Tuesday, December 16, 2008

SANG AMANAH (95)

(95)


Hari Rabu, pak Darmaji dan ibu Rita datang menjemput pak Sofyan ke Cimande, seperti yang sudah mereka janjikan sebelumnya. Keadaan pak Sofyan sudah sangat banyak kemajuannya. Kecuali tangan kirinya yang masih memakai penyangga dari bambu, karena memang masih perlu waktu untuk sembuh total, kaki dan tangan kanannya sudah normal kembali. Pak Sofyan mengucapkan terima kasih sekali kepada si Abah dan mang Tisna yang telah begitu baik merawatnya. Kedua orang itu, yang kelihatannya sangat menghormati profesi guru bahkan tidak mau dibayar, namun pak Sofyan berusaha untuk meyakinkan mereka berdua bahwa yang diberikannya bukanlah sebagai uang bayaran, akan tetapi sebagai ungkapan terima kasih.

Jam setengah dua belas siang mereka berangkat meninggalkan rumah si Abah. Hari cerah siang ini. Bahkan udara terasa panas. Mobil Toyota Starlet itu meluncur pelan menuju jalan raya arah ke Sukabumi, kemudian berbelok kekanan ke arah Ciawi. Baru beberapa kilometer di jalan itu, tiba-tiba mobil itu terseok-seok dan akhirnya mesinnya mati. Asap, atau boleh jadi uap panas mengepul dari kap mesin. Darmaji sempat mengamati penunjuk temperatur mobil itu naik. Beruntung mereka berhenti dekat sebuah mesjid dan mobil itu berada di pinggir. Darmaji turun dan membuka kap mesin. Rita yang bisanya hanya menyetir agak cemas, khawatir kalau mobil itu mengalami kerusakan serius. Rita juga ikut turun.

‘Kenapa ya mas?’ tanya Rita.

‘Ah, saya rasa air radiatornya habis. Mudah-mudahan radiatornya tidak apa-apa,’ jawab Darmaji sambil membuka kap mesin mobil itu.

Uap air panas mengepul dari penutup radiator. Darmaji tidak berani menyentuhnya karena tutup radiator itu pasti panas sekali. Dibiarkannya uap air itu terus mengepul. Makin lama makin kecil. Pak Sofyan ikut keluar dari mobil. Darmaji pergi ke belakang mesjid mencari ember. Seseorang yang berada di sana, mungkin petugas mesjid itu, meminjamkan sebuah ember dan gayung. Tutup radiator yang masih panas itu disiramnya pelan-pelan. Lalu dengan menggunakan daun pisang sebagai penahan panas, tutup radiator itu dibukanya. Darmaji mengisi radiator itu dengan air. Kelihatannya sudah hampir kosong. Diperlukan bergayung-gayung air untuk mengisinya kembali. Sesudah radiator itu penuh, Darmaji mencoba menghidupkan mesin mobil itu kembali. Tidak ada masalah, mesin itu langsung bisa dinyalakan. Radiator itu kembali ditutupnya sambil mesin dibiarkannya terus hidup. Dia ingin mengamati kalau-kalau ada kebocoran pada pipa-pipa radiator itu.

Tidak terlihat kebocoran apapun. Darmaji mengusulkan agar ditunggu barang sepuluh sampai lima belas menit.

‘Apa sebelumnya, mobil ini nggak pernah kehabisan air seperti sekarang Rit?’ tanya Darmaji.

‘Wah, saya nggak ngerti. Biasanya Parto yang memeriksa. Tapi selama saya pake belum pernah sekali juga mobil ini bermasalah,’ jawab Rita.

‘Mungkin saja Parto lupa menambah airnya. Tapi kayaknya nggak apa-apa deh. Kalau dalam sepuluh menit airnya nggak berkurang, mudah-mudahan tidak ada kebocoran. Kalau memang ada kebocoran mungkin harus kita perbaiki dulu ke bengkel,’ usul Darmaji.

Waktu mereka ngobrol-ngobrol sambil menunggu itu terdengar suara azan zuhur. Pak Sofyan mengusulkan agar shalat saja dulu di msjid itu. Darmaji setuju. Dia matikan mesin mobil itu. Jadi kebenaran katanya, kita tunggu lagi sekarang mesinnya agak dingin sebelum diperiksa ulang radiatornya.

Mereka pergi bewudhu ke tempat wudhu di belakang mesjid tempat tadi Darmaji mendapatkan ember dan gayung. Orang-orang berdatangan yang akan shalat berjamaah di mesjid itu. Tanpa menarik perhatian pak Sofyan sedikitpun, Rita mengeluarkan mukena dari laci dashboard mobil. Pak Sofyan dan pak Darmaji sudah duluan menuju tempat berwudhu pria. Rita menyusul pergi ke tempat wudhu wanita.

Mereka ikut shalat berjamaah. Lumayan banyak yang shalat zuhur berjamaah di mesjid ini. Mesjidnya ternyata sangat bersih dan rapi. Khusyuk sekali shalat di sana. Sesudah shalat pak Sofyan masih duduk agak lama dalam zikir. Lalu shalat sunah ba’diyah. Baru sesudah itu dia melangkah keluar. Mata pak Sofyan terbelalak melihat Rita juga sedang melangkah keluar dari pintu mesjid yang satunya. Tangannya memegang tas kain berisi mukena. Setelah sampai diluar pak Sofyan tidak berkata apa-apa. Dia masih memperhatikan Rita dengan pandangan penuh tanda tanya.

Darmaji melangkah menuju mobil dan membuka kembali tutup radiatornya. Airnya masih utuh, tidak berkurang sedikitpun. Walaupun pengujian selama sepuluh atau lima belas menit mungkin tidak terlalu memberi jaminan bahwa radiator itu tidak lagi bermasalah, paling tidak setelah pengujian itu dia lebih berani untuk meneruskan perjalanan.

Semua sudah siap untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Pak Sofyan yang duduk di depan semakin tidak sabar untuk menanyakan sesuatu. Begitu mobil itu mulai bergerak dia memberanikan diri bertanya.

‘Apa tadi saya salah lihat ya, waktu melihat Rita keluar dari mesjid?’ tanyanya ragu-ragu.

‘Kayaknya pak Sofyan tidak salah lihat deh,’ jawab Ria pendek.

‘Maksudnya?’ tanya pak Sofyan sambil menoleh ke belakang.

‘Maksudnya, saya memang keluar dari mesjid itu tadi hampir berbarengan dengan pak Sofyan,’ jawab Rita tersenyum.

‘Oh ya? Maksudnya Rita ikut melihat orang-orang shalat di dalam mesjid?’

‘Tidak. Saya ikut shalat bersama-sama,’ jawab Rita pendek.

Pak Sofyan tersentak kaget dan menoleh ke belakang. Hampir tidak percaya dia dengan apa yang didengarnya. Tapi suaranya tidak bisa keluar. Ucapan Rita barusan sungguh sangat mengejutkannya. Dia kembali menghadap ke depan lalu menoleh ke arah Darmaji. Ingin dia mendengarkan cerita lebih jauh. Apa yang tejadi dengan Rita? Apa dia sekarang sudah masuk Islam?

Sepi lama sekali. Tidak ada yang bersuara. Rita dan Darmaji sama-sama diam. Pak Sofyan masih ragu untuk mengajukan pertanyaan lagi. Kendaran itu melaju mantap di atas jalan tol Jagorawi. Darmaji tiap sebentar melirik jarum penunjuk temperatur. Sampai sejauh ini semua aman-aman saja.

Akhirnya pak Sofyan menemukan kata-kata untuk bertanya lebih lajut.

‘Kok Rita ikutan shalat? Apa dalam rangka menjajagi kemungkinan masuk Islam? Atau sedang melakukan uji coba?’ tanyanya hati-hati.

‘Bukan untuk uji coba. Bukan juga untuk menjajagi. Tapi benar-benar melaksanakan kewajiban saya sebagai seorang Muslimah,’ jawab Rita mantap.

Pak Sofyan tambah kaget mendengarnya. Matanya melotot seolah-olah dia melihat sesuatu yang sangat mengejutkan.

‘Jadi, jadi…… Rita sekarang sudah menjadi seorang Muslimah?’ tanyanya agak ragu-ragu.

‘Betul, pak. Saya sekarang seorang Muslimah,’ jawabnya.

‘Sejak kapan?’ tanya pak Sofyan.

‘Sejak lebih kurang tiga bulan yang lalu.’

‘Maaf, apakah anda berdua sekarang sudah menikah?’ tanya pak Sofyan lagi.

‘Belum pak. Tapi mudah-mudahan suatu saat yang tidak terlalu lama kami akan segera menikah,’ kali ini Darmaji yang menjawab.

‘Saya ucapkan selamat deh kalau begitu. Jadi Rita sudah Islam sejak tiga bulanan? Sudah ada yang tahu?’ tanya pak Sofyan lagi.

‘Sudah pak. Pak Umar. Beliau juga terheran-heran waktu saya beritahu dua hari yang lalu dalam perjalanan pulang sesudah menengok pak Sofyan. Tapi mungkin pak Umar tidak sekaget pak Sofyan,’ ujar Rita sambil tersenyum.

‘Betul. Saya barusan memang kaget sekali. Benar-benar sebuah kejutan. Tapi sekali lagi saya ucapkan selamat, deh. Tentu Rita sudah melalui proses pemikiran yang panjang sebelum sampai ke kesimpulan untuk masuk Islam,’ ungkap pak Sofyan pula.

‘Benar pak. Cukup panjang prosesnya,’ jawab Rita.

‘Dan Rita sudah bisa shalat? Benar-benar hebat.’

‘Masih dalam taraf belajar dan berlatih pak. Yang saya lakukan baru yang saya sudah mampu saja.’

‘Tapi….. Sudah menjalankan shalat lima waktu, kan?’

‘Mudah-mudahan sudah pak.’

‘Bagaimana kalau di rumah? Bukankah Rita tinggal bersama orang tua?’

‘Ya saya shalat saja. Biasanya di kamar. Orang tua saya tahu kok. Ayah saya tahu. Meski dulu-dulu sekali ayah sangat menentang rencana saya mau pindah agama. Tapi sesudah kami berdiskusi, saya berusaha setiap saat meyakinkan ayah saya sampai akhirnya penolakan beliau semakin berkurang.’

‘Apa yang memotivasi Rita untuk masuk Islam?’

‘Apa ya? Mungkin karena saya banyak membaca buku-buku tentang Islam. Saya jadi memahami sedikit demi sedikit tentang agama Islam. Setiap kali saya membaca buku-buku itu rasa ingin tahu saya semakin bertambah. Saya beli lagi buku-buku yang lain. Informasi dari buku-buku itu menjadikan saya suka merenung dan berfikir. Lama-lama kok ya banyak yang saya setuju dengan ajaran ini. Begitulah prosesnya.’

‘Lalu apa yang jadi pemicu utamanya kalau saya boleh tahu?’

‘Saya rasa yang jadi pemicu mula-mula adalah masalah perkawinan campuran. Tentu pak Sofyan mengetahui juga tentang hubungan kami. Saya dan mas Darmaji. Setelah melalui proses yang juga memakan waktu, rasanya kok ya ada kecocokan di antara kami. Hal itu kami rasakan sesudah melalui masa uji coba yang cukup panjang. Tetapi begitu kami berfikir untuk menikah, kami langsung terbentur pada masalah perbedaan keyakinan. Kami masing-masing mencoba mencari jalan keluarnya. Namun selalu buntu. Karena peraturan pemerintah tidak membolehkan pernikahan lintas agama. Suatu hari saya diberitahu oleh pak Darmawan bahwa sebenarnya di dalam agama Islam boleh seorang laki-laki Muslim menikahi wanita Kristen. Saya cukup tertarik dengan pernyataan ini waktu itu. Tapi kenapa dong, kok pemerintah melarang? Tentu ada sebabnya. Saya bertanya lagi ke beberapa sumber yang saya percayai. Termasuk ke pak Umar. Dari uraian pak Umar, yang sedikit berbeda dalam penafsirannya, karena beliau memberikan uraian tentang ‘boleh’ itu secara hati-hati, menjadikan saya tambah penasaran. Saya berulang-ulang membaca ayat al Quran yang ditunjukkan pak Darmawan tentang ‘boleh’ tadi itu. Sementara dari pak Umar saya dapat pula keterangan bagaimana tanggung jawab seorang kepala rumah tangga, yang tentu saja laki-laki, untuk menjaga jangan sampai keluarganya binasa masuk neraka. Diperkenalkan dengan ayat-ayat al Quran seperti itu menjadikan saya suka membalik-balik dan membaca Quran lebih sering. Dan sesudah itu saya banyak berdiskusi dengan pak Darmawan. Pak Darmawan yang mula-mula memberikan buku-buku tentang Islam kepada saya. Itulah awalnya perkenalan saya dengan agama Islam.’

‘Dan pak Darmawan sudah tahu kalau Rita sudah menjadi Muslimah?’

‘Belum. Kecuali mas Darmaji, pak Umar dan pak Sofyan, belum ada di antara rekan-rekan guru yang tahu. Saya sengaja masih diam-diam.’

‘Tapi….. tentu tidak akan diam-diam seterusnya?’

‘Tidak, pak. Pelan-pelan nanti mereka pasti akan tahu juga. Tapi saya ingin mereka tahu secara wajar, tidak sensasional.’

‘Tapi saya yakin akan banyak yang terkaget-kaget serupa saya tadi.’

‘Mudah-mudahan sih tidak. Kenapa mesti harus kaget?’

‘Ya, mudah-mudahan. Tapi tentu akan ada yang bersimpati, akan ada yang acuh tak acuh dan akan ada yang antipati.’

‘Sayapun menduga begitu. Dan saya siap saja. Akan saya tunjukkan bahwa saya bersungguh-sungguh menjadi seorang Muslimah. Sesudah itu segala sesuatunya akan saya hadapi dengan setenang mungkin. Jauh lebih sulit meyakinkan orang tua saya. Terutama ayah saya. Dan saya bersyukur gelombang yang menerpa saya dapat saya hadapi.’

‘Alhamdulillah. Syukurlah. Saya ikut mendoakan semoga Rita akan senantiasa diberi keteguhan iman oleh Allah SWT.’

‘Amiin.’

Mereka masih terlibat dalam obrolan panjang lebar. Alhamdulillah, mobil itu aman-aman saja sampai ke Jakarta. Mereka mengantarkan pak Sofyan ke rumahnya di daerah Condet. Istri dan anak-anak pak Sofyan sudah menunggu mereka. Mereka sangat gembira menyambut kedatangan pak Sofyan. Darmaji dan Rita dijamu makan siang di sana. Mereka tinggal di rumah itu sampai jam empat sore. Tentu saja mereka shalat asar berjamaah dulu di mesjid dekat rumah pak Sofyan, sebelum meninggalkan tempat itu.


*****

No comments: