Friday, October 31, 2008

SANG AMANAH (41)

(41)


Semua itu bagai sebuah video yang diputar ulang dalam kepala Darmaji. Dan yang baru saja dijelaskan pak Umar menyentak ingatan lama itu lebih dalam lagi. Dia ingat bagaimana Rita merasa memiliki secercah harapan waktu mengetahui bahwa agama Islam membiarkan laki-laki Islam menikahi wanita Kristen. Tapi kenapa sekarang pak Umar justru mengatakan bahwa itu tidak pantas untuk dilakukan? Karena wanita Kristen yang mau menikah dengan tata cara Islam tapi tidak masuk agama Islam sama saja dengan mempermain-mainkan agama? Apa dasar pemikirannya? Darmaji selalu merasa terlalu dangkal memahami agama sehingga untuk bertanyapun dia tidak berani.

Tapi hal itu harus diceritakannya kepada Rita. Ini adalah suatu masukan baru yang sama sekali berbeda dari yang sudah mereka ketahui. Mungkin Rita berani minta penjelasan kepada pak Umar. Darmaji duduk gelisah di tempat duduknya di ruang guru menunggu kedatangan Rita. Akhirnya Rita datang juga. Darmaji memberi isyarat untuk ke ruang perpustakaan. Rita membelalakkan matanya dan dengan isyarat menunjuk ke ruangan kepala sekolah. Jelas maksudnya dia tidak mau tertangkap tangan lagi di ruangan perpustakaan itu. Darmaji, saking gugupnya, menulis di kertas, mengajak Rita untuk berbicara empat mata. Tapi dimana? Rita balas menulis, ‘bagaimana kalau kita keluar saja, naik mobil dan ngobrol di mobil?’ Darmaji setuju, dia baru akan mengajar jam sepuluh. Berarti mereka masih punya waktu sekitar tiga puluh menit. Waktu sedemikian harusnya cukup untuk menyampaikan bagian terpenting dari pembicaraan dengan pak Umar tadi. Mereka berdua menuju ke tempat parkir dan menaiki mobil Rita. Di mobil baru mereka mulai berbicara.

‘Ada apa, mas Darmaji? Kok kelihatannya gugup benar?’

‘Ya… saya tadi berdiskusi dengan pak kepala sekolah itu…tentang…’

‘Tentang hubungan kita?’

‘Ya… saya hanya punya waktu setengah jam. Apa kita berputar ke jalan Kali Malang saja?’

‘Baik mas.... tapi apa yang mas Darmaji bicarakan?’

‘Saya sebenarnya ingin minta maaf lagi di samping minta pendapat dia. Saya masih sangat malu setelah peristiwa di ruangan perpustakaan kemarin itu. Saya bercerita tentang masalah yang kita hadapi. Tapi ada satu hal yang saya kaget dari pernyataan dia. Bahwa menurut dia sebenarnya…… Sebenarnya.. perkawinan beda agama itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena itu sama saja seperti membohongi agama, katanya.’

‘Bukankah di dalam Al Quran seperti yang dijelaskan pak Darmawan ada keterangan mengatakan bahwa hal itu dibolehkan? Mas Darmaji tidak menanyakannya?’ tanya Rita.

‘Saya tidak berani berargumentasi tentang ayat Al Quran dengannya. Pasti dia lebih ahli dari saya. Cuma memang saya jadi penasaran. Apakah kamu mau mengajaknya berdiskusi juga? Maksud saya mungkin kamu sebagai orang bukan Islam meminta keterangan yang lebih jelas darinya?’

‘Boleh saja. Saya mau saja. Apa menurut mas Darmaji saya minta waktunya nanti atau kita tunggu sampai besok, karena tadi mas Darmaji sudah berbicara banyak dengannya. Siapa tahu, dia tidak ingin diganggu terus.’

‘Kamu tanya saja dulu. Seandainya dia tidak bersedia hari ini baru kamu minta waktu untuk besok atau kapan misalnya.’

‘Baik, kalau begitu. Saya akan menghadap pak Umar nanti sesudah jam istirahat pertama.’

‘Tapi…. apa yang kita harapkan sebenarnya Rit? Seandainya dia mengatakan dengan pengetahuannya bahwa memang itu tidak diperbolehkan? Seandainya diperbolehkanpun kita masih belum bisa keluar dari kebuntuan.’

‘Ada secercah harapan, sebenarnya mas Darmaji. Dari pihak saya. Saya jadi begitu nekad bercerita ke papa bahwa agama Islam ternyata mengizinkan pernikahan beda agama. Meskipun papa marah, tapi saya berhasil mengajaknya membaca ayat Al Quran itu. Dan papa membacanya. Sejak itu dia tidak berkata apa-apa. Tidak semarah sebelumnya, meski dia juga tidak menunjukkan bahwa dia setuju. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan papa. Tapi saya akan mencoba lagi. Tapi sementara itu saya juga ingin mendengarkan penjelasan pak kepala sekolah kita ini.’

‘Kamu yakin, bahwa papa kamu mungkin mau merubah pendiriannya?’

‘Saya akan mencoba. Saya akan terus mencoba.’

‘Saya… saya…. berharap… saya berdoa..mudah-mudahan kamu berhasil Rit,’ kata Darmaji terbata-bata.

‘Bagaimana dengan orang tua mas Darmaji? Maksud saya…bagaimana seandainya orang tua mas Darmaji sama sulitnya dan tidak setuju?’

‘Saya rasa kita atasi secara bertahap, Rit. Dan saya secara hati-hati akan berusaha meyakinkan orang tua saya pula.’

‘Saya rasa memang itu yang terbaik, mas. Kita sama-sama berusaha. Mudah-mudahan kita bisa keluar dari keruwetan ini.’

Mereka terdiam. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing.

‘Apa kita kembali saja ke sekolah sekarang?’ ajak Darmaji.

‘Baik,’ jawab Rita pendek.

Mereka kembali kesekolah. Rita memarkir mobil kembali di lapangan tempat parkir. Tempat parkir itu masih sepi. Anak-anak masih belum keluar untuk beristirahat. Mereka duduk membisu dalam mobil itu beberapa saat. Saling berpandangan. Dengan pikiran menerawang jauh. Mereka dikejutkan oleh bunyi bel istirahat pertama. Keduanya segera keluar dari mobil dan kembali ke ruang guru. Ruangan itu masih sepi. Darmaji memulai pembicaraan tentang hal lain agar tidak terlihat kaku.

‘Saya akan berhenti merokok mulai hari ini,’ katanya.

‘Kenapa? Gara-gara merokok sekarang dilarang di sekolah?’ tanya Rita.

‘Saya memang sudah kepingin berhenti sejak lama. Dan saat ini saya rasa waktu yang tepat untuk melaksanakannya.’

‘Kita lihat saja…. apa ini akan sungguhan atau sekedar cita-cita.’

‘Ini akan sungguhan,’ tambah Darmaji.

Pak Muslih yang kebetulan masuk, mendengar obrolan ini, ikut berkomentar.

‘Kalau mas Darmaji benar-benar berhasil berhenti merokok perlu dikasih hadiah istimewa. Setuju nggak Rit?’ katanya.

‘Setuju. Sayapun bersedia memberi hadiah seandainya berhasil. Hadiah istimewa,’ jawab Rita.

‘Waah! Benar-benar perlu diusahakan keberhasilannya nih mas Darmaji,’ tambah pak Muslih pula.

Guru-guru lainpun berdatangan. Mereka semua terlibat obrolan ‘berhenti merokok’. Diselingi ketawa terbahak-bahak waktu mereka menyindir pak Situmorang yang kelihatan sangat menderita tanpa rokok. Pak Umar yang mendengar suara riuh dengan ketawa itu ikut bergabung. Obrolan itu baru berhenti saat lonceng masuk kelas kembali berbunyi. Guru-guru itu bersiap-siap untuk pergi melaksanakan tugas mereka. Pak Umarpun kembali masuk ke ruangannya. Rita tinggal sendirian. Saat ini memang sudah ditunggunya dari tadi. Dia ingin menghadap pak Umar di ruangan kepala sekolah itu.


*****

Rita mengetuk pintu kantor pak Umar dan bertanya apakah dia boleh minta waktu untuk berdiskusi. Pak Umar memandangnya sejenak tanpa menjawab. Tapi akhirnya dia bersuara dan bertanya.

‘Masalah pribadi?’ tanya pak Umar.

‘Ya. Betul pak, masalah pribadi,’ jawab Rita.

‘Maaf…. ada hubungannya dengan saudara Darmaji atau sesuatu yang berbeda sama sekali?’ tanya pak Umar pula.

‘Ada hubungannya, pak. Saya tahu tadi pak Darmaji sudah berbicara dengan bapak. Dan saya ingin melanjutkan serta menjelaskan hal-hal lain yang ada kaitannya,’ tambah Rita pula.

‘Apakah mungkin kita membahasnya bertiga? Maksud saya… bersama-sama pak Darmaji? Bukankah itu akan lebih baik?’ tanya pak Umar pula.

‘Bapak keberatan berdiskusi berdua saja dengan saya?’ tanya Rita.

‘Begini. Kalau memang ini menyangkut…. hubungan saudara berdua, saya rasa biar lebih efektif sebaiknya kita berbicara bertiga. Atau ada hal-hal khusus yang mau dibahas yang tidak boleh diketahui saudara Darmaji?’

‘Tidak juga pak. Tapi baiklah. Kalau memang bapak bersedianya begitu. Saya akan memberi tahu pak Darmaji. Kapan bapak punya waktu?’ tanya Rita pula.

‘Saya bisa kapan saja, insya Allah. Kalau mau nanti sesudah jam pelajaran selesai juga boleh,’ usul pak Umar.

‘Baik kalau begitu pak. Dan saya permisi dulu,’ Rita mohon diri.

‘Silahkan. Dan saya tunggu nanti sesudah jam pelajaran terakhir.’


*****

No comments: