Saturday, December 12, 2009

DERAI-DERAI CINTA (36)

36. IMRAN DIRAWAT

Syahrul kembali membawa sebungkus nasi dan sebotol aqua. Di dekat Imran saat itu hanya ada Rinto. Imran masih terbaring di tempat tidur UGD. Syahrul mengambil sebuah bangku-bangku dan duduk di dekat tempat tidur itu. Dibukanya bungkusan nasi Padang itu dan dimulainya menyendokkan ke mulut Imran.

‘Jadi repot kau,’ kata Imran.

‘Sebegini ini ndak ada repotnya,’ jawab Syahrul.

‘Hebat banget persaudaraan kalian,’ Rinto menyela.

Keduanya hanya tersenyum.

‘Bagaimana kejadiannya tadi?’ tanya Syahrul.

‘Ada pengandara motor jatuh di depan angkutan yang aku tompangi. Sopir angkutan itu terkejut dan membanting stirnya ke kiri. Ndak tahunya langsung menabrak pohon,’ jawab Imran.

‘Sopir itu bagaimana?’

‘Aku lihat dia luka juga. Tapi tidak parah dan dia masih bisa keluar dari mobil. Aku sudahlah patah, pintu sebelah kiri tidak pula bisa dibuka.’

‘Jadi bagaimana caranya kau keluar?’

‘Digotong polisi sama Rinto. Mula-mula badanku ditarik polisi itu ke pintu sebelah kanan. Sesudah itu digotong mereka bertiga.’

‘Kesini diantar mobil polisi?’

‘Tidak. Diantar si Irma, temannya Rinto. Si Irma datang dengan ada satu orang lagi, namanya Fauzi. Aku dibawa pakai mobil pak Fauzi itu.’

‘Uda Fauzi… he..he..he..’ Rinto membetulkan sambil tertawa.

‘Siapa itu?’

‘Kayaknya saudaranya Irma,’ jawab Rinto.

‘Dan kau, kebetulan lewat dekat kejadian waktu itu?’ tanya Syahrul ke Rinto.

‘Ya… Gue ketemu Irma di jalan Merdeka. Irma habis mengambil foto disana. Waktu dia mau pergi gue ikutin. Rencananya gue mau ikutin sampai ke kos-annya dia. Di ujung jalan Dago kita lihat ada rame-rame. Kita berhenti. Gue langsung ngenalin dia nih, lagi berdarah-darah.’

‘Yaa…namanya musibah. Luka di kepala itu kenapa, Ran?’

‘Kena pecahan kaca.’

‘Kaca dari mana? Bukannya kaca depan mobil itu pecahnya buyar begitu?’

‘Kaca jendela di belakang tempat dudukku. Itu kan kaca biasa.’

‘Besar lukanya?’

‘Kata dokter tidak besar, tapi agak dalam. Kaca itu tadi tertancap disini, lalu aku keluarkan dan aku buang.’

‘Bagaimana ketahuannya ada pecahan kaca disana?’

‘Mula-mula aku merasa bahu kananku basah. Aku raba pakai tangan kiri. Ternyata darah. Aku raba dari mana sumber darah. Waktu itu tanganku meraba pecahan kaca tertancap di kepala. Lalu aku buang.’

‘Tertancapnya nggak dalam?’ Rinto yang bertanya.

‘Ndak. Kaca itu runcing.’

‘Yang lain nggak ada yang sakit?’ tanya Rinto lagi.

‘Ya… kakiku.’

‘Kaki kau bagaimana rasanya?’

‘Tadi tidak berasa. Sekarang baru mulai agak sedikit nyeri. Tadi aku tidak merasa apa-apa, tapi tidak bisa digerakkan.’

‘Sebenarnya, ada juga sih dukun patah tulang. Gue kenal ada dukun kayak gitu di Cimahi. Tapi sekarang udah di rumah sakit gini apa mungkin dibawa lagi kesana?’

‘Sebenarnya mungkin aja. Bagaimana pendapat kau, Ran?’

‘Tadi dokter yang mengobati aku bilang dia mau menghubungi bang Lutfi. Tadi dia bilang juga bahwa perawatan kakiku bisa maksimal dengan menggunakan pen. Artinya aku harus dioperasi. Aku sudah bilang setuju mau dipasangi pen.’

‘Ya, itu sih terserah lu.’

‘Coba kau tanya juga nanti ke bang Lutfi, Ran?’ saran Syahrul.

‘Bang Lutfi itu dokter, kan?’

‘Ya.’

‘Kalau lu tanya sama dokter mana mungkin dia percaya sama dukun.’

Imran tidak menjawab. Dia memberi isyarat kepada Syahrul bahwa dia sudah kenyang.

‘Habiskan sedikit lagi,’ kata Syahrul.

‘Cukuplah. Aku sudah kenyang,’ jawab Imran.


***

Lutfi dan Yani melayani pasien masing-masing di ruang praktek yang terpisah di tempat praktek mungil mereka. Kedua dokter muda itu disenangi pasien karena mereka sangat ramah dan telaten. Di musim penghujan ini banyak orang yang batuk pilek.

Tiba-tiba telepon berdering. Yani yang mengangkat. Telepon itu dari dokter Aditya di rumah sakit Hasan Sadikin. Dia ingin berbicara dengan Lutfi. Yani menyerahkan gagang telepon itu kepada Lutfi.

Lutfi terlibat dalam pembicaraan singkat dengan dr. Aditya di ujung telepon.

‘Abang harus segera pergi, Yan. Imran kecelakaan,’ kata Lutfi begitu selesai berbicara di telepon.

‘Kenapa dia? Bagaimana keadaannya?’ tanya Yani.

‘Kata dr. Aditya kepalanya luka, sudah dijahit. Kakinya fracture. Dr. Aditya menyuruh abang segera datang,’ jawab Lutfi sambil bergegas mau pergi.

‘Hati-hati, bang,’ Yani mengingatkan.

Lutfi segera berangkat. Di luar hari hujan gerimis.


***

Lutfi bertemu dengan dr. Aditya di ruang UGD. Mereka berbincang sebentar sambil menuju ke tempat Imran terbaring.

‘Bagaimana Ran?’ tanya abang Lutfi.

‘Kaki saya terasa semakin sakit, bang,’ jawab Imran.

Lutfi memeriksa kaki Imran yang patah itu.

‘Tadi saya sudah konsultasikan ke dr. Lukito. Dia berjanji akan segera kesini. Tapi belum datang,’ kata dr. Aditya.

‘Pendapat dokter bagaimana?’ tanya Lutfi.

‘Pendapat saya bisa langsung digips saja. Tapi sebaiknya kita dengar saran dr. Lukito.... Tu dia datang.’

Dr. Lukito menyalami kedua sejawatnya itu.

‘Kenapa, mas?’ dia bertanya ke Imran.

‘Kecelakaan angkutan kota, dokter,’ jawab Imran.

Dr. Lukito memeriksa kaki Imran dengan hati-hati. Imran meringis kesakitan. Dokter itu mengajak Imran ngobrol. Dr. Lukito sangat ramah.

‘Kecelakaan dimana?’

‘Di Dago, dokter,’ jawab Imran.

‘Kenapa? Angkutannya menabrak apa?’

‘Menabrak pohon. Menghindarkan pengendara motor yang jatuh.’

‘Jatuh kenapa? Ngebut dia?’

‘Saya kurang tahu juga dokter. Tiba-tiba dihadapan kami motor itu terpelanting. Sopir angkutan membanting stir menghindarinya. Akibatnya mobil itu menabrak pohon.’

‘Wah! Seru juga ceritanya. Kepalanya luka kena kaca?’

‘Benar, dokter.’

‘Tapi kakinya mudah-mudahan nggak apa-apa. Nanti kita pasang gips......... Ngomong-ngomong kuliah dimana?’

‘Di geologi, dokter.’

‘Di ITB?’

‘Ya, dok.’

‘Hebat. Sudah selesai semesteran?’

‘Masih satu ujian lagi dok. Harusnya lusa saya ujian yang terakhir.’

‘Nanti minta ikut ujian susulan saja....... Baik... Nggak apa-apa ini. Dr. Aditya, saya sarankan tidak usah dipasang pen, langsung digips saja.’

Setelah memberikan saran dr. Lukito meninggalkan ruang UGD. Sementara dr. Aditya menyiapkan pemasangan gips, Lutfi mengurus kamar untuk Imran.

Sudah jam setengah tujuh malam ketika Imran masuk ke ruangan kelas dua, ruangan dengan empat tempat tidur. Ada dua pasien di kamar itu. Syahrul masih menemaninya, semenatara Rinto karena ada keperluan sudah lebih dahulu pergi. Bang Lutfi pamitan mau pergi.

‘Abang tinggal kau, ya? Tenang-tenang aja disini,’ katanya.

‘Baik, bang. Terima kasih, bang.’

‘Besok abang lihat lagi kau kesini. Nanti abang carikan kruk, tongkat penyangga. Kau harus menggunakan kruk untuk beberapa waktu.’

‘Terima kasih, bang..... tapi berapa lama awak harus tinggal di sini, bang?’

‘Kita lihatlah sehari dua ini. Kalau tidak ada keluhan kau boleh segera pulang. Tapi, untuk sementara kau terpaksa memakai tongkat penyangga.’

‘Baik, bang.’

‘OK ya? Abang pergi dulu ya?’

‘Ya, bang. Terima kasih...... Salam buat teteh, uni dan Lala, ya bang.’

‘Nanti abang sampaikan.’

Tinggal Imran dan Syahrul. Syahrul akan menemani Imran malam ini di rumah sakit.


*****

No comments: