Friday, January 14, 2011

KENANGAN MASA PRRI (1)

1. Awal Cerita

Aku memanggilnya mak etek. Mak etek Jun. Namanya Junaidi. Usianya sudah lebih tujuh puluh tahun. Tapi sosok tubuhnya masih gagah. Giginya masih utuh. Kecuali rambut ikalnya yang sudah hampir putih semuanya, beliau terlihat lebih muda dari usianya. Mak etek Jun adalah seorang pensiunan guru. Terakhir, sebelum pensiun, beliau menjadi kepala sekolah dasar di kampung kami.

Kalau lagi pulang kampung, aku suka sekali berkunjung ke rumah mak etek Jun. Selalu saja menarik berbincang-bincang dengan orang tua ini. Cerita apa saja. Masalah keadaan kampung, masalah pendidikan anak-anak, masalah politik ala kadarnya, masalah korupsi. Karena beliau memang seorang pengamat yang baik untuk hal-hal semua itu. Namun yang paling aku sukai adalah cerita tentang pengalaman masa muda beliau ketika ikut bergerilya di jaman PRRI.

Pada kunjunganku terakhir aku melihat sebuah foto hitam putih berukuran besar tergantung di dinding. Foto seorang laki-laki bagurambeh. Berjanggut dan bercambang lebat. Itu adalah foto beliau di waktu muda, karena sangat jelas terlihat wajahnya meski dibalut cambang dan janggut seperti itu.

‘Kok baru kelihatan foto yang satu ini, mak etek?’ aku berkomentar.

‘He..he..he.. Itu foto kenang-kenangan waktu baru balik dari rimba dulu. Si Pinto yang menemukan, lalu diperbesarnya dengan komputer, jadilah seperti itu. Dia pula yang membingkai dan meletakkan di situ,’ jawab mak etek Jun.

Pinto adalah cucu kesayangan mak etek yang sudah duduk di kelas tiga SMP.

Aku mendekat ke dinding tempat foto itu tergantung untuk mengamatinya lebih jelas. Ada catatan tanggal dan tahun di bawah foto itu.

‘Tahun 1961? Belum pernah ambo melihat mak etek seperti dalam foto itu. Bagaimana pula ceritanya sampai bergurambeh lebat begitu?’ tanyaku.

‘Di hutan itu di mana pula ada pisau cukur. Paling ada gunting kecil untuk memangkas misai. Karena bertahun-tahun dibiarkan, jadilah seperti itu,’ jawab mak etek tersenyum.

‘Gagah dan berwibawa terlihatnya,’ aku menambahkan.

‘Mungkin maksudmu mengerikan ha..ha..ha… ‘ mak etek terbahak-bahak.

Aku tersenyum.

‘Semua teman mak etek di luar seperti itu?’

‘Tentu tidak…. Ada yang memang berbakat. Badannya penuh bulu. Tapi banyak juga yang kelimis.’

‘Sampai seperti yang di foto itu…. Sudah berapa lama itu tidak dicukur?’

‘Sejak lari ke luar hanya dua atau tiga bulan pertama saja masih sempat mengurusnya. Sesudah itu tidak pernah lagi.’

‘Ulang pulalah cerita mak etek tentang lari ke luar itu. Masih ada yang belum ambo dengar. Bagaimana awalnya mak etek sampai ikut?’ tanyaku.

Mak etek Jun menarik nafas. Matanya sedikit menerawang. Mungkin sedang menjemput ingatan lama.

‘He..he..he.. Begini….,’ beliau mengawali.

Aku mempererat duduk, bersiap mendengar cerita yang biasanya akan cukup panjang.

‘Aku sudah mengajar di sekolah rakyat ketika perang pecah. Dulu, tamat dari SGB kami sudah diangkat jadi guru. Aku mengajar di Lambah. Berjalan kaki menyeberangi jalan kereta api dan jalan raya di Biaro. Pernah pada suatu siang, pulang sekolah, aku dihentikan tentara APRI di jalan raya itu. Mereka baru berani beroperasi di jalan raya, belum berani masuk ke jalan-jalan kampung. Mereka banyak sekali. Ada empat buah truk tentara dan tiga buah jip Rusia berhenti di tepi jalan. Mereka memeriksa dan membentak-bentak. Setiap penumpang bendi yang datang dari arah Bukit Tinggi disuruh turun. Barang belanjaan ibu-ibu diperiksa. Entah apa yang mereka cari. Ada beberapa orang laki-laki yang disuruh naik ke atas truk. Untungnya, kami guru-guru selalu membawa surat keterangan dari kepala sekolah yang menyatakan bahwa kami adalah guru. Waktu surat itu aku perlihatkan, tentara yang tadinya membentak-bentak sambil menyorongkan bedilnya ke arah dadaku, tidak lagi marah-marah dan aku dibiarkan meneruskan perjalanan pulang ke rumah.

Beberapa waktu kemudian, saat kami sedang liburan sekolah. Kami sedang mengirik padi di sawah di Bandar Panjang. Kecuali aku, yang bekerja siang itu semua orang tua-tua yang sudah berumur lebih lima puluh tahun. Kira-kira jam sebelas kami dengar derung mobil tentara di kejauhan. Mamakku, mak Endah menyuruh aku pergi bersembunyi. Tapi ada pula mamak yang lain, mak Malin menyuruh tinggal. ‘Kalau kau lari, bertemu di jalan, alamat kau akan dibedilnya. Lebih baik kau di sini saja,’ kata mak Malin.

Akupun lebih memilih untuk tidak pergi. Beberapa saat kemudian kami dengar beberapa kali bunyi tembakan. Mamak-mamak itu sama bergumam, mempertanyakan entah siapa pula yang sudah kena tembak. Tiba-tiba saja, telah muncul tiga orang tentara APRI, menuju ke arah kami sambil menodongkan senjata. ‘Angkat tangan,’ perintahnya. Aku memberi contoh bagaimana mengangkat tangan, karena ada di antara mamak-mamak itu yang tidak faham.

‘Kau…..! Kesini kau!’ perintahnya padaku. Akupun mendekat.

‘Kau pemberontak!’ hardiknya. Ujung bedilnya menempel di pelipisku. Aku berusaha tenang. Lalu aku jawab, bahwa aku seorang guru.

‘Bohong kau! Mana surat-surat!’ hardiknya pula.

‘Kami sedang bergotong royong. Saya tidak membawa surat-surat,’ jawabku.

‘Bohong!’ bentaknya lagi.

Kali ini aku ditamparnya, persis di mukaku. Bukan main sakitnya. Tapi yang lebih sakit adalah hatiku. Tentara itu mungkin seumur denganku. Dan aku ditampar perai saja. Mana mungkin aku membalas. Pondok kami diusainya. Mungkin dia curiga kalau-kalau ada senjata tersembunyi di sana. Mamak-mamak yang lain ditanyainya pula satu persatu. Mak Endah, mamakku yang memang terlihat tegap juga ditamparnya. Entah apa masalahnya aku tidak tahu.

Aku dan dua orang dari mamak-mamak itu dibawa mereka pergi. Agak kecut juga hatiku kalau-kalau aku akan dibedilnya pula. Rupanya kami dibawa ke Lasi. Di sana kami disuruh menggali lobang di sekitar sebuah rumah. Rumah itu mereka rampas untuk jadi markas. Ada puluhan orang yang bekerja paksa di sana, semua orang-orang yang mereka tangkap hari itu dari beberapa kampung.

Sorenya mak ditemani mak tuoku datang ke Lasi membawa surat keteranganku. Komandan mereka lebih ramah kepada orang-orang tua itu. Aku dipanggil anak buahnya untuk menghadap. Tentara itu minta maaf atas perlakuan anak buahnya kepada kami. Dan sore itu kami semua diizinkan pulang.

Tapi maaf tinggallah maaf. Hatiku sudah bulat. Selama bekerja membuat lobang itu otakku berpikir keras tentang pergi bergabung dengan tentara luar. Aku akan segera melakukannya. Aku akan membalas kekurangajaran tentara-tentara keparat ini. Yang telah menamparku. Memaksaku bekerja. Mereka adalah manusia-manusia tidak tahu sopan santun. Main bentak dan main tampar bahkan terhadap orang-orang tua yang pada hal adalah rakyat sipil. Dan entah berapa orang pula orang kampung yang mereka tembaki hari itu. Mereka memang tentara-tentara bengis dan semena-mena.

Dalam perjalanan pulang mak tuo bercerita bahwa di kampung kami saja siang hari itu empat orang anak muda lagi mati tertembak. Anak-anak muda yang berusaha menghindar waktu bersirobok dengan mereka. Anak-anak muda yang diteriaki supaya mengangkat tangan tapi tidak segera mengangkatnya. Mereka ditembak dari belakang. Ada yang kepalanya pecah. Yang dadanya rengkah. Yang perutnya terburai. Darahku tambah mendidih saja mendengar cerita itu. Meskipun sampai sejauh ini aku selamat berkat surat keterangan guru, bukan tidak mungkin, jika aku tetap bertahan di kampung besok atau lusa mereka akan menembakku pula.

Sesudah makan malam hari itu, secara tidak langsung aku beritahu mak bahwa aku akan ikut tentara luar. Beliau tidak setuju. Tapi aku jelaskan betapa besarnya resiko bagiku untuk tetap tinggal di kampung. ‘Apakah mak mau ambo mati serupa si Pudin pula?’ kataku. Si Pudin adalah kemenakan ayah yang ditembak tentara beberapa hari sebelumnya. Mak menangis malam itu. Beliau sangat faham tentang resiko dan kemungkinan itu.

Malam itu juga aku pergi menemui tuan Asmar. Beliau ini wali jorong. Tuan Asmar adalah penghubung dengan komandan tentara luar. Beberapa anak muda dari kampung kami yang sudah lebih dahulu pergi, memulai kontaknya melalui tuan Asmar. Kepada tuan Asmar aku sampaikan niatku itu. ‘Sebenarnya kalau kau siap, malam ini juga kau bisa ikut dengan mereka. Kau tunggulah disini. Biasanya mereka datang lewat tengah malam. Tapi kalau kau belum siap, biarlah aku sampaikan saja dulu niatmu itu kepada Tan Basa. Nah! Bagaimana pendapat kau?’ tanya tuan Asmar. Waktu itu sebenarnya aku siap saja. Tapi terpikir pula bahwa aku belum minta izin dengan bersungguh-sungguh kepada mak. Aku yakin beliau akan mengizinkan sesudah aku menjelaskan niatku tadi. Kusampaikan seperti itu dan tuan Asmar memahaminya.

Dua hari kemudian aku sudah benar-benar siap. Mak mengizinkan meski dengan tangis dan air mata. Jam sembilan malam aku berangkat dari rumah menuju rumah tuan Asmar. Dan malam itu aku ikut rombongan mak Tan Basa. Nama beliau Harun. Tentara berpangkat letnan. Sejak saat itu resmilah aku menjadi anak buah beliau.’

Aku mendengar cerita panjang mak etek Jun dengan mata tak berkedip.

‘Langsung diangkat jadi tentara? Maksud ambo, mak etek langsung diberi senjata?’

‘Tidaklah. Aku dilatih dulu. Bukan latihan baris berbaris, tapi latihan mempergunakan senjata. Sejak dari cara membersihkan sampai cara mempergunakannya.’

‘Berapa lama latihannya itu?’

‘Hanya beberapa pekan saja.’

Terdengar azan asar. Kami mengakhiri obrolan sampai di situ.


*****

Sunday, January 2, 2011

MUSIBAH AWAL TAHUN

MUSIBAH DI AWAL TAHUN

Pagi yang cerah. Matahari segera akan terbit. Langit biru pucat tak berawan di awal tahun baru ini. Mungkin warna pucat di langit disebabkan sisa-sisa asap kembang api dan mercun yang dibakar dan menimbulkan suara gegap gempita tadi malam. Ya, tadi malam adalah malam tahun baru. Malam yang diwarnai dengan sebuah budaya yang semakin menggila-gila dengan pesta kembang api. Sangat banyak orang yang merasa perlu melalui pukul dua belas tengah malam pada pergantian tahun dengan ritual-ritual yang dibuat-buat. Di antaranya pesta kembang api. Berdentam-dentam dan berdesir-desir bunyi kembang api yang dibakar tak henti-henti. Entah berapa biayanya. Entah berapa harga kembang api yang dibakar. Entah apa nikmatnya. Entah apa maknanya.

Ada pula orang yang sengaja melewatkan malam pergantian tahun di acara-acara khusus. Di hotel-hotel. Di kelab-kelab malam. Judulnya malam ‘Old and New’. Acaranya tentu khusus pula. Dan yang bisa menghadirinya hanyalah orang-orang khusus saja. Orang-orang yang punya uang berlebih, untuk difoya-foyakan.

Malam tahun baru itu sudah berlalu. Bagi yang tidak faham, atau bagi yang tidak ikut-ikutan, terlihat tidak ada bedanya malam tadi malam. Tidak ada bedanya pagi hari ini dengan hari-hari sebelumnya. Entahlah.

***

Teguh berjalan tergopoh-gopoh menuju rumah pak RT. Sudah jam enam saat itu dan sinar matahari sudah mulai tampak.

‘Assalaamu’alaikum…… Pak RT…pak RT…..,’ Teguh berteriak memanggil

Teguh mengulang ucapan salam beberapa kali dari luar pagar. Belum kunjung ada jawaban dari dalam rumah. Pak Fakhri, pak RT itu sedang menyapu pekarangan di belakang rumah. Setelah beberapa saat, ibu Lela yang mendengar teriakan salam itu, membuka pintu depan rumahnya dan melihat keluar.

‘Wa’alaikumussalam….. Ada apa Guh?’ tanya bu Lela.

‘Ada perlu dengan pak RT, bu. Beliau ada di rumah?’

Wajah Teguh terlihat tegang.

‘Ada…... Masuklah, Guh. Biar ibu panggilkan bapak ke belakang.’

Pak Fakhri muncul di ruang tamu.

‘Assalaamu’alaikum pak RT…… Maaf saya langsung saja…. Ada musibah pak….. Pak Martin meninggal…….,’ nafas Teguh tersengal-sengal.

‘Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun……. Pak Martin…..? Pak Martin tetanggamu….? Kapan Guh? Kenapa?’

Pak Fakhri tentu saja sangat kaget. Sore kemarin dia masih berbicara dengan pak Martin tentang rencana pertandingan voli antar RT. Waktu itu pak Martin terlihat sehat wal’afiat.

‘‘Iya, pak. Pak Martin….. Saya nggak tahu kenapa, pak RT. Tadi sebelum waktu subuh katanya, pak Martin dibawa ke rumah sakit, dan jam lima tadi beliau meninggal di Rumah Sakit Mitra. Jenazahnya sebentar lagi akan dibawa pulang,’ jawab Teguh masih tersengal-sengal.

Teguh adalah tetangga sebelah rumah pak Martin. Pak Martin yang baru berumur sekitar 35 tahun itu adalah pelatih voli Karang Taruna, sementara Teguh adalah pemain voli terbaik di komplek itu. Teguh sangat akrab dengan pak Martin seperti umumnya anak-anak muda Karang Taruna yang lain.

‘Baik, Guh. Kamu duluan saja ke sana. Saya segera menyusul,’ kata pak Fakhri.

Lima menit kemudian pak Fakhri sampai di rumah duka. Sudah banyak tetangga dan warga komplek di situ. Jenazah pak Martin masih belum tiba. Para pelayat saling bertanya-tanya, sakit apa pak Martin sebelum meninggal. Pak Kirno, ayah Teguh, bercerita bahwa dia dikagetkan oleh tangis dan teriakan histeris bibik Suma tadi subuh. Bibik Suma adalah pembantu di rumah keluarga Martin. Bibik Suma histeris setelah menerima berita melalui telepon dari ibu Sri, istri pak Martin. Dia langsung menggedor pintu rumah pak Kirno sambil berteriak-teriak dan meratap. Bibik Suma mengatakan bahwa dia baru saja ditelpon ibu Martin, disuruh agar memberitahu tetangga.

Menurut bibik Suma, bapak Martin baik-baik saja waktu berangkat dari rumah sekitar jam delapan tadi malam. Bapak dan ibu Martin pergi melewatkan malam tahun baru. Keduanya berpakaian seperti mau ke pesta. Dan keduanya belum pulang sejak tadi malam. Lalu tiba-tiba ibu Martin memberi kabar seperti itu.

Pak Kirno segera pula memberitahu tetangga-tetangga yang lain. Mereka berdatangan ke rumah duka.

Tidak berapa lama kemudian jenazah pak Martin datang dengan menggunakan mobil jenazah. Ibu Sri duduk di bagian depan mobil bersama dengan ibu mertuanya. Mata kedua wanita itu sembab karena tangis. Ibu Sri masih memakai gaun pesta, meski sekarang memakai selendang di kepalanya. Jenazah pak Martin diturunkan dari mobil dan dibaringkan di ruang tengah rumah itu. Ibu-ibu warga komplek yang datang melayat di pagi itu ikut menangis, larut dalam kepiluan bersama ibu Sri.

Jam sepuluh pagi jenazah pak Martin dimandikan. Rencananya akan dimakamkan sesudah shalat zuhur. Orang yang datang melayat semakin banyak. Pak Martin memang sosok pria yang pandai bergaul. Dia disenangi warga komplek dan rekan-rekan sejawatnya di kantor.

Melalui bisik-bisik, beredar cerita bagaimana pak Martin menghadapi maut. Di anrtara para pelayat. ada yang sama-sama hadir di tempat bapak dan ibu Martin melewatkan malam tahun baru.

Tadi malam mereka berpesta di sebuah hotel terkenal. Pengunjung di acara itu banyak sekali. Semua tempat duduk yang disediakan hotel di ruangan besar itu terisi. Menjelang tengah malam acara itu diisi dengan nyanyian dan pertunjukan sulap. Para pengunjung menonton sambil menikmati hidangan makan malam. Tepat tengah malam lampu di ruangan itu dimatikan. Semua pengunjung meniup terompet kertas yang sudah disiapkan. Waktu lampu dinyalakan kembali para pengunjung melakukan ‘adu gelas’ sambil mengucapkan selamat tahun baru. Gelas itu berisi sampanye.

Setelah itu mereka berdansa. Mula-mula mengikuti musik dengan irama pelan. Makin lama suara musik itu makin keras dan menggila. Peserta pesta itu semakin asyik menggoyang-goyangkan tubuh mereka di lantai dansa. Musik demi musik sambung menyambung. Suaranya sangat memekakkan telinga. Seperti itulah suasana pesta tahun baru itu.

Di tengah suara hingar bingar itu tiba-tiba ibu Sri menjerit histeris. Pak Martin yang sedang ikut berjingkrak-jingkrak tiba-tiba terjatuh. Terjatuh seperti tapai jatuh. Terjelepok. Dan akhirnya tergeletak di lantai. Nafasnya tersengal-sengal. Dia merintih kesakitan sambil tangannya memegang dadanya. Perlu beberapa menit sebelum musik bisa dihentikan, karena si pengatur musik tidak segera mengetahui bahwa ada yang jatuh pingsan. Suasana di ruang pesta berubah menjadi mencekam. Musik yang barusan berdentam-dentam sementara terhenti. Orang berkerumun di sekitar pak Martin tergeletak.

Pak Martin segera dilarikan ke rumah sakit. Dibawa ke ruangan gawat darurat. Dokter jaga di rumah sakit itu berusaha memberikan pertolongan tapi hasilnya sia-sia. Pak Martin tetap tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya jam lima pagi malaikat maut melaksanakan tugasnya, mencabut nyawa pak Martin. Dokter menyimpulkan bahwa dia mendapat serangan jantung.

***

Siang itu jenazah pak Martin dimakamkan. Malamnya ada acara tahlilan di rumah duka. Orang membaca surah Yasin beramai-ramai. Ada yang hafal luar kepala, ada yang membaca dari kitab al Quran ada yang membaca buku Yasinan bahkan ada yang membaca melalui tulisan latin dari buku Yasinan itu. Semua membaca dengan suara keras, berpacu-pacu. Berdengung suaranya.

Pak Kiyai yang memimpin tahlil berulang-ulang mengirimkan bacaan alfatihah, bacaan surah-surah pendek, semuanya untuk bekal almarhum pak Martin di alam kubur. Tidak lupa pula beliau mengutip ayat-ayat terakhir dari surah Al Fajr dan terjemahannya. ‘Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb mu dengan senang dan diridhai Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba Ku. Dan masuklah ke dalam surga Ku.’

Indah betul yang beliau harapkan. Mungkin beliau tidak tahu bagaimana kejadian sebelum kematian almarhum.

‘Apakah kematian seperti ini husnul khatimah, pak? tanya pak Karim berbisik kepada pak Somad di sampingnya.

‘Hus! Tidak usah hal itu ditanyakan,’ jawab pak Somad berbisik pula.

‘Saya bertanya sungguh-sungguh….,’ kata pak Karim pula.

‘Saya tidak tahu. Kenapa hal itu yang pak Karim tanyakan?’

‘Karena pak Kiyai menyitir ayat ‘wahai jiwa yang tenang’……. Apakah menurut bapak jiwa pak Martin tenang saat ini?’

‘Wallahu a’lam…… Saya tidak tahu. Pak Kiyai juga tidak tahu. Tidak ada di antara kita yang tahu,’ jawab pak Somad.

Pak Karim tidak meneruskan lagi pertanyannya.

Jam setengah sembilan acara tahlilan itu selesai. Yang hadir pulang membawa besek. Membawa berkah, yang disediakan tuan rumah, sesudah mereka bersama-sama mengirim amal bacaan untuk almarhum pak Martin. Hari pertama di tahun baru telah dimulai.

*****