Saturday, May 16, 2009

DERAI-DERAI CINTA (29)

29. PERTANYAAN

Akhirnya mereka bertemu siang hari itu. Di ujung jalan sebelum masuk ke gang tempat tinggal mereka. Ratih baru kembali dari acara di kampus. Imran dari Balubur. Imran yang melihat Ratih di kejauhan. Mukanya terlihat merah ditimpa sinar matahari siang. Ratih tersenyum begitu dia melihat Imran.

‘Susah benar dicari orang penting ini..... Kapan dari Jakarta?’ Ratih yang duluan menyapa.

‘Susah dicari bagaimana.... ? Saya pulang kemarin sore,’ jawab Imran tersenyum.

Mereka berjalan bersama di gang menuju ke rumah.

‘Kemarin sore? Tadi malam Ratih lewat di depan rumah masih gelap, kok.’

‘Jam berapa?’

‘Sekitar jam delapan malam,’ jawab Ratih.

‘Mungkin waktu kami pergi makan ke luar.’

‘Kami? Maksudnya kak Syahrul juga sudah kembali?’

‘Sudah. Tadi malam.’

Beberapa saat kemudian keduanya saling diam. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar mengetuk jalan beton di gang.

‘Saya berkali-kali mencari kak Imran....’ kata Ratih memecah keheningan.

‘Waktu itu saya kerja praktek lapangan. Empat puluh hari. Terus, waktu kembali kebetulan ada paman saya disini. Terakhir saya ke Jakarta. Syahrul memang bilang kalau Ratih mencari saya. Ada apa?’ Imran menjelaskan.

‘Ratih merasa kehilangan waktu kak Imran nggak ada.’

‘Kok bisa begitu? Kenapa?’

‘Entah. Senang rasanya setiap kali ngobrol dengan kak Imran.’

Imran terdiam. Apa maksud gadis ini? Dia bercerita apa adanya atau sedang merayu? Dia mengucapkan kata-kata tadi dengan polos. Tanpa beban. Tanpa malu-malu. Dan kata-katanya juga datar-datar saja. Mungkin saja dia memang senang diajak ngobrol. Bukankah obrolan mereka tidak pernah sekali juga menyinggung hal-hal yang tabu? Yang tidak sopan? Yang tidak pantas?

‘Sebenarnya ada hal lain yang ingin saya tanyakan,’ jawab Ratih lagi.

‘Tentang apa?’ tanya Imran.

‘Tentang Minang. Tentang kebiasaan orang Minang. Boleh?’

Mereka sudah sampai di depan rumah kontrakan Imran.

‘Boleh saja. Tentang kebiasaan orang Minang yang mana?’

‘Kak Imran nggak sedang capek?’

‘Ndak. Saya santai-santai saja. Mungkin Ratih justru yang kecapekan. Kayaknya dari acara ospek, ya?’

‘Saya juga nggak capek kok. Barusan sedikit olah raga berjalan kaki dari Dago. Tapi benar. Ratih nggak apa-apa. Apa boleh bertanyanya sekarang?’

‘Boleh. Kalau mau, mari kita ngobrol di dalam,’ ajak Imran.

Ratih mengangguk.

‘Yang mau Ratih tanyakan ini berdasarkan cerita benaran. Ada teman, orang Padang, yang bilang bahwa di Minangkabau harta warisan adat adalah milik perempuan. Seperti rumah adat, sawah ladang, semua adalah milik perempuan. Ratih menanyakannya ke uci. Tapi uci tidak mau menjelaskan. Beliau bilang harta di kampung itu bermasalah. Ratih tanyakan apa masalahnya. Beliau tidak mau menjelaskan, selain mengatakan bahwa uci tidak pernah mau memikirkan harta yang tinggal di kampung itu. Terus, Ratih tanya siapa yang mengurusnya? Beliau bilang diurus sama saudara-saudara uci yang masih tinggal di kampung. Pertanyaan Ratih, bagaimana sebenarnya pengaturan harta di Minang sana?’

Imran tidak bisa segera menjawab. Ini bukan pertanyaan yang mudah menjawabnya. Dia pernah mendengar perdebatan di mesjid. Perdebatan antara orang-orang dewasa waktu dia masih murid SMP dulu di kampung. Ada yang mengatakan bahwa menurut hukum Islam harta itu diwariskan kepada anak-anak dengan bagian untuk anak laki-laki lebih banyak dari pada bagian anak perempuan. Sedangkan di kampung, betul seperti yang ditanyakan Ratih, harta itu diatur dan diurus oleh kaum wanita. Apakah itu yang dimaksud neneknya Ratih bahwa harta di kampung itu bermasalah?

‘Kenapa timbul pertanyaan seperti itu?’ tanya Imran setelah hening beberapa saat.

‘Ratih bercerita kepada teman yang orang Padang, seperti kak Imran katakan bahwa menurut sistim adat Minang, Ratih adalah orang Minang. Lalu dia bercerita, kalau di Padang, maksudnya di negeri Minang, orang wanita yang memiliki harta pusaka adat. Berarti Ratih juga mempunyai harta di Minang sana. Begitu katanya. Pertanyaan awalnya, apakah benar demikian. Ratih bertanya ke uci. Nggak tahunya jawaban uci seperti itu. Makanya Ratih ingin tahu penjelasan dari kak Imran yang tentu lebih tahu....’

‘Saya ndak tahu juga harus menjawab bagaimana. Kenyataannya memang harta pusaka, apakah itu sawah, kebun dan rumah itu dimiliki kaum wanita.’

‘Jadi orang laki-laki disana tidak punya harta?’

‘Punya. Kalau dia bekerja atau berdagang, maka orang laki-laki mempunyai hasil yang dia peroleh dari pekerjaannya atau dari perdagangannya.’

‘Jadi maksudnya?’

‘Maksudnya....... Sawah atau kebun atau rumah yang bukan dibeli atau diusahakan oleh orang laki-laki, memang dimiliki oleh orang perempuan. Tapi hasil perolehan laki-laki dari usahanya sendiri, misalnya karena perdagangannya, dia beli mobil atau dia buat rumah, setahu saya itu adalah hartanya. Miliknya.’

‘Kok begitu ya?’

‘Itu saya tidak tahu. Tapi memang begitu...’

‘Kalau orang tua meninggal, kepada siapa harta itu diberikan?’

‘Harta yang mana?’

‘Harta seperti sawah ladang tadi itu.’

‘Dimiliki oleh anak-anak perempuan lagi.’

‘Kalau tidak ada anak perempuan? Seperti kak Imran, katanya kakak tidak punya saudara perempuan?’

‘Saya tidak tahu tepatnya. Kalau saya tidak salah, harta itu akan jadi milik saudara sepupu saya yang perempuan. Jadi bukan kepada saya. Kenapa demikian? Entahlah. Saya belum mempunyai pengetahuan tentang itu.’

‘Aneh sekali ya?’

‘Mungkin kamu benar. Mungkin cara seperti itu memang aneh. Tapi saya benar-benar tidak tahu jawabannya.’

‘Bagaimana dengan harta yang ditinggalkan ayah? Seandainya ada?’

‘Ditinggalkan untuk anak. Saya bisa mengatakan begitu karena sepeda peninggalan ayah saya, tidak ada yang protes. Saya yang mewarisi dan menggunakannya di kampung.’

‘Satu pertanyaan lagi, kak. Benarkah orang wanita di kampung tinggal berkelompok sesama saudara perempuan? Di satu rumah yang sama. Atau kalaupun rumahnya berbeda masih di pekarangan yang sama? Lalu suami mereka yang datang ke rumah perempuan itu? Apa benar demikian?’

‘Benar.’

‘Jadi bukan istri ikut ke rumah suami?’

‘Suami kan tidak punya rumah.’

‘Lah. Katanya kalau suaminya berusaha, punya penghasilan, dia buat rumah, atau dia beli kendaraan. Semuanya jadi milik laki-laki. Milik si suami. Apa istrinya tidak dibawa ke rumah yang dibangunnya sendiri itu?’

‘Pertanyaanmu sulit-sulit. Kalau seorang laki-laki membangun rumahpun, biasanya dibangunnya di lingkungan tempat tinggal istrinya.’

‘Ooo..... Jadi begitu ya, kak.’

‘Yang saya ceritakan hanya yang saya lihat dan saya ketahui. Tapi saya tidak punya cukup pengetahuan untuk menjelaskannya secara lebih jelas.’

‘Baiklah, kak...... Itulah yang ingin Ratih tanyakan sejak lebih sebulan yang lalu.’

‘Kenapa tidak menanyakannya ke Syahrul?’

‘Pertama, karena awal ceritanya Ratih dapatkan dari kak Imran. Kedua, karena kak Syahrul orangnya agak pendiam. Ratih belum pernah ngobrol berdua saja dengannya. Malu mau bertanya sama kak Syahrul.’

‘Keterangan saya tidak menjawab semua pertanyaan.’

‘Ada pertanyaan terakhir, kak.’

‘Apa itu?’

‘Masih adakah sekarang di Minang anak-anak muda dijodoh-jodohkan?’

‘Mungkin saja. Saya rasa itu bukan hanya di Minang. Dimana-mana ada saja orang tua yang menjodoh-jodohkan anak-anaknya. Kenapa?’

‘Kalau kak Imran........ Sudah dijodohkan juga?’

‘Kok pertanyaannya jadi kesana?’

Muka ratih memerah ditanya balik seperti itu.

‘Maaf kalau pertanyaannya lancang. Ratih hanya sekedar bertanya....’

‘Saya tidak merasa dijodoh-jodohkan.’

‘Ya baiklah, kak. Terima kasih banyak atas penjelasan-penjelasan kak Imran tadi. Maaf kalau ada salah-salah kata. Ratih pamit dulu....’


*****

No comments: