Tuesday, April 21, 2009

DERAI-DERAI CINTA (9)

9. AKANKAH KU TINGGALKAN KAMPUNG?

Kampung yang porak poranda itu sekarang jadi ramai dengan pengunjung. Banyak orang datang dari mana-mana untuk bertakziah. Untuk melihat dari dekat akibat dari sebuah fenomena alam yang sangat mengerikan. Galodo........

Sumbangan dan bantuan masyarakat mengalir dari mana-mana. Kampung ini memang hancur secara fisik dan tentu saja demikian pula secara ekonomi. Sawah-sawah diselimuti pasir, batu-batuan, lumpur dan sampah. Kebun-kebun pisang hancur. Belum lagi rumah-rumah yang rusak, bahkan yang rata dengan tanah. Hanya sebagian kecil dari kampung itu yang selamat karena letaknya sedikit ketinggian.

Saudara-saudara serta anak kemenakan warga kampung yang tinggal di perantauan berusaha pulang untuk melihat keadaan kampung. Mak dang Taufik, anak nenek Piah yang paling tua, yang bekerja di Rumbai juga ikut pulang ke kampung. Betapa sedih dan pilu hatinya melihat semua kehancuran itu. Melihat kampung yang ditenggelamkan oleh sebuah kekuatan maha dahsyat. Sedih melihat korban yang jatuh bahkan sampai meninggal, termasuk adik sepupunya Rohana.

Adik-adik perempuannya yang di Jakarta tidak bisa segera pulang karena kerepotan masing-masing.

Mak dang Taufik tentu tidak bisa berlama-lama di kampung. Dia harus segera kembali ke tempat dia bekerja di Rumbai. Dia ingin membawa ibunya, nenek Piah bersama-sama Imran ke sana. Kedua adiknya, mak etek Tamrin dan mak etek Nursal menerima jalan keluar seperti itu karena sepertinya hanya itu kemungkinan yang paling baik untuk nenek dan Imran. Musibah besar itu pastilah menimbulkan trauma bagi nenek. Sebaiknya beliau dibawa pergi dulu dari kampung. Bisa saja nanti beliau ikut anak-anak beliau yang perempuan di Jakarta, tapi sekarang, ikut ke Rumbai adalah jalan yang terbaik.

Nenek menerima tawaran mak dang Taufik untuk pergi ke Rumbai, tapi hanya untuk sementara. Menjelang keadaan di kampung lebih baik. Menjelang rumah yang rusak diperbaiki. Bagaimanapun, sebenarnya beliau keberatan untuk meninggalkan kampung ini.

Kebalikannya, Imran masih sangat ragu dengan tawaran itu. Untuk tinggal di kampung memang akan sangat sulit baginya. Semua sudah hancur. Ibu sudah tidak ada. Rumah rusak parah. Sawah tertimbun lumpur dan pasir. Pisang yang akan diperdagangkan dari kampung ini hampir semuanya rusak dan hancur. Sementara ini, baru ilmu berdagang pisang kecil-kecilan yang dimilikinya. Tapi ikut dengan mak dang Taufik juga bukan hal mudah. Bagaimana kalau nanti disana ternyata keluarga mak dang menolaknya? Kalau anak-anak mak dang tidak menerima kehadirannya? Dan sampai kapan dia akan menjadi beban tambahan mak dang? Pusing kepalanya memikirkan semua itu.

Waktu dia diajak berbincang-bincang sore harinya, Imran mengemukakan hal itu kepada mak dang, di hadapan mak etek Nursal dan nenek. Keberatan pertamanya adalah karena dia akan menghadapi ujian akhir.

‘Kapan kamu ujian, Ran?’ tanya mak dang Taufik.

‘Minggu di muka, mak dang,’ jawab Imran.

‘Berapa lama sesudah itu keluar pengumuman hasilnya?’

‘Pengumuman hasil ujian nanti di pertengahan bulan Juni, mak dang.’

‘Mak dang pikir, begitu selesai ujian, kau segera saja ke Rumbai. Tidak perlu menunggu pengumuman ujian. Nanti hasilnya, minta tolong mak etek Nursal mengirim kesana,’ usul mak dang.

Imran tidak bisa menjawab.

‘Biarlah dengan kau saja nanti nenek pergi ke Rumbai itu. Biar nenek temani kau di rumah sampai kau selesai ujian,’ kata nenek.

Imran memandang nenek dengan sendu. Nenek sangat baik kepadanya. Beliau mau menungguinya sampai dia selesai ujian.

‘Ya, kalau mak mau begitu baik juga. Tapi kalau tidak, tadi yang ambo pikirkan, mak ikut dengan ambo besok. Sementara itu, si Imran tinggal di tempat Nursal sampai dia selesai ujian. Bisakan begitu, Nursal ?’ tanya mak dang.

‘Bisa, uda,’ jawab mak etek Nursal.

‘Pastikan sajalah. Biar mak, pergi bersama si Imran saja nanti. Biarlah mak tunggui selama dia ujian,’ kata nenek lagi.

‘Awak rasanya ingin sekolah disini-sini saja mak dang. Biar awak dekat dengan ibu. Sebenarnya awak ingin masuk sekolah agama,’ Imran memberanikan diri menyampaikan keinginannya.

Semua terdiam mendengar kata-kata Imran.

‘Begini, Ran. Kau ini kemenakan mak dang. Mak dang merasa bertanggung jawab untuk menolongmu. Kau ikut dengan mak dang, nanti mak dang yang akan menyekolahkanmu. Mak dang yang akan membiayai pendidikanmu sampai sekolah tinggi.’

‘Terima kasih, mak dang. Tapi, mungkin awak tidak akan sanggup sekolah tinggi mak dang. Awak ingin mencoba meneruskan berjualan. Berjualan apa saja, kecil-kecilan,’ jawab Imran pula.

‘Boleh saja kau bercita-cita jadi pedagang. Tapi kau masih sangat muda. Kau harus melanjutkan sekolah dulu.’

‘Awak masih ingin bersekolah. Bersekolah dekat-dekat kampung saja....’ jawab Imran terbata-bata.

‘Kenapa? Kau tidak percaya dengan janji mak dang?’

‘Bukan begitu mak dang.’

‘Lalu kenapa?’

‘Awak.... Awak... ingin tetap di kampung saja..’

‘Bagaimana kau akan tinggal di kampung ini? Dengan siapa kau akan tinggal? Nenek mak dang bawa ke Rumbai. Akan tinggal dengan mak etek Nursal atau mak etek Tamrin? Anak mereka banyak. Tentu tidak akan nyaman pula. Tinggal disini sendiri tentu akan sangat sia-sia.’

Imran terdiam. Dia kehabisan kata-kata.

‘Sebaiknya kau coba saja, Ran. Tidak mungkin kita bertahan di kampung dalam keadaan seperti sekarang ini,’ nenek menambahkan.

Imran tidak bisa berkata apa-apa. Terasa air matanya mengalir. Bukan karena cengeng. Dia bingung sekali.

Semua kembali terdiam.

‘Barangkali begini saja. Sementara ini kau persiapkan dulu dirimu menghadapi ujian. Nanti kita pikirkan lagi rencana berikutnya,’ usul mak etek memecah kesunyian.

‘Ya, boleh juga begitu. Selesaikan dulu ujianmu. Begitu selesai kau antarkan nenek ke Rumbai. Kau lihat suasana disana nanti!’

Imran tidak menjawab.

***

Imran menjalani ujian akhir dengan sebaik-baiknya karena dia sadar ujian ini wajib diikuti sebagai batu loncatan pendidikan. Dia bertekad untuk lulus dan kalau bisa dengan hasil terbaik. Ingin juga hatinya untuk melanjutkan lagi sekolah ini sejauh yang masih mungkin. Entah dengan bagaimana caranya.

Selesai sudah ujian itu. Sesuai janji sebelumnya dengan mak dang dia akan mengantar nenek ke Rumbai. Dia tetap tidak yakin akan bersekolah disana seperti yang dianjurkan mak dang Taufik.

Akhirnya mereka berangkat dengan bus umum menuju ke Pakan Baru. Sangat berat hati Imran untuk meninggalkan kampung. Meninggalkan rumah. Meninggalkan pusara ibu yang masih merah tanahnya. Akankah dia bisa segera kembali? Meskipun susana kampung yang tidak ramah sementara ini? Sepertinya dia tidak punya pilihan. Tidak mungkin dia bertahan tinggal di kampung dalam keadaan seperti itu.

Seandainya saja ada jenis usaha yang dia mampu menjalankan seperti berdagang pisang. Dan seandainya pula nenek mau bertahan tinggal di kampung, Imran pasti akan memilih untuk tetap tinggal di kampung.


*****

No comments: