalian bekerja di perusahaan suami tante ini. Ibu kalian berpengalaman sebagai karyawan tata buku. Lamaran itu ternyata diterima pimpinan perusahaan itu. Namun ada syaratnya. Syaratnya adalah, agar kamu kembali bersekolah. Hanya saja, ibu kalian belum menjawab apakah bersedia untuk bekerja di perusahaan suami tante ini. Bagaimana menurut pendapat kalian?’

Anak-anak itu berebutan memeluk ibu mereka. Keempat-empatnya. Keempat-empatnya menangis memeluk ibu mereka.

Edwin menyalami bapak Suryanto dan ibu Ningsih serta mencium tangan keduanya. Ibu, anak beranak itu larut dalam tangis bahagia.


*****

No comments: