Friday, October 17, 2008

SANG AMANAH (22)

(22)

‘Kalau soal resiko, segalanya tentu ada resiko. Mungkin dalam hal ini pak Darmawan harus tolong mendoakan sejak sekarang-sekarang agar pada hari ‘H’nya tidak turun hujan. Saya justru ingin menanyakan apakah pada acara ini kita tidak melibatkan artis dari luar. Apa acara ini nanti benar-benar hanya dari kita untuk kita saja?’

‘Silahkan ditanggapi langsung pak Hardjono!’

‘Ini kaitannya tentu dengan dana, pak Mursyid. Dengan asumsi dananya sehemat mungkin, kami tidak berani mengusulkan artis dari luar yang pasti akan memerlukan biaya lebih besar. Mungkin itu saja jawabannya.’

‘Maaf, bagaimana seandainya ada artis atau penyanyi dari luar yang bisa gratis. Apakah akan ditolak?’

‘Boleh saya menambahkan ibu ketua?’ kata pak Muslih.

‘Silahkan pak Muslih!’

‘Saya rasa acara ini sebaiknya hanya melibatkan murid-murid kita sendiri saja. Karena kalau melibatkan artis luar, meskipun gratis, kita tetap harus memikirkan paling tidak transportnya dan mungkin konsumsinya. Biasanya, nanti mereka akan meminta layanan agak khusus. Saya pernah punya pengalaman. Artisnya gratis, tapi minta dijamu dengan bir, tidak mau makan nasi kotak. Dan yang lebih penting lagi kalau kita bawa artis dari luar, mungkin acara ini nanti akan melebar jadi panggung hiburan umum. Artinya kita harus siap-siap menghadapi resiko yang lebih serius yang berasal dari orang luar yang bukan murid kita. Atau kita harus meminta bantuan aparat keamanan. Artinya harus ada lagi permohonan izin khusus dan perlu biaya ekstra lagi. Jadi urusannya akan tambah sulit. Itu saja untuk pertimbangan pak Mursyid.’

‘Mungkin ada benarnya yang disampaikan pak Muslih. Tapi, silahkan ditambahkan bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain. Mungkin dari OSIS ada usul?’

‘Hanya pertanyaan saja, buk. Apakah dari guru-guru tidak ada sumbangan acara, apakah nyanyian atau mungkin apa begitu, buk? Terima kasih buk,’ tanya ketua OSIS, Syamsurijal.

‘Setahu saya nanti akan ada sumbangan nyanyi dari paduan suara guru-guru dan pembacaan puisi oleh salah seorang guru, saya rasa ini sudah di program oleh pak Hardjono. Benar tidak, pak Hardjono?’

‘Benar, ibu ketua.’

‘Baik, masih ada yang lain?’

‘Maaf, masih urusan acara dengan artis dari luar tadi itu. Maksud saya, kita undang atau tidak, saya yakin akan ada orang luar yang datang. Murid-murid kita ini sudah pada remaja. Sudah banyak yang punya pacar dan pacarnya dari luar sekolah. Bagaimana kalau pacar mereka datang? Atau apakah harus dibuatkan undangan khusus dan hanya yang memegang undangan yang boleh datang dan setiap murid diberi satu undangan dan setiap undangan berlaku hanya untuk satu orang, agar orang luar tidak bisa masuk? Apa begitu maksudnya?’ pak Mursyid masih penasaran.

‘Wah, jadi mumet nih. Coba saya klarifikasi. Apakah maksudnya diundang atau tidak, orang luar pasti hadir? Lalu faktor keamanan harus ditingkatkan? Dengan demikian mendatangkan artis dari luar tidak perlu dikhawatirkan selama itu gratis karena ada petugas keamanan. Apa betul demikian urut-urutan logikanya, pak Mursyid?’ tanya ibu Purwati.

‘Ya. Saya hanya menunjukkan bahwa acara ini sangat mungkin dihadiri oleh orang luar, diundang atau tidak diundang. Jadi apa yang disampaikan pak Muslih tadi bahwa perlu pengamanan khusus, saya rasa memang perlu. Jika faktor keamanan ditingkatkan, kita tidak perlu khawatir seandainyapun acara ini berubah menjadi pentas untuk umum. Hitung-hitung memberi hiburan gratis kepada masyarakat.’

‘Maaf ibu ketua. Boleh saya berkomentar?’ tanya pak Sofyan.

‘Silahkan pak Sofyan!’

‘Begini, pak Mursyid. Kalau diadakan acara terbuka untuk umum, meskipun pihak keamanan dilibatkan, kita sebagai panitia tetap harus bertanggung jawab jika terjadi kerusuhan. Coba pak Mursyid bayangkan, seandainya nanti ada keonaran yang tidak tertangani oleh aparat keamanan. Misalnya, terjadi keributan karena tidak semua orang dapat masuk menonton panggung terbuka, pasti panitia akan diminta pertanggungjawaban. Belum kalau ada pengacau yang memang sengaja mencari gara-gara. Akibatnya bisa fatal bagi sekolah. Itu saja. Tolong dipertimbangkan!’

‘Jadi kongkritnya apa dong, pak Sofyan?’

‘Kongkritnya, saya usul agar acaranya dibuat tertutup, diruangan sekolah dan hanya untuk kalangan sekolah.’

‘Ibu ketua rapat! Apakah saya juga boleh bertanya,’ pak Suprapto mengangkat tangan.

‘Tentu, pak. Silahkan!’

‘Pertanyaan saya, apakah pak Umar boleh bertanya atau memberikan sumbang saran? Dari tadi saya lihat beliau hanya jadi pendengar yang baik saja.’

‘Tentu, pak. Silahkan. Dari bapak juga kalau ada silahkan saja pak. Ini kan untuk kepentingan kita bersama. Dan ini kan demokrasi.’

‘Nah… pak Umar! Mungkin ada usul atau sumbang saran dari pak Umar?’ pak Suprapto memancing.

‘Wah, saya khawatir pendapat saya akan berbeda sendiri, pak. Maksud saya kalau saya mengemukakan pendapat, pendapat saya mungkin akan melawan arus. Sementara ini alur rapat kan sangat bagus. Seperti kata ibu ketua sangat demokratis.’

‘Apa maksud pak Umar? Adakah yang bapak tidak berkenan atau tidak setuju dengan yang sedang dibahas? Apa begitu pak Umar?’ tanya ibu Purwati.

‘Ada ibu ketua.’

‘Mungkin bisa dijelaskan, pak. Biar sama-sama kita dengarkan.’

‘Baiklah. Saya khawatir tentang bahasan yang terakhir ini, khususnya mengenai acara. Saya rasa sudah keluar dari konteks. Tadi saya menyimak tema acara yang sudah disepakati bersama. Temanya bagus. Acara ini adalah acara perpisahan. Lebih tepatnya untuk menghormati bapak kepala sekolah, bapak Suprapto. Tapi akhirnya kita malahan terjebak dengan keinginan mau mengadakan pentas terbuka untuk umum. Saya sependapat dengan pak Sofyan. Panitia tentu harus bertanggung jawab seandainya acara ini nanti berubah jadi tidak terkendali. Agaknya yang perlu kita ingat, acara ini acara sekolah, acara lembaga pendidikan. Panitianya guru-guru. Jadi seharusnya acara ini bisa dipertanggung jawabkan secara moral. Menurut pendapat saya, sebaiknya acara ini dibuat tertutup untuk sekolah saja, melibatkan guru, karyawan sekolah dan murid ditambah perwakilan POMG karena mereka ini yang sehari-hari bergaul dengan pak kepala sekolah. Mereka ini yang mengadakan perpisahan. Harusnya acara ini meninggalkan sesuatu yang bisa dikenang dengan baik oleh pak Suprapto. Seandainya terjadi huru-hara tentu tidak akan dapat dijadikan kenangan yang baik. Saya pikir sebagian besar dari acara yang diusulkan tadi sudah bagus. Semua hanya melibatkan murid-murid dan guru-guru. Namun ada satu hal lagi yang harus juga jadi pertimbangan kita sebagai panitia. Fihak panitia, dari sekarang-sekarang harus bisa mengantisipasi agar tidak ada penyimpangan yang tidak diinginkan nantinya baik di dalam maupun diluar acara. Tepatnya begini. Saya dengar tadi acaranya diadakan malam hari. Sampai jam sebelas malam. Tidakkah terpikirkan oleh kita keselamatan setiap orang sesudah acara itu berakhir? Maaf, bagaimana kalau acara sudah kita tutup secara resmi, tapi masih ada yang melanjutkan secara tidak resmi dan dengan cara yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pula? Panitia, karena sudah kecapekan langsung pulang. Lalu di sini, di sekolah ini masih tinggal mereka-mereka yang memanfaatkan malam minggu. Siapa yang bertanggung jawab? Padahal ini adalah lembaga pendidikan? Itu saja dulu. Masih ada nanti yang akan saya tambahkan kalau masih diizinkan.’

‘Wah! Bakalan jadi mentah nih kalau begini,’ kata pak Mursyid.

‘Maaf, pak Mursyid. Kalau anda tidak setuju atau berkeberatan silahkan dibantah,’ kata ibu Purwati.

‘Saya bukannya mau membantah. Tapi jelas, tidak ada pekerjaan yang tidak mengandung resiko. Kalau mau terhindar dari resiko ya… tidak usah melakukan apa-apa.’

‘Bagaimana pak Umar?’ tanya ibu Purwati lagi.

‘Pak Mursyid benar. Tidak ada perbuatan yang tidak mengundang resiko. Tapi resiko bisa diminimalkan. Mengadakan acara keramaian malam hari menurut saya lebih beresiko dibandingkan kalau dilaksanakan siang hari. Melibatkan orang-orang luar yang tidak di bawah tanggung jawab kita lebih beresiko dibandingkan melibatkan orang-orang dari lingkungan kita sendiri.’

‘Jadi kesimpulan pak Umar, lebih baik diadakan siang hari, di ruangan tertutup yang artinya bukan pentas terbuka, tidak melibatkan orang luar atau artis dari luar, benar begitu, pak?’ ibu Purwati ingin penegasan.

‘Benar sekali,’ jawab pak Umar pendek.

‘Bagaimana pak Hardjono? Sepertinya ada yang ingin ditambahkan?’

‘Saya rasa yang disampaikan pak Umar itu perlu jadi perhatian kita bersama. Kita harus menjaga jangan sampai acara ini mencorengkan malu bagi SMU 369 sebagai sebuah lembaga pendidikan. Ringkasnya saya setuju dengan pak Umar. Mungkin acaranya bisa kita lakukan hari Minggu pagi, mulai jam delapan sampai selesai sekitar siang. Dari segi acara yang kita susun rasanya tidak ada masalah. Malahan lebih enak kalau siang hari.’

‘Saya keberatan ibu ketua,’ kata pak Mursyid.

‘Silahkan dijelaskan keberatannya pak Mursyid!’

‘Begini. Saya rasa kita tidak usah terlalu banyak berprasangka. Apalagi terhadap anak-anak didik kita sendiri. Tadi pak Umar mengatakan khawatir, kalau ada yang meneruskan acara di sini sesudah acara resmi ditutup jika acaranya dibuat malam hari. Kita bisa antisipasi dengan memberi peringatan atau nasihat kepada murid-murid kita agar mereka segera pulang begitu acara selesai. Bila perlu kita berikan sangsi kepada yang melanggar. Saya rasa dengan cara seperti itu resikonya bisa kita kurangi. Jadi saya tetap mengusulkan agar acaranya diadakan malam hari.’

‘Maaf pak Mursyid, bisa lebih spesifik? Apa alasannya pak Mursyid memilih malam hari? Apa keuntungannya dibandingkan kalau diadakan siang hari?’ ibu Purwati minta penjelasan.

‘Ini masalah tradisi saja ibu ketua. Acara seperti ini, apalagi ada drama, ada grup musik, biasanya lebih pantas dilaksanakan malam hari.’

‘Permisi ibu ketua,’ giliran pak Wayan minta waktu berbicara.

‘Silahkan pak Wayan!’

‘Kalau dikatakan tradisi saya kurang sependapat. Ada juga orang melakukan pentas seni musik atau tari-tarian siang hari dan itu tidak mengurangi nilai seninya. Tetap banyak juga pengunjungnya kalau memang acara itu menarik. Saya ikut khawatir, acara sudah selesai jam sebelas malam, murid-murid sudah diberi peringatan atau bahkan ancaman bahwa kalau mereka masih berkeliaran juga di sekolah kita beri sangsi. Tapi bagaimana kalau mereka pergi dari sekolah tapi tidak langsung pulang. Namanya anak muda. Mereka pergi dulu ngebut-ngebutan, atau pesta-pestaan, karena malam panjang kata mereka. Besoknya kita baca di koran, siswa SMU 369 begini-begitu. Secara moril tentu kita tidak enak. Satu lagi, ini maaf kepada rekan-rekan guru, terutamanya yang masih lajang, banyak desas desus beliau-beliau ini ikut-ikutan menggunakan kesempatan. Jadi saya sependapat dengan pak Umar. Terlalu besar resikonya.’

No comments: