Thursday, February 21, 2008

KETUPAT LEBARAN (1423)

KETUPAT LEBARAN (1423)

Cuaca mendung. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku bergegas meninggalkan mesjid sesudah selesai shalat ashar. Hari ini adalah hari terakhir Ramadhan 1423H. Aku sangat mengantuk dan ingin sekali tidur agak sebentar. Waktu ba’da ashar ini sebenarnya adalah waktu membagikan amplop zakat kepada para mustahiq yang sudah ramai sekali datang sejak sesudah shalat zhuhur tadi siang. Para pengurus yang khusus menangani pembagian zakat untuk tahun itu sudah siap untuk membagi-bagikan amplop itu.

Di depan rumah kudapatkan seorang laki-laki muda berdiri di luar pagar. Aku tidak mengenalinya. Umurnya sekitar dua puluh lima tahun. Penampilannya bersahaja namun cukup rapi dan bersih. Tangannya memegang sebuah tas kain berwarna biru. Aku menyapanya dan bertanya.

‘Sampeyan mencari siapa?’

‘Bapak yang punya rumah ini?’ dia balik bertanya.

‘Benar,’ jawabku sambil memperhatikan wajahnya lebih seksama.

Dia menyodorkan tangannya kepadaku untuk bersalaman dan aku menyambut dan menyalaminya.

‘Saya diberitahu orang alamat ini. Saya ada keperluan dengan bapak,’ ujarnya.

‘Oh ya? Ada keperluan apa? Mari kita masuk,’ ajakku sambil membuka pintu pagar.

Dia mengiringiku masuk ke pekarangan.

‘Bolehkah kita berbicara di depan sini saja pak?’ katanya pula.

‘Boleh. Silahkan duduk,’ jawabku mengajaknya duduk di kursi di teras rumah.

‘Begini pak. Nama saya Rahim. Saya seorang mualaf . Saya masuk Islam setahun yang lalu dan sekarang saya belajar di pesantren Darul Hikmah di Kediri. Dulu nama saya Sebastian. Saya seorang Cina. Karena sudah sangat rindu kepada ibu saya, saya memberanikan diri untuk pulang menengok orang tua saya. Saya ingin bersilaturrahmi dengan mereka. Tapi ternyata mereka, ayah dan adik-adik saya tetap membenci dan mengusir saya. Saya bahkan dipukuli adik-adik saya waktu saya berada di tempat orang tua saya itu. Ibu saya sebenarnya sedang dalam keadaan sakit. Saya rasa beliau tidak semarah ayah dan saudara-saudara saya yang lain,’ ceritanya sambil menunjukkan warna biru samar-samar di pelipisnya.

‘Sejak tiga hari ini saya terlunta-lunta di Jakarta ini. Untunglah, karena dalam bulan Ramadhan, saya dapat ikut berbuka dan sahur dari mesjid ke mesjid. Hanya saja, waktu saya minta tolong mendapatkan bantuan ongkos untuk pulang ke Kediri sampai sekarang belum dapat. Tadi malam di mesjid Al Furqan di Pondok Gede, ada yang memberi saya uang sepuluh ribu rupiah dan menunjukkan alamat bapak kepada saya. Makanya saya datang kesini,’ ujarnya mengakhiri uraiannya.

Aku tercenung mendengar ceritanya. Ada rasa antara percaya dan tidak dalam hatiku. Siapa pula agaknya yang memberikan alamatku di Pondok Gede sana?

‘Sampeyan yakin orang yang di Pondok Gede itu memberitahu alamat saya ini?’ tanyaku.

‘Orang itu memberikan nama kompleks perumahan ini. Dan menyebutkan nama bapak. Katanya, tanyakan saja nanti rumah Ketua Pengurus Mesjid di pos Satpam. Tadi saya bertanya ke petugas Satpam yang mengantarkan saya kesini,’ jawabnya.

‘Barusan saudara diantar Satpam?’ tanyaku lagi.

‘Benar pak. Petugas itu mengatakan bapak pasti sedang berada di mesjid. Saya yang minta diantarkan kesini. Saya baru berniat mau mengetuk pintu pagar untuk bertanya waktu bapak datang barusan,’ jawabnya.

‘Oh ya? Di pesantren apa sampeyan bilang sampeyan belajar tadi?’ tanyaku pula.

‘Pesantren Darul Hikmah pak. Di Kediri,’ katanya sambil mengeluarkan selembar surat dari dalam tasnya dan memperlihatkannya kepadaku.

Aku membaca kop surat itu sebelum melanjutkan pertanyaan.

‘Bagaimana caranya saudara mondok disana? Maksud saya apakah saudara punya pekerjaan untuk membiayai pemondokan atau saudara mondok secara cuma-cuma?’ tanyaku setengah menyelidik.

‘Saya punya keahlian menjahit pakaian. Pak Kiyai pengasuh pondok itu membekali saya dengan sebuah mesin jahit. Uang upah jahit itu semua saya serahkan kepada pak Kiyai. Waktu kemarin saya minta izin pulang beliau memberi saya bekal. Tapi uang itu sudah habis,’ ujarnya.

‘Berapa ongkos perjalanan ke Kediri?’ tanyaku pula.

‘Dengan kereta api empat puluh lima ribu, pak. Sebenarnya saya dibekali pak Kiyai seratus dua puluh lima ribu rupiah waktu berangkat. Uang itu sebagian saya belikan oleh-oleh untuk ibu saya. Dan untuk keperluan lain. Sampai saya tidak punya bekal lagi untuk kembali,’ ungkapnya.

‘Baik, saya akan memberi sampeyan ongkos untuk kembali. Tunggulah sebentar disini,’ ujarku.

Aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil uang. Aku serahkan uang seratus ribu kepadanya.

‘Tapi ini terlalu banyak, pak. Saya hanya memerlukan separuhnya,’ ujarnya.

‘Tidak apa-apa. Gunakanlah untuk keperluan lain,’ kataku dengan perasaan sedikit heran atas pernyataannya itu.

‘Benar pak, ini terlalu banyak. Kalau bapak punya uang lima puluh ribuan sudah cukup untuk ongkos saya. Saya masih punya sisa uang yang diberikan orang di Pondok Gede tadi malam,’ tambahnya bersungguh-sungguh.

‘Ambillah dan kalau nanti berlebih, gunakan untuk keperluan lain seperti yang sampeyan gunakan dengan sisa uang pemberian pak Kiyai,’ kataku pula.

Dia menatapku ragu-ragu. Uang itu itu masih tergeletak di atas meja. Dia belum menyentuhnya.

‘Bukankah bapak tidak tahu untuk apa saya gunakan kelebihan uang dari pak Kiyai itu?’ dia bertanya.

‘Tidak,’ jawabku. ‘Tapi gunakanlah dengan cara yang sama,’ kataku pula berusaha tersenyum.

‘Saya baru akan memerlukannya tahun depan, pak. Tidak sekarang,’ ujarnya pelan.

‘Kalau begitu gunakan tahun depan,’ aku menambahkan asal-asalan.

‘Tapi bapak tidak tahu untuk apa sebenarnya uang itu saya gunakan, bukan?’ dia kembali bertanya.

‘Tidak,’ jawabku pendek.

‘Saya……..’ dia ragu-ragu meneruskannya.

‘Kalau itu rahasia, tidak usah sampeyan beberkan,’ kataku.

‘Saya bayarkan untuk zakat fitrah atas nama saya dan kedua orang tua saya. Tiga puluh ribu rupiah,’ katanya.

Aku terbelalak mendengarnya. Beberapa detik aku terdiam. Antara percaya dan tidak dengan apa yang dikatakannya.

‘Kenapa sampeyan bayarkan zakat fitrah ayah dan ibu sampeyan? Bukankah mereka bukan orang Islam seperti yang sampeyan ceritakan. Atau mereka Muslim?’ tanyaku.

‘Mereka bukan Muslim pak. Tapi saya selalu berdoa kepada Allah agar mereka ditunjuki Allah untuk menerima kebenaran Islam,’jawabnya.

‘Lalu? Kenapa sampeyan bayarkan zakat fitrahnya?’ tanyaku masih dalam keherananku.

‘Bukankah bayi yang baru lahir pada dasarnya juga belum beragama Islam, tapi zakat fitrahnya dibayarkan, pak? Mungkin saya agak ngarang, tapi saya benar-benar telah membayarkan zakat fitrah kedua orang tua saya dan berdoa kepada Allah agar Allah menunjuki mereka ke jalan yang diridhai Allah,’ jelasnya.

Aku sekali lagi terdiam. Tidak ingin aku beradu argumentasi sedikitpun dengannya. Baru sekali ini cerita seperti ini aku dengar. Sejujurnya aku tidak tahu apakah yang dilakukannya itu benar atau salah. Tapi paling tidak anak muda ini sedang bereksperimen dengan keyakinannya.

Setelah hening cukup lama, akhirnya aku kembali membuka suara.

‘Baiklah. Saudara terima uang ini. Saudara simpan sampai tahun depan saat saudara membayarkan zakat fitrah kembali tahun dimuka. Maukah saudara berbuka puasa disini sore nanti?’ tanyaku.

‘Saya sangat berterima kasih pak. Tapi seandainya bapak izinkan, saya ingin cepat-cepat ke stasiun Jatinegara untuk mendapatkan karcis kereta. Mudah-mudahan saya dapat berangkat malam ini. Saya ingin agar berada di pondok besok, pada saat hari Idul Fitri, untuk bersilaturrahmi dengan pak Kiyai,’ katanya.

Aku kembali menatapnya. Anak muda itu memandangku dengan penuh harap.

‘Baiklah kalau demikian. Kalau sampeyan memilih untuk segera berangkat ya silahkan. Ambillah uang ini,’ kataku menyerahkan uang itu ketangannya.

‘Terima kasih, pak. Jazakallahi khairan,’ ujarnya.

Aku menatapnya tersenyum.

‘Baiklah pak. Saya mohon diri. Sekali lagi terima kasih banyak atas pertolongan bapak. Assalamu’alaikum,’ ujarnya sambil menyorongkan tangannya menyalamiku.

‘Wa’alaikumsalam,’ jawabku pendek.

Rasa kantukku jadi hilang setelah perbincangan dengan anak muda itu. Aku tidak jadi beristirahat. Setelah berpamitan dengan istriku, aku kembali ke mesjid. Mengamati pembagian amplop zakat fitrah yang sudah hampir usai.

Nanti malam takbir akan kembali bergema. Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar, Laa ilaaha illa ‘Llaahu wAllahu Akbar – Allaahu Akbar waliLlaahil hamd. Allaahu Akbar – Allaahu Akbar – Allaahu Akbar Allaahu Akbar Kabiiran, walhamdu liLlaahi katsiiran, wa subhanaLlaahi bukratan wa ashiila, Laa ilaaha illa ‘Llaahu wAllaahu Akbar – Allaahu Akbar waliLlaahil hamd.

Allah Maha Besar, segala puji hanya kepunyaan Allah.


Jatibening, Awal Syawal 1423H

No comments: