Sunday, December 7, 2008

SANG AMANAH (86)

(86)

Edwin melemparkan bola itu ke arah ring yang jaraknya sekitar enam meter pula. Bola itu masuk dengan sangat baik. Sebagian anak-anak yang sedang beristirahat mendinginkan badan di pinggir lapangan bertepuk melihat tembakan Edwin yang hebat.

‘Kamu masih tetap hebat. Berminat ikut memperkuat tim?’ tanya pak Hardjono.

‘Saya sudah lama tidak latihan pak. Saya rasa sementara ini biar saya jadi supporter saja pak,’ jawab Edwin merendah.

‘Kenapa? Kamu tidak berminat?’

‘Berminat sih pak. Tapi saya lihat teman-teman sudah sangat kompak. Kalau saya ikut nanti kekompakan mereka bisa terganggu,’ jawab Edwin.

‘Oh begitu. Jadi kamu khawatir dengan teman-temanmu. Tapi tidak ada salahnya ikut latihan, kalau kamu mau,’ ujar pak Hardjono.

Edwin tidak menjawab. Kelihatannya tawaran pak Hardjono mengajaknya ikut berlatih tidaklah berlebih-lebihan. Hal itu semata-mata dikarenakan pak Hardjono mengetahui bahwa dia dulu adalah salah seorang pemain basket yang baik di SMU 369. Tapi seandainya dia ikut, dia khawatir ada di antara teman-temannya ini akan menolak keikutsertaannya.

Di antara anak-anak yang ikut latihan itu ada yang tidak suka kalau Edwin disisipkan menjadi anggota tim mereka. Mereka tidak suka kalau anak yang baru masuk kembali itu diikutsertakan dalam kompetisi mendatang ini. Iwan termasuk di dalam kelompok ini. Pak Hardjono sebenarnya memahami bahwa mengajak Edwin bergabung sekarang dalam tim yang sudah disiapkan sejak beberapa bulan yang lalu, tidaklah bijaksana. Tapi dia ingin menunjukkan kepada anak-anak yang ikut latihan itu bahwa teman mereka yang sudah diterima kembali di sekolah ini, dulunya adalah seorang pemain basket yang baik.

‘Kalian masih ingat kan, kalau Edwin dulu adalah anggota tim inti sekolah?’ tanya pak Hardjono berbasa-basi ke arah anak-anak yang duduk di pinggir lapangan.

‘Iya sih pak. Tapi itu kan dulu,’ Iwan menjawab sekenanya. Cukup untuk menunjukkan bahwa dia tidak menyukai Edwin.

Pak Hardjono hanya tersenyum. Rupanya Iwan tidak berharap Edwin dilibatkan lagi dalam tim yang sekarang. Tentu saja pak Hardjono tidak ingin memaksakan untuk melibatkan Edwin dalam kompetisi yang akan datang.

Mereka masih ngobrol-ngobrol sampai terdengar azan maghrib. Pak Hardjono dan anak-anak itu bangkit dari duduk mereka. Yang cukup mengherankan Edwin, ternyata sebagian besar mereka menuju ke mesjid sekolah dan bersiap-siap untuk shalat. Edwinpun ikut menuju mesjid sekolah.

Semua shalat berjemaah. Pak Hardjono yang jadi imam. Sesudah shalat barulah mereka bersiap-siap untuk pulang. Pak Hardjono menawari Edwin ikut bersamanya karena dia pulang ke arah yang sama.


*****


Dua orang polisi dari polsek Tebet datang ke SMU 369 jam setengah sepuluh pagi ini. Kedua polisi itu masing-masing adalah sersan Muroji dan sersan Taufik. Mereka ditemani mas Hendro, mandor di pompa bensin di jalan Prof. Dr. Saharjo. Waktu itu persis jam istirahat. Murid SMU 369 sedang ramai di seantero pekarangan sekolah. Banyak murid-murid yang melihat kedatangan kedua polisi itu. Sebagian besar tidak terlalu perduli, karena sudah beberapa kali memang ada saja polisi berkunjung ke sekolah ini. Samsul melihat mas Hendro lalu menghampirinya dan bertanya.

‘Mau ketemu siapa mas?’ tanyanya.

‘Bapak-bapak ini mau ketemu Edwin tapi mau ketemu kepala sekolah dulu,’ jawab mas Hendro. ‘Kantor kepala sekolah di belah mana?’ tanya mas Hendro pula.

‘Itu yang di sana mas. Itu kantor guru-guru. Dan kantor kepala sekolah di sana juga tapi terpisah di dalam,’ Samsul menunjukkan.

Ketiga orang itu menuju ke arah yang ditunjukkan Samsul. Pak Mursyid yang kebetulan sedang berdiri dekat pintu kantor memperhatikan kedatangan dua polisi dan satu orang berpakaian sipil itu. Sersan Murodji memberi hormat kepada pak Mursyid serta memberi tahu maksud kedatangannya ingin berjumpa dengan pak kepala sekolah. Pak Mursyid mempersilahkan tamu-tamu itu menunggu sementara dia memanggil seorang murid dan menyuruhnya mencari pak Umar. Murid itu, Raflis segera pergi mencari pak Umar.

Seperti biasa, pak Umar sedang berkeliling pekarangan mengawasi anak-anak yang sedang beristirahat. Kebiasaan yang hampir tidak pernah luput dalam ke seharian pak Umar. Dengan kebiasaan ini, alhamdulillah, ketertiban di sekolah ini jadi lebih baik.

Raflis menemukan pak Umar dekat mesjid sekolah. Pak Umar rupanya baru saja mengerjakan shalat dhuha. Raflis memberitahu bahwa ada dua orang polisi sedang menunggu beliau di kantor guru. Pak Umar bergegas menuju kantor. Beberapa orang murid yang berada dekat itu mendengar bahwa ada polisi ingin bertemu pak Umar, bertanya kepada Raflis. Raflis tidak tahu apa urusan polisi itu. Mereka yang ingin tahu ini diam-diam mengiringi pak Umar ke arah kantor guru dengan maksud ingin mendengarkan apa yang terjadi.

Pak Umar menyalami ketiga orang itu dan mengajaknya masuk ke kantornya lalu menanyakan maksud kedatangan mereka.

‘Apa yang bisa saya bantu, bapak-bapak?’ tanya pak Umar.

‘Begini pak. Sebelumnya kami mohon maaf, karena merepotkan bapak. Kami ingin bertemu dengan murid bapak yang bernama Edwin,’ ujar sersan Murodji.

‘Oh, ya? Ada keperluan apa kalau boleh saya tahu?’ tanya pak Umar agak kaget.

‘Kami ingin mengkonfirmasi sebuah berita dimana saudara Edwin ini menurut informasi menjadi saksi atas sebuah kejadian,’ jawab sersan itu.

‘Maksudnya, apa dia mau dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi begitu?’ pak Umar kembali bertanya.

‘Tidak, pak. Tidak perlu. Cukup kalau kami boleh bertemu di sini. Bahkan bapak boleh menyaksikan kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu.’

‘Oh ya? Baiklah kalau begitu. Biar saya suruh panggil dulu dia sebentar,’ ujar pak Umar sambil berdiri.

Lonceng masuk berbunyi. Guru-guru bersiap menuju kelas masing-masing. Pak Umar menitip pesan ke ibu Sofni yang akan mengajar di kelas dua C untuk menyuruh Edwin datang ke kantornya. Guru-guru lain yang mendengar jadi ikut bertanya-tanya dalam hati mereka. Ada urusan apa Edwin dengan polisi-polisi itu? Tapi tidak ada yang bertanya. Mereka satu persatu keluar dari ruangan guru.

Ibu Sofni memberitahu Edwin untuk menemui kepala sekolah di kantornya serta mengingatkan bahwa ada polisi di kantor pak Umar. Ibu Sofni menanyakan apa urusan polisi itu dengan Edwin yang dijawabnya bahwa dia tidak tahu. Edwin bergegas keluar menuju kantor pak Umar. Kelas jadi agak berisik setelah dia keluar itu.

Ada apa? Edwin yang baru dua hari kembali sekolah, sesudah kasus yang menyebabkan dia dikeluarkan tahun lalu, lalu sekarang didatangi polisi. Ada apa dengan anak itu?

Iwan yang duduk sebangku dengan Anto berbisik kepada Anto.

‘Gue rasa…gue rasa nih,’ ujarnya dengan nada menuduh.

Anto tidak mau melayani. Ibu Sofni minta agar murid-murid tenang dan ia segera memulai pelajaran.


*****


Edwin mengetuk pintu ruangan pak Umar. Dia disuruh masuk. Edwin melihat mas Hendro di antara tamu-tamu itu. Mas Hendro tersenyum kepadanya.

‘Ambil sebuah kursi di kantor guru di sebelah dan bawa kemari Edwin!’ ujar pak Umar.

Edwin mengambilnya dan pak Umar menyuruhnya duduk di kursi yang diambilnya itu.

‘Edwin. Bapak-bapak ini ingin bertanya kepada kamu. Silahkan bapak-bapak,’ pak Umar mempersilahkan kedua polisi itu.

Sersan Murodji yang mulai bertanya.

‘Begini saudara Edwin. Saya langsung ke masalahnya saja. Apakah benar bahwa saudara Edwin menyaksikan kecelakaan lalu lintas di jalan Prof. Dr. Saharjo pada hari Selasa malam minggu lalu sekitar jam sebelas malam?’

‘Benar, pak,’ jawab Edwin pendek. Dia langsung merasa lega.

‘Benarkah bahwa saudara Edwin menolong korban yang celaka dalam mobil yang menabrak dan terguling waktu itu?’

‘Benar, pak.’

‘Dengan berapa orang saudara Edwin menolong mereka itu?’

‘Bertiga pak. Dengan seorang sopir taksi dan teman saya bekerja di pompa bensin, Mansur namanya lalu saya sendiri,’ jawab Edwin.

‘Berapa orang di dalam mobil yang mengalami kecelakaan itu?’

‘Dua orang pak,’ jawab Edwin.

‘Dan yang satu orang saudara keluarkan lalu diantar ke rumah sakit bersama taksi, benar begitu?’

‘Benar, pak.’

‘Yang seorang lagi bagaimana keadaannya waktu itu?’

‘Menurut sopir taksi, yang seorang lagi itu sudah meninggal. Jadi tidak kami keluarkan,’ jawab Edwin.

‘Saudara yakin bahwa dia sudah meninggal waktu itu?’

‘Saya tidak tahu persis, pak. Sebab yang lebih berinisiatif membantu dan memeriksa korban waktu itu adalah sopir taksi itu, pak. ‘

‘Saudara bersama-sama sopir taksi dengan menggunakan taksinya membawa korban yang luka-luka tapi masih hidup ke rumah sakit Keluarga Sejahtera Jatinegara dan meninggalkan korban satunya tetap di mobil?’

‘Betul pak. Tapi teman saya Mansur segera menghubungi kantor polisi dan ambulan sesudah itu. Mansur tinggal di dekat tempat kejadian itu dan tidak ikut ke rumah sakit.’

‘Kenapa yang seorang lagi itu tidak segera dikeluarkan?’

‘Karena dia sudah meninggal, untuk mengeluarkannya perlu waktu agak lama karena mobil itu ringsek sekali dan wanita itu dalam posisi terjepit. Sementara yang satunya perlu segera mendapat pertolongan. Itu saja alasannya pak.’

‘Baiklah kalau begitu. Jadi begini, maksud kami hanya ingin mencocokkan berita dari teman saudara serta sopir taksi itu. Ternyata semua cerita itu cocok. Kami berterima kasih sekali kepada saudara Edwin. Begitu juga kepada bapak kepala sekolah. Sekali lagi kami mohon maaf, telah mengganggu. Dan kami ucapkan terima kasih banyak,’ ujar sersan Murodji mengakhiri tanya jawab itu.

Kedua polisi itu berikut mas Hendro segera pamit dan berlalu dari sekolah. Pak Umar menyuruh Edwin kembali ke kelas. Pak Umarpun merasa sangat lega setelah mendengar cerita tadi.

Setelah Edwin kembali ke kelasnya, ibu Sofni menyuruhnya duduk lalu menanyakan apa yang terjadi.

‘Apa polisi tadi menenyakan sesuatu kepadamu, Edwin?’ tanya ibu Sofni.

‘Benar, buk,’ jawab Edwin.

‘Tentang apa?’ tanya ibu Sofni lagi.

‘Tentang kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Tebet seminggu yang lalu, buk.’

‘Bisa kamu ceritakan sedikit? Ibu yakin teman-temanmu ini juga ingin tahu ceritanya. Biar mereka mendengar dari kamu langsung.’

‘Baik buk. Hari Selasa malam minggu lalu saya menyaksikan kecelakaan tabrakan mobil di Tebet, dekat tempat saya bekerja. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak mobil yang sedang berhenti karena menunggu mau berbelok sesudah keluar dari pompa bensin. Di mobil yang menabrak itu ada dua orang. Akibat tabrakan itu, yang satu orang luka-luka dan yang satunya meninggal. Saya bersama seorang teman saya yang bekerja di pompa bensin serta seorang sopir taksi menolong korban kecelakaan itu. Yang luka-luka kami keluarkan dan kami bawa ke rumah sakit. Saya dan sopir taksi itu yang mengantarkan. Teman saya menelpon polisi dan ambulan untuk mengurus yang sudah meninggal dan terjepit dalam mobil. Bapak polisi tadi datang untuk mencocokkan keterangan sopir taksi dan teman saya di pompa bensin itu dengan keterangan saya sendiri tentang korban yang meninggal itu. Serta alasan kenapa kami tidak segera menolong mengeluarkannya juga. Begitu cerita ringkasnya buk.’

Murid-murid terdiam mendengar cerita Edwin. Ibu Sofni juga. Tapi akhirnya ibu Sofni bertanya.

‘Kamu menyaksikan terjadinya kecelakaan itu ?’

‘Benar, buk. Saya sedang menunggu angkutan mau pulang. Waktu itu jam setengah sebelas malam. Saya melihat kecelakaan itu sejak sebelum terjadi sampai terjadi. Mobil yang menabrak itu datang dengan kecepatan tinggi dari arah Pancoran, menabrak mobil yang sedang menunggu mau berbelok itu, lalu berguling-guling di jalan,’ jawab Edwin.

‘Penumpangnya anak muda?’ tanya ibu Sofni.

‘Benar buk. Laki-laki dan perempuan. Yang selamat tapi luka-luka yang laki-laki. Yang perempuannya meninggal.’

Murid-murid, terutama yang wanita bergidik, bahkan ada yang gemetar mendengar cerita Edwin.

‘Baiklah. Jadi? Sudah selesai urusan polisi-polisi yang datang tadi?’

‘Sudah buk. Mereka sudah pergi,’ jawab Edwin.

‘Baik, kalau begitu kita lanjutkan pelajaran kita,’ ujar ibu Sofni.


*****

No comments: