Thursday, February 21, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.4)

4. Tiba Di Rumah Bako


Udara Padang Panjang di tengah malam sangat dingin. Kedua anak muda itu merasakan dinginnya udara malam. Untung mereka sudah mengenakan jaket, sekedar menahan hawa dingin. Tetap saja masih terasa dingin. Mereka kembali meneruskan perjalanan. Kali ini menuju kampung Koto Gadang. Untuk beristirahat. Jam dua belas malam mereka sampai di rumah orang tua Pohan. Sebuah rumah kayu tapi bukan rumah bergonjong ataupun rumah bergaya tradisional, melainkan rumah jaman sekarang dengan serambi di luar, ada ruangan tamu, ruang makan, dapur dan kamar-kamar tidur.

Di rumah ini ada etek Rasuna, etek atau adik dari ibunya Pohan, yang memang tinggal di kampung, bersama ibunya atau neneknya Pohan. Ibu Pohan tinggal di Jakarta. Pohan sedang menjajagi kemungkinan untuk membuka usaha di kampung. Rumah ayah Aswin tiga buah rumah ke samping. Rumah itu sebuah rumah adat beratap gonjong. Terkunci, tidak ada yang menempati. Ayah Aswin satu kaum sepersukuan dengan keluarga ibu Pohan, yang kalau dilihat di ranji, pertemuan nenek perempuan mereka bertemu di empat generasi di atas. Namun secara adat Minangkabau, mereka itu sesaudara, sepayung, sekaum, sepenghulu, tidak boleh kawin mengawini dalam satu kaum seperti ini. Maka rumah ini masih rumah bako bagi Aswin. Keluarga ayah Aswin semuanya di rantau yang terpencar di seluruh dunia. Di antara lima buah rumah kaum, hanya rumah ini saja yang ditempati. Yang lainnya kosong.

Etek Rasuna yang membukakan pintu. Meski dia sudah tertidur sebelumnya tapi dia sudah dihubungi Pohan sejak tadi siang bahwa mereka mungkin larut malam baru akan sampai di rumah. Waktu mereka sampai, etek Rasuna menyambutnya dengan gembira, dengan kehangatan persaudaraan yang tidak dibuat-buat. Meski mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Etek Rasuna tahu betul posisinya sebagai ’bako’, tahu betul bagaimana menjamu anak pisang. Apa lagi yang datang dari rantau di balik bumi.

Dan etek Rasuna sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Tidak repot-repot, karena nasi toh dari magic jar, dan gulai-gulai cukup dipanaskan sebentar di micro wave. Pokoknya beres semua.

Mereka makan tengah malam sambil berbincang-bincang. Aswin, meski sudah terlihat kecapekan berusaha tetap semangat, menikmati sambutan kekeluargaan yang sangat elok itu. Panjang cerita mereka. Ke barat ke timur. Ke hujung ke puhun. Tidak terasa sudah sampai jam dua.

’Sudah sangat larut, sebaiknya beristirahat sekarang. Bukankah besok akan pergi meraun lagi?’ etek Rasuna mengingatkan.

’Iya. Sudah waktunya kita istirahat. Kamar kita yang di depan itu. Kopermu belum dibawa naik. Mari kita ambil ke mobil,’ Pohan menambahkan.

Aswin setuju. Dia memang sudah kecapekan. Meski menurut waktu LA saat ini baru jam sebelas siang. Tapi perjalanan panjang hari ini sudah lebih dari cukup untuk membuatnya kelelahan.

*****

Jam tubuh Aswin masih awut-awutan. Dia terbangun jam setengah lima. Hanya sesudah tidur sekitar dua jam saja. Karena sayup-sayup terdengar suara orang mengaji yang entah dari mana datangnya. Suara orang mengaji dengan pengeras suara. Di dipan yang satunya Pohan sedang mendengkur, pulas dalam tidurnya. Tentu dia juga kecapekan. Meski berusaha untuk meneruskan tidur tapi matanya sudah tidak bisa dipejamkan lagi.

Setelah beberapa saat berbaring sambil mendengar suara orang mengaji Aswin bangkit, ingin pergi ke kamar kecil. Sekembali dari kamar kecil dia dapati Pohan sudah terbangun dan sedang mengucek-ngucek matanya.

’Kamu nggak tidur?’ tanya Pohan.

’Aku sudah tidak bisa tidur sejak terbangun seperempat jam yang lalu,’ jawab Aswin.

’Apa mau pergi shalat subuh ke mesjid? Sebentar lagi azan subuh,’ Pohan mengusul.

’Mau,’ jawab Aswin pendek.

’Kalau begitu aku pergi berwudhu sebentar.’

Mereka pergi ke mesjid yang tidak jauh dari rumah. Di tengah dinginnya cuaca subuh. Tubuh mereka cukup ditutupi dengan jaket.

Pulang dari shalat, Aswin baru menyadari banyak sekali anjing berkeliaran di kampung ini. Beberapa ekor heboh menyalak. Entah menyalak siapa.

’Kenapa begitu banyak anjing? Anjing siapa itu semua?’ tanya Aswin.

’Anjing orang kampung sini. Ada di antaranya anjing untuk berburu,’ jawab Pohan.

’Oh yaa. Aku ingat. Untuk berburu babi. Kamu pernah pergi berburu babi?’

’Belum pernah. Kenapa? Kamu tertarik untuk pergi?’

’Kemana? Pergi berburu ke bawah ngarai Sianok?’

’Oo bukan. Para pemburu pergi ke hutan-hutan di kaki gunung Singgalang, ke daerah Matur, atau ke kaki gunung Marapi, bahkan ke tempat yang lebih jauh lagi. Mereka pergi dalam rombongan besar. Masing-masing membawa anjing. Ya, anjing-anjing kampung seperti ini,’ Pohan menjelaskan.

’Mungkin menarik juga untuk dicoba. Tapi kita tidak punya anjing. Dimana bisa kita beli?’

’He..he... Anjing tidak boleh diperjualbelikan. Itu binatang haram. Tapi boleh diminta anaknya lalu dipelihara. Dan dilatih untuk jadi anjing pemburu.’

’Wah, hopeless kalau begitu. Kalau begitu kamu cari anak anjing dari sekarang, kamu pelihara. Nanti kalau dia sudah besar dan kalau aku datang berkunjung lagi kita pergi berburu babi.’

Pohan tertawa mendengarnya.

Mereka sudah sampai kembali di rumah. Etek Rasuna sudah bangun dan sudah selesai shalat subuh. Begitu juga nenek Rafiah. Nenek Rafiah terheran-heran mengetahui kedua cucunya baru kembali dari mesjid. Nenek tua yang sudah berumur 83 tahun itu masih sehat. Dan Aswin cukup surprise ketika nenek itu menyapa dan melawan dia berbicara dalam bahasa Inggeris yang fasih.

’Nek, Aswin bisa berbahasa Indonesia. Dari kemarin kami hanya berbahasa Indonesia saja. Kenapa nenek berbahasa Inggeris?’ tanya Pohan.
’Ano ndak pandai babahaso awak, enek ndak pandai babahaso Indonesia,’ kata nenek sambil terkekeh.

Mereka semua tertawa mendengarnya.

’Aswin! Kamu mau minum apa? Apa kamu mau mencoba minum teh telur? Etek mau membuatkan teh telur untuk Pohan,’ etek Rasuna menanyai Aswin.

’Ya...ya.. Saya mau. Atau... boleh tidak kopi telur?’ tanya Aswin.

‘Boleh. Kamu sudah pernah minum kopi telur rupanya. Oh ya saya baru ingat. Kopi telur kesukaan ambo Muncak.’

Mereka sarapan pagi bersama-sama sambil bercerita lagi. Tambah ramai dari tadi malam karena nenek Rafiah tidak mau kalah ikut dalam obrolan itu. Sarapan pagi dengan ketan dan goreng pisang raja.

’Berdaso benar,’ kata Aswin.

Semua yang mendengar tertawa.

’Tahu kamu kata-kata ’berdaso’ segala,’ ucap etek Rasuna.

’Ya tahu.. Itu kata-kata favorit ayah,’ jawab Aswin.

’Kamaa kapai ariko?’ tanya nenek yang memang tidak mau berbahasa Indonesia.

’Ka Maninjau. Enek ka sato pai?’ jawab Pohan dan balik bertanya.

’Antilah. Jatuah enek di sinan biko. Panek kalian mauruih. Bao pulang palai rinuak biko, mak!’ kata nenek.

’Jadih nek,’ jawab Pohan.

’Jam berapa kita berangkat?’ tanya Aswin.

’Bagaimana kalau jam sembilan? Kalau kepagian Puncak Lawang sering berkabut. Kita tidak bisa melihat apa-apa,’ jawab Pohan.

’Aku mengikut saja. Jam sembilan? OK.’

’Ke Puncak Lawang, ke Maninjau terus ke Lubuk Basung ke Tiku?’ tanya etek.

’Kita lihat nanti. Tapi bagusnya tidak usah. Kan kamu belum melihat Bukit Tinggi? Lebih baik kita ke Bukit Tinggi nanti sore,’ usul Pohan.

’Ada yang menarik di Lubuk Basung dan Tiku?’ tanya Aswin.

’Tidak seberapa menarik. Maksud etek kita jalan melingkar sesudah itu ke Lubuk Basung, ke Tiku terus ke Pariaman. Nah disini sebenarnya ada tempat yang menarik di pinggir pantai. Dari sana ke luar ke Sicincin ke jalan yang kita lalui kemarin,’ Pohan menerangkan.

’Mungkin menarik juga,’ Aswin ragu-ragu.

’Jangan khawatir. Ada program itu di hari ke empat nanti. Kita nanti pergi ke Padang melalui jalan itu.’

’Bagus sekali kalau begitu. Ah, biarlah aku sekarang menurut saja. Aku yakin Pohan sudah merencanakan ini sebaik-baiknya,’ ujar Aswin.

’Jangan khawatir. Pokoknya beres,’ jawab Pohan.

Mereka masih melanjutkan obrolan panjang menjelang jam sembilan.


*****

No comments: