Sunday, October 26, 2008

SANG AMANAH (34)

(34)

‘Apakah anda berdua ingin agar kita berbicara di sini atau di ruangan kantor saya?’ tanya pak Umar.

Kedua orang itu hanya berpandang-pandangan, tidak bersuara. Keduanya gelisah dan ketakutan. Pak Umar mengulangi kata-katanya.

‘Baiklah, saya rasa sebaiknya kita berbincang-bincang di ruangan saya. Kalau di sini saya khawatir ada lagi yang masuk ke sini, dan akibatnya akan menjadikan semakin tidak nyaman bagi anda berdua. Mari ikut ke ruangan saya!’ pak Umar setengah memerintah.

Pak Umar lebih dulu keluar. Dia membukakan pintu lebar-lebar agar pintu itu tidak menutup kembali. Ketiga orang itu menuju ke kantor pak Umar, kantor kepala sekolah. Di ruangan guru sedang tidak ada orang. Pak Umar memepersilahkan kedua orang itu masuk dan duduk sementara pak Umar menutup pintu kantornya.

‘Maaf, saudara.. pak Darmaji, guru bahasa Jepang bukan? Dan anda.... ibu Rita guru …?’

‘Guru kimia, pak,’ jawab ibu Rita.

‘Saya minta maaf karena mengganggu anda berdua. Sebelum anda berprasangka macam-macam, saya akan memberikan jaminan bahwa saya bukan orang yang suka mempermalukan orang lain. Anda berdua adalah rekan sejawat saya di sekolah ini. Akan tetapi saya juga ingin memberitahukan atau mengingatkan bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab penuh di sini untuk pendidikan moral dan akhlak murid-murid dan termasuk juga guru-guru. Bahwa anda sepasang kekasih itu bukan urusan saya, tapi kalau anda sebagai guru, menggunakan sarana sekolah untuk memadu kasih seperti yang….maaf… terlihat oleh saya tadi tentu saja saya berkeberatan. Di sekolah ini jelas bukan tempatnya. Saya rasa sangat tidak pantas hal seperti itu dilakukan di lingkungan sekolah apalagi oleh seorang guru. Sementara hanya itu saja yang ingin saya katakan. Apakah anda berdua keberatan dengan apa-apa yang saya ungkapkan?’

‘Tidak pak….. dan saya mohon maaf… Saya berjanji tidak akan mengulanginya..’ ibu Rita yang lebih dahulu menjawab.

‘Saya juga minta maaf, pak,’ pak Darmaji menambahkan.

‘Baklah kalau begitu, kita saling memaafkan dan melupakan apa yang tadi….’, pak Umar tidak meneruskan kata-katanya.

‘Sekali lagi maaf, pak. Apa yang harus saya lakukan sekarang?’ tanya pak Darmaji agak gugup.

‘Saya tidak tahu. Sebentar lagi pak Darmaji mungkin harus mengajar. Silahkan mempesiapkan bahan pelajaran.’

‘Tapi hari ini saya tidak mengajar, pak….. eh..eh..maksud saya..’

‘Ya kalau begitu barangkali pak Darmaji seharusya hari ini libur… mungkin tidak ada keperluannya di sekolah….maksud saya yang berhubungan dengan tugas mengajar,’ kata pak Umar menambahkan.

‘Apakah maksud bapak saya boleh pergi…sekarang..?’ tanya pak Darmaji, masih gugup.

‘Ya…silahkan. Dan Ibu Rita juga. Apakah ibu Rita juga tidak mengajar hari ini?’ tanya pak Umar kepada ibu Rita.

‘Saya mengajar pak. Nanti sesudah istirahat pertama,’ jawab ibu Rita.

‘Ya..kalau begitu silahkan mempersiapkan bahan pelajarannya.’

Kedua orang guru ini berdiri, memberi hormat kepada pak Umar dan melangkah keluar. Pak Darmaji terheran-heran. Hanya begitu saja reaksi kepala sekolah itu? Apakah dia sedemikian pemaafnya? Apakah dia sedemikian tidak perdulinya? Atau dia menganggap apa yang tadi mereka lakukan sesuatu yang biasa-biasa saja? Atau jangan-jangan dia akan mencatat prilakunya tadi itu didalam catatan khusus untuk pertimbangan kenaikan pangkatnya nanti. Ah, sudahlah. Bagaimanapun dia memang sudah tertangkap basah tadi, mau apa lagi. Tapi anehnya, apa urusan kepala sekolah itu tadi ke ruang perpustakaan pagi-pagi begitu? Atau jangan-jangan dia memang sudah mengintip. Jangan-jangan dia sudah tahu bahwa mereka, dia dan Rita, sering memanfaatkan ruangan itu untuk bermesraan. Darmaji jadi berdebar-debar terus. Dia harus berbicara dengan kepala sekolah itu. Ya...ya…dia harus berbicara. Dia harus memberi penjelasan tentang apa yang sedang dihadapinya. Tapi? Bukankah itu urusan pribadinya? Bukankah kepala sekolah itu sudah mengatakan tidak mau ikut campur urusan pribadi mereka? Bahwa yang jadi kepentingannya hanya menyangkut tata tertib dan kesopanan di sekolah, sementara yang lain tidak? Jadi bagaimana dia akan membicarakan masalahnya dengan pak Umar itu?

Darmaji bahkan tidak sempat untuk berpamitan dengan Rita, kekasihnya. Pikirannya galau sekali. Dia memang tidak ada tugas mengajar hari ini. Biasanya, meskipun tidak bertugas mengajar tidak ada halangan bagi setiap guru untuk hadir di sekolah. Sebaliknya, seandainya mereka tidak datang juga tidak dipermasalahkan. Kasus Darmaji tentu berbeda. Dia datang bukan untuk kepentingan sekolah tapi untuk memadu kasih. Singkatnya untuk berpacaran. Hal yang sudah lumayan lama mereka lakukan. Selama itu, mungkin ada di antara guru-guru yang curiga tapi tidak pernah ada yang mengusili mereka. Tidak pernah ada yang perduli. Ruangan perpustakaan itu adalah saksi bisu tentang kisah kasih mesra mereka berdua yang dijalankan begitu cermat selama ini. Belum pernah mereka ketahuan oleh siapapun. Belum pernah ada yang curiga apalagi sampai menangkap basah seperti yang dilakukan pak Umar pagi ini. Pagi ini benar-benar sial. Benar-benar memalukan. Dia juga sadar bahwa dia itu adalah guru yang seharusnya menjadi contoh kepada murid-murid. Dia juga mengerti bahwa sekolah itu bukan tempat berpacaran. Tapi, itulah. Itu yang sudah terjadi.

Darmaji melangkah ke tempat parkir sepeda motor dan mengambil sepeda motornya lalu pergi. Dia tidak tahu mau kemana, tapi yang jelas dia harus pergi dari sekolah ini. Dia tidak ingin terlihat lagi hari ini oleh pak Umar. Dia merasa sangat malu.


*****

Meskipun juga merasa malu, Rita berusaha lebih tenang. Keluar dari ruangan pak Umar dia menuju ke meja kerjanya. Rita melihat Darmaji keluar dari ruangan guru sambil menunduk. Mungkin dia sangat ketakutan. Mungkin dia sangat gugup atau mungkin juga sangat malu. Dia bahkan tidak mengatakan apa-apa kepada dirinya sebelum berlalu keluar. Rita berusaha menahan debaran jantungnya yang sebenarnya juga sangat tidak beraturan. Dikeluarkannya buku Ilmu Kimia pegangan guru dan dibalik-baliknya halaman demi halaman buku itu sementara pikirannya melayang entah kemana. Dia juga tidak bisa mengartikan sikap pak kepala sekolah tadi itu. Yang malahan minta maaf karena merasa sudah mengganggu mereka, yang nyata-nyata, diapun sadar, melakukan kekeliruan. Sedikitpun dia tidak marah. Tidak ada pertanyaan yang menghakimi. Tidak ada pertanyaan menyelidik. Tidak ada ancaman. Bahkan, entah kenapa dia mengatakan bahwa dia tidak suka mempermalukan orang lain. Entah apa maksudnya. Atau apakah kepala sekolah ini sedemikian realistis dan menganggap wajar saja dua orang guru yang tentunya sudah dewasa berpacaran? Yang dipemasalahkannya hanya tempatnya. Ini sekolah dan seyogianya hal itu tidak dilakukan di sini. Itu saja. Rita terkejut dari lamunannya ketika pak Kus memasuki ruang guru dan menyapanya.

‘Selamat pagi, Rita. Rajin benar… menyiapkan bahan yang mau diajarkan!’ pak Kus berbasa-basi sambil tersenyum. Sebelumnya dia sempat melirik buku di hadapan Rita.

‘Selamat pagi, pak Kus. Nggak juga…. kebetulan memang ada pertanyaan waktu itu dari anak-anak yang saya belum bisa jawab…. Sudah selesai mengajarnya, pak Kus?’ Rita balas bertanya.

‘Belum….. Saya juga sama nih. Barusan ada pertanyaan dari anak-anak tapi saya tidak tahu jawabannya. Makanya.. saya lagi nyari buku pegangan juga nih.’

Setelah menemukan buku yang dicarinya pak Kus segera mau kembali ke kelas. Sebelum keluar dia setengah bertanya.

‘Perasaan saya barusan melihat pak Darmaji ke belakang. Apa tadi nggak ketemu Rita?’

‘Ya, barusan dia ke sini. Tapi buru-buru pergi. Mungkin ada keperluan lain,’ jawab Rita.

*****

Pak Umar tidak terlalu kaget meski juga tidak habis pikir, kok dua orang guru mau berpacaran di sekolah. Tapi…. ya mungkin saja karena pengaruh darah muda, selalu saja ingin menggunakan setiap kesempatan yang ada. Siapa pula yang perduli dengan ruangan perpustakaan yang tidak ada buku-bukunya dan sepertinya tidak ada yang mengurusnya itu? Sementara ruangan itu tertutup. Kebetulan saja yang dipergokinya tadi pak Darmaji dan ibu Rita. Kebetulan saja mereka sekedar berpeluk-pelukan. Bagaimana kalau lebih dari itu? Astaghfirullah….

Bukan hanya peristiwa pak Darmaji dan ibu Rita yang tengah berputar di dalam benak pak Umar, tapi semua yang dilihatnya pagi ini. Semua bukti-bukti bahwa tata tertib sekolah ini sangat rapuh. Kelihatannya banyak sekali murid-murid sekolah ini yang pecandu rokok. Kelihatannya rokokpun diperjualbelikan secara resmi di kantin sekolah. Apakah tidak ada guru-guru yang tahu? Apakah tidak ada guru-guru yang perduli? Dan gudang yang kunci gemboknya dibuka paksa sampai rusak itu. Siapa pula agaknya yang menggunakannya untuk ….? Astaghfirullah…..

Semua temuannya pagi ini dicatat di buku catatan pribadinya. Bukan untuk apa-apa, tapi sekedar catatan yang mungkin diperlukannya pada waktu rapat kalau nanti semua masalah ini dikemukakannya kepada guru-guru. Pak Umar menunggu waktu. Sebentar lagi, pada saat jam istirahat dia ingin menyaksikan sendiri semua temuannya tadi terutamanya perihal rokok. Lima menit lagi bel akan dibunyikan.


*****

No comments: