Sunday, February 10, 2008

FLU BURUNG DAN BURUNG-BURUNG KECIL

FLU BURUNG DAN BURUNG-BURUNG KECIL

Aku selalu duduk di depan jendela kamar tidurku ketika mengetik seperti ini di rumah. Di waktu siang kala aku sedang asyik di depan PC ini seringkali muncul burung-burung kecil berwarna coklat agak keunguan. Kadang-kadang sepasang, kadang kadang hanya satu ekor. Mereka suka sekali mematuk kaca jendela dalam posisi terbang. Burung-burung kecil yang nyaring siulan kecilnya, yang panjang tubuhnya mungkin hanya 3 atau 4 cm, suka hinggap dan meloncat-loncat di rak besi penyangga pohon anggur di depan kamar. Mereka betah bermain-main dalam waktu lama di depan jendela dan aku juga kadang-kadang betah mengamati mereka. Aku senang melihat makhluk kecil ciptaan Allah yang sangat elok itu meski aku tidak tahu apa nama jenis burung tersebut. Suatu hari anakku yang juga senang mengamati kehadirannya berhasil memotretnya dari balik jendela.

Ada jenis burung lain yang juga sering hinggap dan berkicau di pohon mangga di depan rumah. Biasanya pada saat menjelang matahari terbit. Suara kicauannya cerewet dan ramai. Akupun senang mendengar kicauannya. Karena pohon mangga cukup rindang hampir tidak pernah aku berhasil melihat sosoknya.

Siang hari di belakang rumah kami sering hadir puluhan burung gereja. Burung-burung ini bahkan mungkin bersarang di lekuk-lekuk di bawah atap rumah. Suara cicitan mereka juga ramai biasanya. Pernah pembantu kami kurang kencang ketika mematikan keran air sehabis menyiram tanaman, air masih mengalir dari ujung selang yang tergantung di bawah pohon jambu. Burung-burung gereja itu asyik mandi di bawah cucuran air di ujung selang tersebut. Anakku menunjukkan pemandangan itu karena dia yang melihatnya pertama kali, lalu kami menontonnya sekeluarga. Pemandangan seperti itu menyenangkan bagi kami.

Mungkin merupakan sisa-sisa peradaban ’kampungan’ dulu, aku sangat senang memelihara ayam. Selama bertahun-tahun aku biasa memelihara ayam kampung di belakang rumah tempat kami tinggal sekarang ini. Aku suka sekali mendengar kokok ayam menjelang waktu subuh. Jumlah ayam ini pernah mencapai belasan ekor. Berasal dari sepasang ayam kampung yang tadinya mau dijuruskan ke kuali. Aku memintakan pengampunan untuk mereka dan istriku terpaksa mengabulkannya. Sepasang ayam itu lalu beranak pinak. Pernah beberapa kali teman sekerjaku orang asing menelpon kerumah dan mendengarkan suara ayam berkotek cukup ramai, lalu bertanya, apakah aku tinggal di peternakan ayam. Aku jawab saja iya. Ayam-ayam tadi umumnya aku pelihara sampai tua dan manakala sudah sangat tua aku berikan kepada seorang jamaah mesjid untuk dipotong dan kebetulan dia mau menerimanya. Aku tidak tega memotongnya. Ayam-ayam itu jarang sakit. Kalau ada yang sakit aku dan anakku yang paling kecil merawatnya dan beberapa kali kami berhasil memberikan obat yang dapat menyembuhkannya. Sekarang sudah tidak ada lagi ayam di belakang rumah. Bukan karena kami takut flu burung lalu memusnahkan ayam-ayam tersebut, tapi regenerasi mereka terhenti karena beberapa ekor diantaranya suka memakan telor mereka sendiri. Mungkin kami pernah terlambat memberi makan sehingga mereka menjadi swasembada seperti itu. Dan kebiasaan buruk mereka ini menular dari yang satu kepada yang lain.

Kandang ayam semi permanen masih berdiri kokoh agak jauh ke belakang rumah. Kandang yang menggunakan kawat yang cukup kuat untuk melindungi anak-anak ayam (dulu) dari serangan tikus. Kandang tersebut saat ini dihuni sepasang merpati putih hadiah seorang teman. Dan mungkin karena sedang seru-serunya disoroti sepasang merpati ini seolah-olah enggan berketurunan.

Saat ini kiamat kecil tengah melanda golongan unggas peliharaan di Jakarta dan sekitarnya. Penguasa Jakarta Raya sudah menetapkan undang-undang pelarangan memelihara unggas di lingkungan pemukiman. Alasannya karena wabah flu burung kembali merebak dan semua jenis ayam dan bebek menjadi tertuduh utama dan segera harus menjalani eksekusi pemusnahan. Televisi seolah-olah ditugasi untuk menayangkan dan mengkampanyekan mereka-mereka yang secara suka rela menyerahkan unggas peliharaan mereka untuk dimusnahkan. Dan ayam-ayam yang kelihatan masih sehatpun dipotong untuk kemudian dimasukkan ke dalam lubang lalu dibakar. Dengan cara seperti itulah pemusnahan itu dilakukan. Entah kenapa mesti demikian prosesnya. Semua ayam-ayam tersebut sudah digolongkan saja sebagai pembawa virus flu burung. Pada saat yang bersamaan televisi sebenarnya menayangkan juga pemberian vaksinasi terhadap unggas ayam atau bebek di tempat-tempat tertentu. Kalaulah binatang-binatang itu masih bisa diamankan dengan memeberikan vaksin kenapa mesti panik total seperti sekarang ini?

Sejujurnya saya melihat ini adalah kepanikan yang sangat berlebihan dan diikuti oleh penzaliman terhadap unggas, terutama ayam dan bebek kampung. Anehnya, burung berkicau yang dipelihara konon sementara mendapat pengecualian asal pemiliknya memintakan sertifikat ’hidup’ untuk unggas peliharaan mereka. Apakah burung berkicau dianggap lebih aman? Bagaimana pula dengan burung-burung dara atau merpati? Apakah semua juga harus dimusnahkan. Tetangga saya yang agak usil mengatakan silahkan tangkapi burung merpati saya yang hidup bebas itu kalau mau dimusnahkan. Kalaupun burung-burung peliharaan seperti itu harus dimusnahkan, pertanyaan berikutnya bagaimana dengan burung-burung gereja, burung-burung kecil yang hidup di alam bebas? Apakah mereka juga mau dibasmi dan tidak boleh hidup di bumi Jakarta atu provinsi lain yang akan menetapkan aturan pembasmian unggas tadi? Kalau iya agaknya ini merupakan lowongan pekerjaan baru bagi pemburu burung-burung bebas itu, untuk menjaga agar mereka jangan sembarangan hinggap.

Saya tidak tahu entah bagaimana dengan nasib peternakan ayam potong. Atau mungkin sebentar lagi menu ayam harus dihapuskan dari setiap dapur di Jakarta maupun di propinsi yang sudah menyatakan akan memberlakukan pelarangan pemeliharaan ayam dilingkungan perumahan penduduk. Padahal ayam dan itik juga merupakan korban dari virus flu burung yang berasal dari Siberia itu, tapi nasib mereka ternyata sangat menyedihkan. Yang tidak terjangkitpun harus musnah, untuk menjaga agar jangan sampai dihinggapi virus.

Celakanya lagi, di Bali dilaporkan bahwa virus flu burung juga sudah terdeteksi menghinggapi anjing dan kucing. Sebelumnya juga dilaporkan virus yang sama menghinggapi tubuh babi. Apakah anjing, kucing dan babi itu semuanya juga akan dimusnahkan dengan cara yang sama?

Sebaliknya berita yang cukup menggembirakan keluar dari beberapa rumah sakit di Jakarta bahwa ada beberapa pasien yang diduga mengidap flu burung berangsur-angsur mulai sehat kembali. Artinya obat penyakit flu burung yang lebih ampuh mungkin sudah bisa diketemukan. Bukankah Nabi SAW pernah bersabda bahwa setiap penyakit itu ada obatnya kecuali ketuaan. Lalu bolehkah kita menzalimi makhluk Allah yang sebenarnya juga memberi manfaat kepada kita umat manusia karena kecurigaan terhadap penyakit yang tengah mewabah dengan membasmi habis hewan-hewan malang itu tanpa ampun?

Entahlah kalau tindakan pembasmian ayam dan itik kampung ini benar-benar mengandung nilai kebijaksanaan yang benar. Kok seolah-olah seperti Allah sia-sia menciptakan mereka. Padahal firman Allah, tidaklah Aku menciptakan sesuatu itu dengan sia-sia. Wallahu a’lam.


*****

No comments: