Friday, February 22, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.9)

9. Naik Kuda Di Bukit Ambacang


Paginya mereka agak kesiangan, dan bangun sudah jam setengah enam. Mungkin saking kecapekan. Mereka sarapan bersama seperti kemarin sambil berbincang-bincang santai. Sambil menikmati kopi telur ditemani ketan dan goreng pisang raja. Dan bika si Mariana yang di panaskan di micro wave.

’Hari ini kemana lagi acaranya?’ tanya etek Rasuna.

’Pagi ini ke Bukit Tinggi. Kalau bisa menunggang kuda di Bukit Ambacang. Sesudah itu melihat-lihat Benteng dan Gua Jepang. Jam sepuluh nanti kita menuju Harau. Siangnya ke Pagar Ruyung,’ Pohan menjelaskan secara rinci.

’Menunggang kuda? Kamu berani Aswin?’ tanya etek pula.

’Berani saja. Dan saya sudah pernah melakukannya,’ jawab Aswin.

’Atau bisa juga mengendarai bendi Bugih di sana, kalau Aswin kurang yakin untuk menunggang kuda,’ Pohan menambahkan.

’Mungkin aku akan mencoba kedua-duanya,’ jawab Aswin.

’Dimaa kalian makan? Ndak pai mancubo gulai itiak?’ tanya nenek pula.

’Sudah tadi malam, nek. Tadi malam kami makan gulai itiak Koto Gadang di ngarai Sianok,’ jawab Aswin.

’He..he.. alah nan iyo. Lai lamak? Lai katuju?’ tanya nenek pula.

’Batambuah-tambuah no makan, sampai barek ka tagak. Sudah itu siuak-siuaki kapadehan,’ jawab Pohan.

’Apa itu maksudnya?’ tanya Aswin.

’Kata Pohan, kamu makannya banyak, sampai sulit mau berdiri. Sehabis makan sibuk karena kepedasan,’ etek menjelaskan.

’He..he..he.. memang benar. Gulai itik itu memang enak sekali,’ jawab Aswin.

’Kini pukuah bara lo ka pai?’ tanya nenek lagi.

’Ka pai kini sakali, sudah makan katan ko,’ jawab Pohan.

’Pailah, jaan lamo-lamo amek ka pulang. Latiah amek badan,’ kata nenek lagi.

’Anak-anak muda ini mana mengenal letih,’ etek ikut menambahkan.

Sesudah sarapan, masih belum jam tujuh mereka berangkat ke Bukit Tinggi. Melalui jalan di ngarai Sianok seperti yang mereka lalui tadi malam. Mereka langsung ke Bukit Ambacang. Dalam waktu dua puluh menit mereka sudah sampai di sana. Di arena pacu kuda itu memang disewakan kuda untuk dipacu berkeliling lapangan bagi yang bisa menunggang kuda. Yang digunakan umumnya bekas kuda pacu atau bahkan ada juga kuda pacu sungguhan. Biasanya kuda pacu yang tidak pernah menang dalam pacuan alias kuda penggembira. Tapi umumnya kuda-kuda itu sehat-sehat dan kekar serta besar tubuhnya dengan bulu yang berkilat-kilat. Ada juga bendi Bugih yang oleh Aswin disebut seperti kereta Ben Hur.

Kuda-kuda itu diberi berpelana. Pohan menjelaskan bahwa pada pacuan kuda sungguhan di arena ini, kudanya tidak dipakaikan pelana. Jadi joki langsung duduk di punggung kuda. Lebih menantang dan unik.

Ternyata mereka datang kepagian, tapi justru lebih baik. Masih belum banyak pengunjung. Masing-masing memilih seekor kuda untuk disewa. Aswin ternyata sangat cekatan menunggang kuda. Berdua mereka mengendarai kuda itu sambil kudanya berlari-lari kecil. Jadi bukan dipacu. Perhitungan sewa menyewa didasarkan dengan mengendarai kuda mengitari lapangan Bukit Ambacang. Sepuluh ribu rupiah untuk dua kali putaran, sebagai sewa minimum. Mereka menyewanya untuk empat putaran dan pada putaran ke empat nanti mereka akan berlomba.

Ada enam ekor kuda yang sudah disewa di lapangan saat itu berlari berpencaran. Aswin mendekati setiap pengendara lain dan mengajak untuk berlomba pada putaran mereka yang terakhir. Mereka setuju. Keenam pengendara itu memposisikan kuda masing-masing di garis start. Waktu mereka bersiap-siap itu seorang petugas lapangan datang membantu untuk mengibarkan bendera start. Dan merekapun berpacu. Kuda-kuda itu ternyata sangat lincah dan bersemangat pula dalam perlombaan itu. Kuda yang dikendarai Pohan yang jadi juara. Kuda Aswin hanya diurutan ketiga.

Setelah perlombaan berpacu, sekarang mereka menyewa bendi Bugih. Berkeliling-keliling lagi di arena. Naik bendi inipun lain pula asyiknya. Pada waktu kuda dihalau berlari kencang Aswin berdiri di bendi Bugih. Seperti gaya tentara Romawi. Semakin siang semakin banyak penyewa kuda di arena. Bercampur antara pengendara kuda dan bendi Bugih. Tapi kalau ada yang ingin berlomba, seperti yang tadi dilakukan Aswin dan rombongannya, mereka bisa minta tolong petugas lapangan untuk membebaskan dan mengatur lapangan agar tidak saling mengganggu. Acara berkuda seperti ini sangat banyak pula diminati para pelancong.

Jam setengah sepuluh mereka sudah puas berkuda, naik bendi Bugih dan menonton orang lain mengendarai kuda. Mereka segera meninggalkan Bukit Ambacang. Sekarang menuju ke Gua Jepang di ngarai. Aswin mengagumi gua ini tapi tidak berminat untuk menjelajahinya ke dalam. Mereka masuk ke bahagian luar gua saja. Orang Jepang telah mengabadikan jejak sejarah penjajahan mereka di negeri ini dengan adanya gua ini.

Dari gua Jepang mereka naik ke benteng tua Fort de Kock. Melihat pemandangan ke arah jalan ke Medan. Di sekitar benteng tua terdapat taman. Bukit Tinggi sangat cantik dengan taman-taman seperti ini yang sangat terpelihara dan terdapat di banyak tempat. Di benteng ini banyak juga pengunjung. Mereka duduk-dudk di taman di bawah payung besar sambil bersantai-santai. Ada dua orang yang sedang melukis menggunakan kanvas besar.

’Mari kita menyeberang ke kebun binatang,’ ajak Pohan.

Aswin setuju. Mereka menyeberang melalui jembatan Limpapeh. Ke kebun binatang yang juga disebut kebun bunga. Banyak binatang-binatang liar yang baru sekali ini dilihat Aswin. Seperti tapir dan badak Sumatera. Dan harimau Sumatera. Kebun bunga di lingkungan kebun binatang ini mempunyai banyak sekali tanaman anggerek yang cantik-cantik. Indah dan menyejukkan mata memandang.

Mereka naik ke museum rumah gadang. Melihat-lihat koleksi barang–barang kuno yang biasa digunakan dalam pesta adat Minangkabau. Di dalam musium ini sayup-sayup terdengar suara pupuik tanduak yang diputar dari kaset. Di sebuah pojok ada toko buku mini menjual buku-buku tentang Negeri Minangkabau. Ada buku-buku dalam bahasa Minang ada juga yang dalam bahasa Indonesia. Aswin mencari-cari di antara koleksi buku-buku itu. Akhirnya dia membeli lima buah buku yang ditulis dam bahasa Indonesia dan dua buah buku dalam bahasa Minang. Yang terakhir ini hadiah untuk ayah nanti.

Setelah puas melihat-lihat di musium dan kebun binantang, sebelum kembali ke mobil yang terparkir di dekat benteng, Pohan mengajak Aswin pergi menikmati ampiang badadiah. Tempatnya di rumah makan di samping Mesjid Raya. Restoran ini sejatinya adalah tempat makan nasi, tapi juga menyediakan makanan ringan seperti ampiang badadiah dan lemang tapai. Ampiang badadiah disini menurut Pohan termasuk yang terbaik di Bukit Tinggi. Tawaran yang tidak mungkin ditolak Aswin. Memang sudah waktu ’minum kawa’ karena sudah lebih jam sepuluh.

Aswin dan Pohan membahas kegiatan yang sudah mereka lakukan sejak pagi ini dengan santai sambil menunggu pesanan mereka. Tentang acara menunggang kuda yang menyenangkan tadi itu. Tidak lama kemudian pesanan ampiang badadiah dan kopipun datang.

Ampiang badadiah inipun ternyata juga ’best’. Dadiah yang bercampur dengan tengguli itu yang membuatnya legit dan enak. Tidak heran kalau restoran ini banyak pengunjungnya meski belum jam makan siang. Tamu restoran umumnya memesan ampiang badadiah atau lemang tapai.

’Makan siang kita dimana?’ tanya Aswin sambil menikmati.

’Nanti di jalan ke Batusangkar. Ada rumah makan di tepi sawah,’ jawab Pohan.

’Jam berapa nanti kira-kira kita makan siang?’ tanya Aswin lagi.

’Mungkin sekitar jam dua. Dari sini kita ke Harau. Mudah-mudahan kita bisa sampai di Harau sekitar jam dua belas. Melihat-lihat disana lalu kita menuju Batusangkar dan Pagaruyung. Kita berhenti makan di tempat yang aku sebut itu. Tapi kenapa kok kamu sibuk bertanya jam berapa kita makan siang?’ tanya Pohan.

‘Karena aku sedang berfikir mau menambah ampiang badadiah atau sudah cukup satu mangkok ini saja,’ jawab Aswin polos.

‘He..he.. Kalau mau tambah saja. Masih empat jam lagi baru kita makan siang. Apa lagi nanti perutmu akan cepat kosong karena goncangan mobil,’ kata Pohan.

’Kamu mau nambah?’ tanya Aswin.

’Baik, mari aku temani. Mintalah satu mangkok lagi,’

Dan mereka memesan satu porsi lagi.

Sesudah menikmati ampiang badadiah itu mereka berjalan kaki kembali ke benteng melalui jembatan Limpapeh, ke tempat mobil mereka di parkir. Sekarang mereka akan melanjutkan kunjungan ke Harau di sebelah timur Paya Kumbuh.


*****

No comments: