Sunday, April 12, 2009

DERAI-DERAI CINTA (1)

DERAI-DERAI CINTA

Sebuah cerita fiktif. Mulai ditulis hari Ahad, 12 April 2009



1. KAMPUNG KEBUN PISANG


Inilah sebuah kampung yang elok di kaki gunung Marapi. Dengan tanah subur. Sawah-sawah terbentang luas. Dan kebun pisang yang terpelihara, terpisah dari sawah-sawah yang luas itu. Ya, kebun pisang. Bermacam-macam jenis pisang. Pisang ambon yang legit manis. Pisang raja serai yang juga legit. Pisang raja dan pisang batu yang biasa dibuat pisang goreng. Pohon-pohon pisang itu tumbuh subur. Dan pisang merupakan hasil khusus kampung ini. Seperti halnya di kampung sebelah menyebelah. Bertruk-truk pisang dari nagari ini (nagari adalah kumpulan beberapa kampung) dibawa setiap minggu ke Bukit Tinggi, untuk seterusnya disebar ke kota lain. Bahkan sampai ke Pakan Baru, ke Jambi. Ada beberapa orang toke pisang di kampung ini. Toke adalah istilah untuk pedagang pengumpul. Toke-toke yang punya truk sendiri, untuk mengangkut bertandan-tandan pisang dari kampung. Truk yang dapat digunakan pula untuk mengangkut hasil pertanian lain dari kampung-kampung tetangga.

Perekonomian rakyat nagari boleh dikatakan sangat baik. Mereka hidup berkecukupan. Sebagian besar dikarenakan usaha perdagangan pisang. Termasuk perdagangan daun pisang, perdagangan kerisik atau daun pisang yang sudah kering. Sebagian lagi hidup jadi pegawai negeri, jadi guru atau bekerja di kantor pemerintah. Ada yang di kantor kecamatan, ada yang di kantor-kantor lainnya di Bukit Tinggi. Kemakmuran penduduk tercermin dari banyaknya rumah-rumah tembok permanen. Listrik baru saja dimasukkan pemerintah kesini. Dan kampung ini terang benderang di waktu malam.

Di tengah kampung terletak sebuah mesjid besar dan megah. Di samping mesjid ada pula sekolah ibtidaiyah tempat kanak-kanak belajar mengaji. Biaya pembangunan mesjid megah itu sebagian dibantu orang rantau. Banyak anak kemenakan orang kampung ini yang berhasil di perantauan. Sayangnya mesjid yang megah itu ramainya hanya sekali se Jumat. Ditambah ketika diadakan perayaan khataman al Quran sekali setahun. Ditambah pada saat shalat tarawih di bulan puasa. Sehari-hari boleh dikatakan lengang saja. Meskipun azan selalu berkumandang melalui pengeras suara yang terletak di menaranya yang tinggi.

Ketika terlepas dari kesibukan perdagangan pisang, orang kampung lebih banyak mengisi waktu dengan kegiatan di luar mesjid. Orang dewasa menghabiskan waktu di lepau kopi sambil bermain domino dan menghotar ke hilir ke mudik. Anak-anak muda senang dengan olah raga. Terutamanya sepak bola dan voli. Ada sebuah lapangan sepak bola di kampung itu. Pertandingan antar kampung sering dilakukan di situ. Dan banyak anak-anak muda kampung yang hebat dalam bermain bola.

Karena uang banyak beredar, main domino di lepau bukanlah sekedar main domino. Biasanya ‘berimpit’. Itu istilahnya untuk bertaruh. Tidak dengan taruhan besar-besar, cukuplah dengan sebungkus rokok. Atau segelas teh telor. Orang yang punya lepau senang karena dagangannya laku. Dan bunyi batu domino itu berlapoh-lapoh diiringi gelak tawa berderai-derai. Ditingkahi sindir menyindir. Ramailah pokoknya.

Hanya domino itu sajakah jenis perjudian? Oh tidak. Malam hari, orang pergi ke dangau di pinggir batang air untuk main kartu kuning. Istilahnya ‘bakoa’. Disini taruhannya benar-benar uang. Mau yang lebih heboh? Ada juga. Namanya main kiu-kiu. Alias main poceng. Main kartu remi yang dibagikan tiga-tiga lembar lalu diuji siapa yang mempunyai angka paling tinggi. Ada seorang yang jadi bandar dalam permainan kiu-kiu. Stokar truk pengangkut pisang biasanya sering menjadi bandar karena uangnya banyak. Setiap akhir pekan dia menerima gaji. Bandar yang mengocok kartu. Seorang pemain memotong kartu itu sebelum dibagi. Begitu pula aturan mainnya. Lalu bandar membagikan kartu remi itu satu demi satu lembar berkeliling untuk masing-masing peserta. Setiap pemain meletakkan nilai taruhannya di lantai di hadapan mereka. Bandar meletakkan jumlah uang yang lebih di hadapannya.

Bandar memidik, membuka kartunya dari ketiga lembar yang dilimpit dengan pelan-pelan dan hati-hati. Untuk melihat berapa mata kartunya. Pemain lain, pemasang istilahnya, menunggu harap-harap cemas. Apakah bandar menarik nafas kecewa, bahkan ada kalanya bercarut, untuk menunjukkan bahwa nilai kartunya rendah? Setelah itu setiap pemainpun ikut memidik kartu mereka dengan hati berdebar-debar. Diiringi desahan atau kegembiraan penuh harap. Lalu setiap mereka, meletakkan kartu-kartu yang sudah dibuka itu dilantai di hadapan mereka. Bandar mematut berkeliling. Sambil menghitung. Mana yang makanan, mana yang harus dibayar. Kalau angka kartu pemain lebih tinggi dari kartu bandar, bandar harus membayar. Sebaliknya kalau kartu bandar yang nilainya lebih tinggi, uang pasangan pemain dipungutnya. Main kiu-kiu cepat menghabiskan uang. Berapa uang yang dibawa bisa habis semalam itu. Gaji sepekan stokar truk bisa ludes dalam sekejap. Yang menang bisa panen dalam semalam.

Main koa, lebih irit. Permainan ini biasanya berlarut-larut memakan waktu. Pemainnya harus berusaha melengkapi dan menyusun kesebelas kartu ceki mereka untuk menang. Ada sedikit keahlian diperlukan. Keahlian dan kejelian menghitung kartu yang tercabut sebelum menentukan di kartu mana ceki akan dipasang. Main koa biasanya permainan orang dewasa. Permainan mamak-mamak. Mereka bermain dengan bertenang. Menang dan kalah biasanya tidak terlalu mencolok. Setiap peserta bergantian memenangkan permainan. Kalah menang jarang yang berhabis-habis.

Semua perjudian itu dilakukan dengan tenang-tenang dan aman-aman saja. Yang kalah herangkanlah sendiri. Yang menang tersenyum simpul. Kalau dia mau bolehlah sekedar membayarkan minum kopi kawan yang kalah pagi keesokan hari di lepau.

Judi memang tidak dilarang. Dan judi ada di mana-mana. Di Bukit Tinggi orang menjual kode buntut terang-terangan. Sekali semusim di Bukit Tinggi, seperti halnya di kota-kota lain diadakan pasar malam. Isi pasar malam itu berbagai arena ketangkasan. Arena ketangkasan adalah nama halus bagi perjudian ala kasino. Pemain menempatkan marka, di kotak angka pilihan mereka. Marka itu adalah lembaran plastik pengganti uang dengan nilai bertingkat-tingkat. Seorang pemain melemparkan panah ke arah lingkaran angka-angka atau roulette yang berputar kencang. Tidak seorangpun yang tahu di angka berapa panah itu tertancap. Roda itu dibiarkan berhenti pelan-pelan. Barulah jelas di angka berapa panah itu menancap. Pemain yang memasang di angka itu bersorak karena segera akan panen. Yang lain mendesah kecewa. Marka pasangannya ditarik bandar. Perjudian seperti ini juga cepat menguras dompet. Tidak jarang ada orang yang menjual murah jam tangan untuk penambah pokok. Ikut lagi bermain seputar dua putar. Habis lagi. Berjudi melawan baba Medan itu bagaikan menarik batu besar dalam lumpur. Makin dikerahkan tenaga makin dalam badan terpuruk.

Bandar arena ketangkasan di pasar malam itu datang dari Medan. Pasar malam biasanya berlangsung selama sebulan. Bahkan bisa pula diperpanjang. Meskipun namanya pasar malam, arena itu dibuka juga disiang hari. Pokoknya sangat berterang-terang. Bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak. Banyak uang yang berhasil diraup bandar dari Medan itu.

Kegiatan di pasar malam itu mendapat izin resmi dari pemerintah kota. Konon, katanya bandar judi membayar pajak ke pemerintah kota dan uang pajak judi digunakan untuk memperbaiki fasilitas kebutuhan masyarakat. Anak-anak remaja dilarang masuk ke arena ketangkasan. Begitu teorinya. Ada polisi yang berjaga-jaga disitu. Tapi prakteknya anak-anak sekolah yang berjiwa preman, bebas saja ikut bermain.

Biasanya kalau ada pasar malam di Bukit Tinggi, kriminalitas meningkat. Perceraian suami istri meningkat. Bahkan seringkali jumlah orang yang bunuh diri meningkat.

Tidak adakah yang melarang? Yang menyeru agar masyarakat berhenti berjudi? Ada. Ulama, mubaligh, khatib tidak henti-hentinya menyampaikan kaji. Mengingatkan keburukan hampok alias judi. Keburukan dan nestapa yang diderita orang-orang kalah berjudi. Tapi sehebat seruan ulama, sekeras itu pula rayuan setan. Arena ketangkasan tidak pernah sepi. Belum pernah terdengar ada orang yang kaya karena berjudi. Sebaliknya sudah berpuluh beratus kasus orang yang hancur secara moril maupun materil karena judi. Namun judi tetap ramai juga.

Di kampung begitu pula. Ketika ada helat besar pasar malam di Bukit Tinggi, agak berkurang orang main. Mereka pergi ke Bukit Tinggi melawan toke judi dari Medan itu. Sama saja. Tidak pernah ada yang berhasil menangguk kemenangan. Bahkan ada pula desas-desus, baba Medan itu membawa serta jin topekong. Makanya mereka tidak pernah kalah. Sejauh ini memang belum ada yang sampai handam karam benar di kampung ini. Belum ada yang sampai menjual harta untuk dibawa ke meja judi. Tapi uang hasil perniagaan pisang, uang upah mengangkat pisang, upah melipat kerisik, gaji stokar oto prah, gaji pegawai negeri, sedikit sebanyak sudah sama-sama hanyut. Tapi mereka tidak ada yang kapok.

Kalau pasar malam usai judi di kampung kembali marak. Hampok koa atau main kiu-kiu sekurang-kurangnya sekali seminggu tetap berjalan. Sekedar untuk mengurangi kegusaran orang kampung yang tidak suka, judi itu dilakukan malam hari. Di dangau di tepi batang air atau di rumah tinggal yang tersisih di pinggir kampung.

Himbauan khatib dan ustad dari mimbar mesjid bagaikan sipongang kosong tak berbekas. Masuk di telinga kiri keluar di telinga kanan. Khatib boleh berkhotbah, ustad boleh menghimbau, tuanku boleh berpetuah, mengatakan bahwa judi itu haram, banyak mudaratnya, namun judi dan hampok tidak ada surut-surutnya.

Berapa banyak sebenarnya penduduk kampung yang terlibat perjudian? Meski tentu saja tidak semua anggota masyarakat menyukai judi, tapi jumlah yang terlibat cukup banyak. Ada kelompok anak-anak muda tanggung, biasa disebut preman cengkerik yang jadi buruh perdagangan pisang. Celakanya, ada yang masih bersekolah baik di SMP di kecamatan atau di STM di Bukit Tinggi ikut terpengaruh. Dan ada pula kelompok orang tua, toke-toke pisang, toke kerisik dan pegawai negeri. Biasanya anak-anak muda tidak mau sama duduk bermain dengan orang-orang tua. Karena perjudian orang-orang tua adalah hampok berhabis hari. Di samping rasa segan, karena yang bermain adalah mamak-mamak mereka. Tapi ada orang tua yang mau ikut bergalau di dangau anak-anak muda. Biasanya orang yang umurnya saja tua tapi wibawanya kosong di mata anak-anak muda..

Akibat maraknya judi, perbuatan kriminalitas pasti ada pula di kampung. Meskipun masih kelas maling ayam atau maling ikan di kolam. Atau pencurian pisang di kebun. Yang kemalingan pasti marah sekali. Mereka mengadu ke wali jorong, tapi tidak pernah ada hasilnya. Seolah-olah wali jorong melindungi kejahatan pencurian kecil-kecilan itu. Ketika ada yang mengadu ayamnya hilang, kata wali jorong, mungkin ayam itu ditangkap musang. Atau ketika ada yang mengadu tebat atau kolam ikannya dikacau maling, wali jorong menuduh berang-berang yang mencuri. Yang kecurian terpaksa hanya menyumpah dalam hati, tidak bisa berbuat lebih dari itu.

Pernah ada yang melaporkan sampai ke wali nagari. Wali nagari memarahi wali jorong. Tapi kemudian wali jorong balik memarahi si pelapor. Jadi kesimpulannya, kalau tidak mau ribut dengan wali jorong sebaiknya tidak usahlah melapor-lapor.


*****

No comments: