Tuesday, January 19, 2010

DERAI-DERAI CINTA (50) (tamat)

50. DERAI-DERAI CINTA (tamat)

Ratih sangat terpukul. Pertanda apa ini? Besok dia akan menikah. Segala sesuatu sudah siap. Undangan sudah beredar. Sore itu, sesudah maghrib, datang berita. Mashudi mengalami kecelakaan fatal di Cimindi. Jiwanya tidak tertolong. Ya Allah…. Ada apa ini? Ratih mengurung dirinya di kamar. Dia menangis. Karena kaget. Karena malu.

Uci menghiburnya dan mengingatkan agar dia berserah diri kepada Allah. Yang sudah terjadi itu merupakan ketentuan Yang Maha Kuasa. Walaupun sakit, walaupun menyesakkan dada, kita sebagai makhluk Allah tidak dapat berbuat apa-apa ketika ketetapan Allah sudah jatuh. Dan yang sebaik-baik sikap adalah bersabar dan berserah diri kepada Allah.

Apa yang dikatakan uci sangat benar. Ratih harus menerima kenyataan itu. Karena memang tidak mungkin menolak. Tidak mungkin memprotes kepada Allah. Yang sudah terjadi ya, sudah. Yang diderita Ratih masih terhitung ringan. Allah bisa saja menetapkan sesuatu yang lebih berat dari itu.

Jenazah Mashudi dimakamkan keesokan harinya sesudah shalat Jumat. Waktu yang dijadwalkan sebelumnya untuk melaksanakan akad nikah. Ratih ikut hadir ke pemakaman di Cimahi.

*

Keluarga pak Bambang Sadarta harus bekerja keras memberitahu handai tolan yang sudah menerima undangan resepsi pernikahan Mashudi dan Ratih, bahwa resepsi itu batal. Tidak terlalu sulit karena yang diundang berada di lingkungan terbatas. Sebagian besar dari mereka yang diundang sudah mendengar kabar duka itu. Teman-teman Ratih tetap datang pada hari Minggu itu untuk melayat. Untuk menghibur Ratih. Di antara yang ikut hadir hari itu adalah Imran dan Syahrul. Mereka datang untuk menyampaikan ikut berduka cita kepada Ratih. Kehadiran kedua anak muda itu cukup mengagetkan Ratih. Terutama kehadiran Imran. Sudah lebih dua tahun mereka tidak pernah bertemu. Sejak Imran meninggalkan Bandung komunikasi mereka terputus.

Imran menyampaikan rasa ikut berduka citanya dan mengingatkan Ratih untuk bersabar. Ratih tersenyum mendengarnya.

*

Dua minggu kemudian. Syahrul datang lagi ke rumah pak Bambang Sadarta. Kali ini berdua dengan Lala. Sukma memberi tahu Ratih atas kedatangan kedua orang itu. Saat itu Ratih sedang membantu uci di dapur.

Ratih terheran-heran melihat Lala datang dengan Syahrul. Tetapi keheranan itu disimpannya saja dalam hati. Mereka bertiga segera terlibat dalam perbincangan.

‘Saya dengar Lala jadi dosen?’ tanya Ratih.

‘Insya Allah. Masih dalam tahap belajar, sih,’ jawab Lala.

‘Asyik, ya…. Pasti nanti ke luar buat mengambil S2. Kayak kak Syahrul…’

‘Doain aja…… Kalau Ratih? Sudah mulai bekerja?’

‘Masih melamar-lamar sih. Kemarin ini ada panggilan untuk interview dari Bayer. Tapi di Jakarta. Ratih masih pikir-pikir.’

Mereka ngobrol ngalor ngidul, ke barat ke timur. Akhirnya Lala menyampaikan maksud kedatangannya.

‘Maaf ya, Ratih. Ada sesuatu yang Lala ingin tanyakan. Sangat pribadi sifatnya. Kalau umpamanya nanti tidak berkenan, Lala mohon maaf sebelumnya….’

‘Oh ya….. Ada apa?’ tanya Ratih.

‘Sekali lagi Lala mohon maaf, sebelumnya. Mungkin ini bukan saat yang terlalu tepat. Tapi Lala benar-benar ingin bertanya secara jujur…’

‘Tentang apa? Kok Lala minta-minta maaf melulu?’

‘Baik…… Lala ingin….. Ingin menyampaikan lamaran bang Imran…. ‘

Jantung Ratih seperti mau copot. Sedikitpun dia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu yang keluar dari mulut Lala. Dia berusaha keras menenangkan diri agar tidak terlihat gugup.

‘Apa….. Apa….. maksudnya?’ tanya Ratih terbata-bata.

‘Kalau hal itu melukai Ratih, sekali lagi Lala minta maaf.’

‘Ratih tidak…… Saya…… Tidak mengerti maksud Lala…. ‘

‘Maksudnya…. Seperti yang dikatakan Lala. Seandainya Ratih tidak berkeberatan, kami mewakili Imran menyampaikan hasrat itu. Tapi seandainya Ratih berkeberatan, kami akan menyampaikannya kepada Imran dan kami minta maaf karena kelancangan ini. Masih berandai-andai, seandainya Ratih mau mempertimbangkannya, Imran sendiri setelah ini akan datang kesini untuk menyampaikannya kepada Ratih,’ Syahrul membantu menjelaskan.

Tanpa disadarinya dua tetes air mata mengalir di pipi Ratih. Dadanya bergoncang hebat. Masih dicobanya untuk bersikap setenang mungkin.

‘Bagaimana jawaban Ratih?’ tanya Lala lagi.

Ratih tidak kuasa menjawab. Beberapa tetes air mata lagi mengalir di pipinya. Ratih menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan.

‘Sekali lagi maaf, ya Ratih. Mungkin Ratih perlu waktu berpikir sebelum menjawabnya.’

‘Kak Imran ada di mana sekarang?’ tanya Ratih..

‘Dia ada di Sekeloa,’ jawab Lala.

‘Seandainya…….’

‘Seandainya apa?’ tanya Lala.

‘Seandainya……, dia ada disini…., saat ini.’

‘Ratih mau dia datang kesini?’

Ratih tidak menjawab. Dia tersenyum. Dia menangis. Tetesan air mata kembali bercucuran.

‘Kalau begitu, Lala menyimpulkan saja. Ratih ingin bertemu dengan bang Imran. Kami akan pulang ke Sekeloa. Insya Allah sesudah itu bang Imran akan datang kesini.’

***

Imran datang sore itu. Menemui Ratih. Hati Ratih berbunga-bunga. Ya Allah, Engkau Maha Pemurah, Ratih bergumam dalam hati.

Mereka duduk berdua di ruang tamu itu.

‘Saya ingin….. melamar Ratih,’ kata Imran agak terbata-bata.

Ratih menatap mata Imran. Seuntai senyum berseri di bibirnya. Dan dua tetes air mata kembali mengalir di pipinya. Ratih tidak menjawab.

‘Saya lamar Ratih untuk jadi istri saya….,’ kata Imran lebih tegas.

Ratih tetap tidak menjawab. Bibirnya tersenyum tapi matanya semakin berkaca-kaca.

‘Sekarang jawablah…. Apakah Ratih bersedia…… Jadi istri saya?’

Ratih mengangguk. Ratih bangkit dari duduknya dan lari masuk ke dalam. Masuk ke kamarnya. Menangis.

Tinggallah Imran duduk sendirian. Sukma muncul dari dalam dan duduk di hadapan Imran. Imran tersenyum ke arah Sukma.


tamat

No comments: