Sunday, January 13, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (10)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (10)

10. PECAH

Suasana semakin mencekam saja. Sesudah terbakarnya dapur Siti Zahara, hari demi hari tambah menegangkan. Benar bahwa kegiatan ronda malam sudah ditingkatkan, tapi macam-macam pula yang terjadi sekarang. Sering rumah orang-orang tertentu dilempari tengah malam. Berdentang-dentang bunyi atap seng dilempari batu sebesar tinju. Yang punya rumah bangun, diguguhnya tong-tong, datang orang ronda. Tapi yang melemparkan batu entah sudah kemana lari. Tangga mesjid sudah beberapa kali dilumuri orang dengan najis, dengan cirik. Orang yang sudah berwudu mau masuk ke dalam mesjid, terinjak ‘barang lunak’ dan baunya menguap sesudah itu.

Ke dalam surau tempat anak-anak mengaji dimasukkan orang anjing yang diikat dengan rantai. Karena pintu surau itu mudah membukanya. Dimasukkannya anjing dan diletakkannya makanan sehingga anjing itu tenang saja. Siang hari waktu guru mengaji masuk dengan murid-muridnya, anjing itu menyalak.

Yang paling mengenaskan, seorang wanita tua yang akan pergi sembahyang subuh, berjalan di pinggir kolam mesjid, disikut oleh orang berkelumun kain sarung bertopi sebo sehingga terpelanting masuk kolam. Alhamdulillah dia tidak apa-apa, kecuali basah kuyup. Tidak jadi sembahyang subuh. Wanita tua itu ketua Aisyiah di kampung.

Singkat cerita rakyat sekarang diteror. Yang jadi korban umumnya orang-orang tertentu. Kalau ditarik garis, sepertinya ada hubungan antara orang yang kena teror dengan orang yang berani bersuara lantang melawan PKI. Orang yang berani berdebat dan menyinggung martabat PKI langsung mengalami teror. Rumahnya dilempari batu. Ini yang paling umum. Rumah Mantari Gobah sudah jadi langganan. Hebatnya, ketika Mantari Gobah mencoba mengintip diam-diam, sengaja dia berangin-angin di tengah malam, bersembunyi menantikan orang yang akan melempar rumah istrinya, tidak ada kejadian. Dua hari dia diam-diam meronda, tidak terjadi apa-apa. Hari ketiga dia beristirahat, menjelang tengah malam bunyi atap seng rumah itu kembali berdengkang-dengkang dilempari orang. Seolah-olah si pelaku itu tahu benar kapan Mantari Gobah lengah, barulah dia bertingkah.

Sebenarnya penduduk tahu siapa-siapa saja orang PKI di kampung itu. Induk angkangnya siapa lagi kalau bukan Datuk Rajo Bamegomego. Tapi dia ini sudah orang tua, rasanya tidak mungkinlah dia yang akan turun tangan meneror. Ada satu orang yang agak dicurigai masyarakat, seorang mantan anggota OPR, tentara bentukan APRI ketika perang PRRI. Orangnya memang masak mentah, beringas. Tapi ada pula alibinya. Dia lebih banyak berada di rumah istrinya di kampung lain yang cukup jauh dari kampung ini. Ada dua orang lagi yang biasa menemani engku Datuk dan memang dikenal sebagai orang PKI. Tapi orang ini agak bodoh dan lamban. Tidak ada yang yakin bahwa kedua orang ini yang membuat teror. Itulah yang rumit. Jadi siapa sipembuat onar ini sebenarnya? Atau mungkinkah orang dari kampung lain? Itupun sulit pula diterima akal. Bagaimana dia dapat mengetahui sasaran yang akan di teror dengan begitu tepat?

Suasana mencekam di kampung itu sudah pernah dilaporkan ke polisi dan tentara di kantor kecamatan, tapi keduanya sama saja nasihatnya. Tingkatkan penjagaan dengan ronda malam. Hati-hati dengan api di tungku, periksa benar sebelum tidur. Begitu pula hati-hati dengan lampu minyak tanah. Hanya itu saja nasihatnya. Sekali-sekali datang polisi berpatroli, senja hari. Padahal kejadian teror biasanya lewat tengah malam.

Begitulah suasana di kampung kala itu. Lebih dari cukup untuk membuat resah. Sebenarnya perbuatan teror itu semata-mata perang urat syaraf saja. Kecuali rumah Siti Zahara yang nyaris habis terpanggang, gangguan lain belum ada atau tidak ada yang fatal. Seperti melempari rumah dengan batu di tengah malam, mengotori tangga mesjid, mengganggu orang yang akan pergi ke mesjid. Semua kejadian pasti malam hari, bahkan di sekitar tengah malam sampai menjelang subuh. Tidak pernah siang hari atau waktu masih senja.

Siang hari kehidupan berjalan biasa-biasa saja. Lepau kopi tetap dikunjungi orang dan tetap ramai di sore hari. Mantari Gobah bukannya jadi takut karena rumah istrinya jadi langganan teror. Malahan semakin lantang suaranya setiap berdebat dengan Datuk Rajo Bamegomego.

‘Masih sering juga rumah istrimu dilempar orang tengah malam, Gobah,’ tanya Khaidir Malin Basa.

‘Masih,’ jawab Mantari Gobah singkat.

‘Aku dengar pernah kau rondai sendiri. Kau nantikan si pembuat onar itu. Benar?’

‘Benar. Tidak ada dia datang.’

‘Tidak takut kau?’ tanya Katik Sati.

‘Apa yang akan ditakutkan? Buktinya mereka juga orang-orang penakut. Orang gedang serawar,’ jawab Mantari Gobah.

‘Huh, hebat. Besar juga nyali kau Gobah,’ ujar Datuk Rajo Bamegomego.

‘Begitu buktinya engku Datuk. Siapapun orang-orang itu. Itu adalah orang-orang gedang serawar, pengecut. Beraninya hanya membuat teror. Beraninya berbuat sembunyi-sembunyi. Melempari rumah orang tengah malam, membakar rumah orang tengah malam. Kalau memang berani, keluar siang-siang begini. Buat perkara siang-siang begini. Baru jantan namanya itu,’ jawab Gobah.

‘Huh. Akan datang masanya Gobah. Akan datang masanya. Orang-orang seperti kau ini didatangi orang-orang revolusioner terang-terangan. Boleh kau terampun-ampun kala itu nanti,’ ujar engku Datuk.

‘Kenapa mesti menunggu? Kalau seandainya engku Datuk tahu orangnya, suruhlah dia datang sekarang-sekarang. Saya ini apa yang akan saya takutkan. Nyawa saya nyawa berlebih sisa perang kemarin. Dan saya, kalau dapat orang itu, siapapun dia, akan saya patahkan tangannya,’ Mantari Gobah mulai naik pasang.

‘Kalau aku tahu orangnya? Kalau aku tahu orangnya aku perkenalkan kau kepadanya,’ jawab engku Datuk. Entah apa maksudnya.

‘Kalau dipikir-pikir ini memang perang urat syaraf saja. Ada usaha untuk menakut-nakuti masyarakat. Entah apa tujuannya sesudah itu,’ Katik Sati berkomentar.

‘Betul. Itu hanya usaha menakut-nakuti masyarakat. Dan yang diteror orang-orang yang tertentu pula. Orang-orang yang dekat ke mesjid atau orang-orang yang sering berdebat di lepau ini,’ Mantari Gobah menambahkan.

‘Orang-orang yang berdebat di lepau ini belum tentu pula semua. Rumah anakku sudah pernah dilempari orang itu, begitu pula rumah anakmu. Rumah Malin Basa juga, bukan ?’ kata Katik Sati.

Khaidir Malin Basa mengangguk.

‘Ya iyalah. Rumah anak engku Datuk mana pula akan dilemparinya,’ Mantari Gobah menambahkan dengan sedikit menyindir.

‘Rumah anakku siapa pula yang akan berani melempari he..he..he,’ kata Datuk Rajo Bamegomego sambil tertawa menyeringai.

‘Tapi aku yakin, suatu saat si tukang lempar batu sembunyi tangan ini akan tertangkap juga,’ kata Mantari Gobah.

‘Dan kalau tertangkap kau patahkan tangannya?’ tanya engku Datuk.

‘Kalau tertangkap olehku, kupatahkan tangannya,’ jawab Mantari Gobah mantap.

‘Tidak percuma kau bekas tentara PRRI,’ kata engku Datuk.

‘Ya, tidak percuma. Dan aku tentara PRRI yang bertahan sampai perang selesai. Sudah dua kali aku ikut perang bersosoh. Sudah dua kali nyawaku hampir hilang. Jadi yang ada sekarang sisa nyawa saja lagi. Makanya aku tidak takut.’

‘Bagus itu. Siapa tahu pada saatnya bersobok betul kau dengan lawan yang setanding.’

‘Aku tunggu, engku Datuk. Aku tunggu. Biarlah sama di dengar angin, mudah-mudahan sampai tantanganku ini. Aku tunggu manusia jelatang kampung ini kapan saja. ’

***

Sejak kegiatan ronda malam lebih ditingkatkan lepau simpang dibuka sampai larut malam. Orang yang tidak sedang giliran rondapun senang duduk-duduk sambil mendengarkan radio transistor milik orang lepau. Transistor yang suaranya sayup-sayup sampai. Tidak banyak orang yang punya radio transistor di kampung ini. Salah satunya adalah orang lepau ini.

Sudah beberapa malam Datuk Rajo Bamegomego ikut bertahan di lepau ini mendengarkan radio. Dan dia minta agar yang didengar hanya RRI pusat saja. Siaran RRI isinya sebahagian besar adalah berita pengganyangan Malaysia dan ulasan beritanya, atau pidato-pidato Bung Karno entah pada kesempatan apapun.

Tapi malam itu agak berbeda. RRI banyak memutar lagu-lagu mars. Lagu Maju Tak Gentar, lagu Nasakom, lagu ganyang Malaysia. Hampir tidak ada berita apa-apa. Datuk Rajo Bamegomego terlihat agak berbeda dari biasanya. Dia terlihat gelisah. Sampai jauh malam, ketika orang lepau mau menutup lepau, tetap tidak ada berita apa-apa. Engku Datuk baru pulang setelah larut malam itu.

Keesokan harinya, orang-orang kembali berkumpul di lepau. Orang lepau bercerita, sepertinya telah terjadi sebuah peristiwa pagi itu di Jakarta. Begitu yang dia dengar di radio. Hanya beritanya tidak terlalu jelas. Samar-samar terdengar bahwa ada korban tentara-tentara yang terbunuh di Jakarta. Datuk Rajo Bamegomego yang juga hadir ikut mendengar berita. Masih sempat dia berkomentar bahwa kelihatannya mesin revolusi yang sangat besar itu sudah dinyalakan di Jakarta dan gelindingnya akan segera sampai ke daerah-daerah.

Ternyata berita itu semakin jelas. Malam hari itu RRI sudah kembali mengudara dan menurut berita telah terjadi sebuah usaha perebutan kekuasaan. Akan tetapi presiden Soekarno selamat dan dalam keadaan sehat. Enam orang jenderal TNI terkorban secara mengenaskan. Pelaku kudeta itu sedang ditumpas oleh tentara. Siapa yang melakukan perebutan kekuasaan masih samar-samar. Beberapa hari sesudah itu orang baru berbicara bahwa dalang kudeta itu adalah PKI.

Hah? PKI? PKI melakukan kudeta? Apakah ini yang dimaksud Datuk Rajo Bamegomego sebagai roda revolusi yang mulai menggelinding? Kalau benar demikian, maka sepertinya PKI tidaklah diatas angin sementara ini. Karena usaha kudeta itu sendiri ternyata dapat digagalkan. Dan sisa-sisa gerakan itu sedang ditumpas di Jakarta.

Selama dua hari Datuk Rajo Bamegomego tidak ada di kampung. Dia pergi ke Bukit Tinggi dan terus ke Padang untuk mencari informasi. Pulang dari Padang terjadi perubahan drastis atas diri engku Datuk. Serta merta hilang nada suara jumawanya. Bahkan kalaupun masih sama duduk di lepau tidak banyak lagi bicaranya. Kumis beranting berwarna kelabu itupun sepertinya agak layu sekarang. Matanya tidak segarang biasanya.

‘Kemana menghilang saja dua hari ini, engku Datuk?’ tanya Mantari Gobah.

‘Aku ke Padang menyilau anak,’ jawab engku Datuk tanpa gairah.

‘Menyilau anak atau mencari berita, engku?’ tanyanya pula.

‘Menyilau anak. Anakku sakit.’

‘Tidak sekalian pergi rapat? Bagaimana kabar roda revolusi, engku Datuk?’ Mantari Gobah terus mencecar.

‘Belum ada kabar. Belum ada kejelasan,’ jawabnya pula.

‘Tapi kata radio sudah jelas. Orang-orang PKI membuat onar di Jakarta dan sedang ditumpas. Kabarnya pula ketua besar PKI sudah menghilang dari Jakarta. Apa menemui dia engku di Padang?’ tanya Mantari Gobah bersemangat.

‘Belum tentu benar berita itu. Tunggulah dahulu. Kita lihat sebentar lagi. Nanti akan terbuka juga kejadian sebenarnya.’

‘Jadi menurut engku Datuk, masih harus kita tunggu roda revolusi itu bergulir? Roda revolusi yang akan menghancurkan musuh-musuh revolusi itu? ’

‘Tunggu sajalah Gobah. Tunggu sajalah dulu. Maaf aku kurang sehat sejak di Padang kemarin. Nantilah kita sambung cerita.’

Engku Datuk beranjak meninggalkan lepau. Belum pernah terjadi seperti ini. Biasanya orang lain yang mengalah. Orang lain yang keluar dari lepau kalau debat sudah terlanjur panas. Tapi sekali ini lain. Hanya ditanyakan hal-hal sederhana seperti itu saja engku Datuk sudah keletihan. Atau boleh jadi dia sakit ? Ah, selama ini tidak pernah dia mengeluh sakit. Memang berbeda sekarang. Datuk Rajo Bamegomego yang selama ini tuhuk-tahan, kali ini sepertinya sinarus. Yang selama ini seperti tidak ada matinya, kali ini terlihat loyo. Benar-benar sudah berakhirkah riwayat partainya?

Ada satu lagi yang tiba-tiba berubah. Tiba-tiba tidak ada lagi orang mengguguh tong-tong tengah malam karena rumahnya dilempari batu. Sudah tiga hari ini berturut-turut. Sudah amankah nagari dari teror? Namun atas saran wali nagari, kewaspadaan tetap harus dijaga. Ronda malam tetap harus dilakukan dengan penuh kesiagaan.

Suasana memang berubah dari sehari ke sehari. Berita tentang kudeta itu semakin jelas. Koran-koran menyebutnya sebagai pemberontakan Gestapu PKI. Gerakan tiga puluh September PKI. Rupanya tanggal 30 September itu PKI menghidupkan mesin besar revolusinya, seperti yang selalu digembar-gemborkan dan dinanti-nanti Datuk Rajo Bamegomego. Dan rupanya roda revolusi itu tidak berjalan sebagaimana yang mereka harapkan.

Datuk Rajo Bamegomego sekarang jarang hadir ke lepau. Dia ada di rumah anaknya, tapi lebih banyak bermenung saja. Roman mukanya semakin lusuh. Di rumahpun dia tidak seperti biasanya lagi. Selama ini Datuk yang satu ini memang terkenal penaik darah. Pemarah dan suka bercarut. Orang lain yang gelinggaman mendengarnya. Padahal dia penghulu adat.


*****

No comments: