Thursday, December 4, 2008

SANG AMANAH (82)

(82)


Pak Umar sudah mendapat berita yang lebih lengkap baik dari OSIS maupun dari ibu Hartini, ibu Lastri dan ibu Sofni. Berita itu saling cocok. Hampir tidak ada tambahan berarti dari apa-apa yang sudah mereka dapatkan sebelumnya, kecuali untuk hal-hal berikut;

Informasi dari ibu Sofni mengatakan bahwa Parlin memang sudah pindah ke Medan. Anak itu sudah bersekolah kembali di sebuah SMU swasta di sana. Sebelum itu, anak itu sudah dimasukkan orang tuanya ke pusat rehabilitasi korban narkoba dan sudah sembuh. Menurut berita sekarang sudah aman-aman di Medan sana.

Yang kedua Danta sudah mau berangkat ke Australia bulan April mendatang. Dia akan di sekolahkan ayahnya di Perth, Australia Barat. Segala sesuatunya sudah disiapkan untuk keberangkatannya, dan dia sudah mendapat konfirmasi diterima di sebuah sekolah menengah atas di kota itu.

Dari ibu Lastri didapatkan informasi mengenai Wanto, yang sebelumnya dikatakan dalam keadaan sakit berat. Berita ini paling mengenaskan. Wanto sudah meninggal seminggu yang lalu, setelah berbulan-bulan terkapar sakit.

Ibu Hartini telah mendatangi orang tua Wahyu dan menanyakan keadaan anak mereka. Ibu Hartini sudah memberi bayangan kepada mereka, seandainya anak mereka Wahyu mau masuk kembali bersekolah, kemungkinannya akan diterima dengan persyaratan-persyaratan yang tegas. Orang tuanya sangat berminat, tapi Wahyu sendiri tidak bersedia. Dia merasa malu untuk kembali bersekolah di SMU 369. Dia ingin bersekolah di Pesantren. Kemungkinan dia akan bersekolah di Pesantren di Surakarta, sesuai dengan permintaannya kepada orang tuanya. Orang tuanya kemungkinan besar akan mengabulkan permintaan Wahyu.

Ibu Hartini sudah mendatangi alamat orang tua Edwin, tapi yang ada di rumah hanya adik-adik Edwin. Ibunya biasanya baru pulang sekitar waktu maghrib. Ibu Hartini akan mencoba mendatanginya lagi, tapi kalau pergi malam hari dia belum bisa, karena biasanya suaminya pulang terlambat setiap hari. Ibu Hartini berjanji akan pergi mengunjungi orang tua Edwin hari Sabtu karena pada hari itu dia libur.

Dari OSIS ada tambahan berita, bahwa Edwin yang bekerja di pompa bensin itu sekarang adalah anak baik-baik, bukan pengguna narkoba. Dia saat ini bekerja untuk membantu ibunya mendapatkan uang. Kelihatannya dia tidak mungkin untuk kembali bersekolah karena bekerja mencari nafkah itu menjadi kewajiban baginya.

Pak Umar sedang mengamat-amati semua laporan singkat tadi itu. Baik yang dari guru-guru, maupun yang dari OSIS. Jadi tidak ada yang tertarik di antara kelima anak-anak itu. Tepatnya tidak ada yang mungkin untuk kembali bersekolah di sini. Kasus yang paling akhir ini agak menarik perhatian pak Umar. Anak yang namanya Edwin itu. Dia ini, ‘kelihatannya tidak mungkin kembali ke sekolah karena sekarang bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarganya’. Pernyataan ini kok kelihatannya menyedihkan sekali. Ada apa dengan keluarga ini? Pak Umar mencari lagi tambahan informasi dari ‘intelijen’ OSIS. Hampir tidak ada tambahan. Berita bahwa ayah anak itu meninggal beberapa bulan yang lalu, sudah didengarnya dari pak Mursyid waktu rapat dengan guru-guru kemarin. Tapi benarkah dia harus membantu mengambil alih tugas ayahnya mencari nafkah? Mengharukan sekali kalau begitu.

Pak Umar memutuskan akan pergi sendiri menyelidiki keberadaan keluarga anak ini. Dia akan mengunjunginya langsung. Harus sesudah maghrib? Malam ini dia tidak bisa pergi. Setiap malam Jum’at ada pengajian di mesjid Al Muhajirin dan nanti malam giliran pak Umar mengisi pengajian. Kalau begitu dia akan ke sana besok. Besok habis shalat maghrib dia akan mengajak istrinya mencari alamat anak yang namanya Edwin itu. Tidak baik kalau dia pergi sendirian ke sana karena ibu Edwin itu sudah janda.


*****


Habis shalat maghrib, pak Umar dan istrinya, berboncengan naik Vespa menyusuri jalan raya Kali Malang sampai ke ujung jalan itu, ke dekat persimpangan dengan jalan DI Panjaitan atau yang lebih dikenal dengan jalan ‘By Pass’. Mendekati jalan DI Panjaitan ada jalan bercabang ke kiri. Mereka menempuh jalan ini, lalu berbelok ke kiri, menyusuri Kali Malang dari seberang kali. Beberapa ratus meter, ada sebuah gang yang bernama gang Haji Sanip. Pak Umar membelokkan Vespanya memasuki gang itu. Akhirnya dia menemui kumpulan rumah petak bernomor 24. Dia memarkir Vespa di depan rumah petak nomor tiga. Pak Umar mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Dari dalam muncul seorang remaja kecil.

‘Assalamu’alaikum.’

‘Wa’alaikum salam, bapak mencari siapa?’ tanya remaja kecil itu. Anak gadis itu memandang heran kepada tamu yang tidak dikenalnya ini.

‘Apakah ini rumahnya ibu Winarni?’ tanya pak Umar.

‘Betul. Tapi bapak dan ibu ini siapa?’ jawab anak itu dan sekalian bertanya. Tampangnya sangat keheranan.

‘Saya bernama Umar. Ini istri saya. Saya guru di SMU 369. Boleh saya bertemu dengan ibu Winarni?’ tanya pak Umar.

Anak remaja itu terlihat kebingungan. Beberapa saat dia tidak bersuara. Pak Umar tersenyum memperhatikannya.

‘Maaf, pak. Ibu ada. Ibu baru saja pulang dan sedang mandi. Ada keperluan apa bapak datang?’ tanya anak itu. Sopan dan bijak sekali.

‘Bapak ingin bertemu dengan ibu Winarni. Ada yang ingin ditanyakan. Tolong beritahukan ke ibu!’ ujar pak Umar.

‘Baik pak. Maaf, silahkan masuk bapak, ibu. Silahkan duduk, saya akan memberi tahu ibu,’ kata anak gadis itu lagi.

Anak gadis itu, yang di rumah dipanggil Wina, memberi tahu ibunya, atas kedatangan tamu, guru SMU 369. Ibu Winarni kaget mendengarnya. Apa tidak salah? Ada urusan apa guru SMU 369 datang ke sini. Bukankah anaknya sudah lama tidak lagi bersekolah di SMU 369? Dia memang sedang berdandan ala kadarnya, karena menunggu kedatangan temannya yang berjanji akan datang sore ini. Ah, kenapa mesti khawatir. Tentu ada kepentingannya dia datang. Ibu merapihkan pakaian dan keluar dari kamar satu-satunya di rumah petak itu.

Di ruang tamu didapatinya, bapak dan ibu Umar masih saja berdiri. Begitu melihat kedatangannya, pak Umar kembali mengucapkan salam. Ibu Winarni membalas salam itu dan mempersilahkan tamunya duduk. Ruang tamu itu sempit, berukuran kira-kira dua kali tiga meter . Ada satu set kursi tamu plastik di ruangan itu.

‘Maaf, ada perlu apa ya bapak dan ibu ini?’ tanya ibu Winarni hati-hati.

‘Kedatangan kami ini adalah untuk menanyakan beberapa hal. Saya harap apa yang ingin saya tanyakan ini tidak akan menyusahkan ibu. Baiklah. Sebelumnya saya perkenalkan diri saya. Nama saya Umar. Saya guru di SMU 369. Saya mendapat berita bahwa putra ibu dulu sekolah di SMU 369,’ ujar pak Umar hati-hati.

‘Benar, pak. Tapi sekarang dia sudah tidak sekolah lagi,’ jawab ibu Winarni.

‘Saya mendengar dan mengetahui hal itu. Pertanyaan saya berikutnya apakah benar anak ibu sekarang tidak bersekolah di tempat lainpun?’

‘Benar. Dia tidak bersekolah lagi, sejak dia dikeluarkan dari SMU 369. Anak saya itu dulu nakal. Jadi dikeluarkan,’ jawab ibu Winarni.

‘Apakah kira-kira anak ibu masih berminat untuk sekolah? Dan apakah kira-kira ibu masih ingin menyekolahkan anak ibu?’ tanya pak Umar lagi.

Ibu Winarni membelalak mendengar pertanyaan itu. Dia tidak mengerti sedikitpun maksud pertanyaan ini. Masak iya sih? Anaknya ditawarkan kembali ke sekolah? Mimpi apa dia? Dan orang ini datang menanyakan itu? Apa mungkin dia mau menawarkan agar anaknya bisa kembali sekolah asal dia mau membayar. Hah? Membayar? Edwin sekolah lagi? Dengan apa akan dibayarnya uang sekolah anak itu? Ini pasti omong kosong.

Setelah hening beberapa saat, ibu Winarni memberanikan diri membuka suara.

‘Maaf, pak. Saya tidak mengerti maksud bapak,’ ujarnya.

‘Maksud saya, seandainya anak ibu masih berminat untuk bersekolah, maka kami akan menerimanya kembali. Hanya itu maksud saya.’

‘Tapi dia sudah tidak bersekolah hampir satu tahun. Bagaimana mungkin dia kembali lagi bersekolah?’

‘Tentu saja kalau dia mau kembali, dia masuk ke kelasnya yang lama. Artinya dia masih kelas dua,’ jawab pak Umar.

‘Maaf pak. Aduh… Tawaran ini indah sekali. Tapi rasa-rasanya…….Rasa-rasanya kami sudah tidak sanggup….’ ujar ibu Winarni terbata-bata.

‘Seandainya, yang jadi keberatan ibu mengenai uang sekolah, mudah-mudahan bisa saya carikan jalan keluarnya. Anak ibu saya usahakan tidak usah membayar uang SPP,’ kata pak Umar pula.

‘Bagaimana mungkin bapak membebaskan uang SPP……?’ tanya ibu Winarni dengan suara tertahan.

‘Maaf, bu…. Begini…… Saya tidak bermaksud menonjolkan diri. Kebetulan saya dipercaya memimpin SMU 369 itu sekarang. Dan saya yakin, saya berwewenang untuk membebaskan murid yang memang pantas untuk dibebaskan dari membayar uang SPP,’ kata pak Umar.

Ibu Winarni menggigit bibirnya. Apa yang harus diucapkannya? Apa maksud orang ini sebenarnya? Dan siapa dia ini sebenarnya? Dia inikah kepala sekolah SMU 369 sekarang? Kalau iya, alangkah sederhananya orang ini. Tapi sekali lagi, apa sebenarnya maunya? Mau menawarkan Edwin bersekolah kembali dengan keringanan tidak usah membayar SPP? Bukan hanya uang SPP yang jadi masalah. Edwin saat ini adalah tulang punggung utama buat mencari nafkah. Mereka bisa bertahan hidup, anak-anaknya yang lain masih bisa sekolah, karena mereka berdua mencari nafkah. Karena ibu Winarni dan Edwin bekerja dan mendapatkan upah. Dengan penghasilan mereka berdua anak-anak yang lain masih bisa sekolah. Lalu kalau Edwin sekolah?

Wina muncul membawa tatakan berisi tiga cangkir teh. Wina meletakkan cangkir itu di hadapan pak Umar, ibu Fat dan ibu.

‘Wah, pintar sekali. Terima kasih. Siapa namanya?’ ibu Fat menyapa Wina.

‘Edwirna, bu. Silahkan diminum bu. Silahkan pak!’ Wina mempersilahkan tamu itu dengan sopan.

Wina kembali ke belakang.

‘Silahkan pak, bu. Cuma ada teh,’ ibu Winarni mempersilahkan minum.

‘Terima kasih,’ jawab ibu Fat kembali.

Suasana kembali hening. Ibu Winarni masih belum mampu menyusun kata-kata untuk menjelaskan kesulitan sebenarnya yang dihadapinya sekeluarga.

‘Begini pak,’ lanjut ibu Winarni akhirnya sesudah suasana hening itu berlalu beberapa saat.

‘Pertama, saya sangat berterima kasih atas kebaikan bapak. Padahal saya tidak mengenal bapak. Tapi bapak pastilah seorang yang sangat baik. Bapak sudi datang ke sini menyampaikan tawaran yang sangat berharga itu, merupakan bukti kebaikan bapak. Tapi…….. Saya harus berterus terang… Tawaran bapak itu tidak mungkin kami terima. Tawaran itu terlalu mahal buat kami….’ kata ibu Minarni berusaha tegar.

‘Maksud ibu?’ pak Umar masih mencoba menjajaki lebih lanjut.

No comments: