Wednesday, December 10, 2008

SANG AMANAH (89)

(89)


Ujian kenaikan kelas telah selesai. Pengumuman lulus anak-anak kelas tiga sudah keluar sejak lebih awal lagi. Murid SMU 369 lulus 99.6%. Hanya satu orang yang tidak lulus karena sakit pada saat ujian akhir berlangsung. Dan sekarang mereka sedang libur panjang. Waktu penantian untuk mendaki gunung Salak akhirnya datang juga. Grup Pencinta Alam sudah memilih hari untuk melaksanakan acara mendaki gunung itu.

Tiga puluh tiga orang anak dari kelas satu dan kelas dua (yang sekarang sudah naik ke kelas dua dan tiga) ikut serta dalam acara itu. Anak-anak kelas tiga lama tidak ada yang ikut karena mereka sedang menghadapi ujian saringan masuk perguruan tinggi. Semua peserta adalah murid laki-laki. Murid perempuan tidak diizinkan ikut, sesuai dengan arahan pak kepala sekolah, mengingat resiko yang dapat terjadi selama kegiatan mendaki gunung itu. Beberapa anak-anak perempuan itu sempat memprotes kepala sekolah, tapi pak Umar dapat meyakinkan mereka untuk tidak ikut. Di antara peserta terdapat Anto, Iwan, Edwin dan tentu saja Hardi. Anto yang akhir-akhir ini lebih akrab dengan Edwin mengajak Edwin untuk ikut serta. Dari kalangan guru-guru, pak Mursyid ditemani pak Sofyan dan pak Darmaji.

Acara mendaki gunung Salak itu dilaksanakan pada hari Minggu. Kebetulan saat itu sedang musim kemarau. Saat yang ideal karena jalan yang akan ditempuh tidak terlalu becek dan licin. Pak Mursyid sudah mengingatkan agar para peserta membawa bekal seperlunya saja karena rencananya mereka akan kembali hari itu juga. Mereka tidak jadi mengadakan acara berkemah karena sebahagian besar pesertanya tidak setuju untuk menginap. Masing-masing berbekal makanan dan air minum serta baju dingin yang dimasukkan kedalam tas punggung dan masker kain penutup hidung untuk berjaga-jaga seandainya di puncak gunung nanti bau belerang terlalu mengganggu. Hardi tidak lupa membawa kamera foto. Anak-anak itu terheran-heran waktu pak Mursyid menyuruh mereka masing-masing membeli sebungkus rokok untuk bekal. Tapi pak Mursyid segera menjelaskan bahwa tembakau itu nanti, setelah dibasahi akan digosokkan ke bagian tubuh yang terbuka untuk menangkal gigitan pacet dan lintah. Binatang itu biasanya tidak akan mau menempel di kulit yang berbau tembakau.

Perjalanan itu diawali dengan naik bus umum dari terminal Kampung Rambutan ke arah Bogor. Mereka berkumpul di Kampung Rambutan jam enam pagi untuk seterusnya naik bus umum yang berangkat jam enam lebih sepuluh menit. Jam tujuh mereka sudah sampai di Bogor dan dari Bogor mereka menyewa bus khusus untuk menuju desa Cidahu di kaki gunung Salak. Desa itu terletak di sisi sebelah selatan gunung Salak, kira-kira tiga puluh kilometer dari Bogor atau kira-kira sepuluh kilometer dari Cicurug di jalan raya antara Bogor dan Sukabumi.

Alam pedesaan dengan sawah menghijau terhampar sejauh-jauh mata memandang sejak dari Cicurug menuju ke desa Cidahu. Di desa Cidahu itu terdapat Wana Wisata Cangkuang yang merupakan objek wisata. Di objek wisata ini terdapat air terjun yang indah, namun tujuan rombongan kali ini bukanlah mengunjungi tempat itu. Taman wisata Cangkuang ini, yang juga biasa digunakan pelancong untuk tempat berkemah, merupakan gerbang tempat memulai pendakian ke gunung Salak. Di sini mereka harus mendaftar dan membayar biaya masuk. Petugas pengawas di sana mencatat setiap anggota rombongan yang akan mendaki gunung Salak. Hal ini untuk antisipasi seandainya ada yang tersesat dalam perjalanan menjelajahi hutan atau dalam pendakian gunung.

Sebelum memulai pendakian, pak Mursyid memberikan pengarahan sekali lagi. Semua anggota rombongan dilarang memencar baik sendiri-sendiri maupun dalam rombongan kecil. Tidak boleh membuang kotoran sembarangan, tidak boleh mencoret-coret dimanapun. Tidak boleh membuat masalah dengan pendaki dari kelompok lain yang mungkin ditemui di sepanjang jalan. Tidak boleh merusak hutan maupun tanaman penduduk. Setiap peserta harus memberitahu kalau ada yang mendapatkan kesulitan seperti kejang, sakit perut, pusing dan sebagainya. Terakhir sekali diingatkan agar menjelang puncak gunung nanti, terlebih dahulu menunggu aba-aba pimpinan rombongan. Seandainya bau belerang terlalu keras, semua akan menghindar meskipun belum mencapai puncak.

Semua anggota kelompok itu menerima semua kondisi itu dan berjanji akan mematuhinya. Menjelang jam delapan pagi dimulailah acara pendakian. Tujuan mereka adalah Kawah Ratu dimana terdapat kepundan gunung Salak yang masih aktif. Mereka menempuh jalan setapak, jalan tanah berbatu-batu, berbelok berliku-liku menuju ke puncak gunung. Jalan itu umumnya mendaki dengan sudut kemiringan kadang-kadang cukup terjal. Di kiri dan kanan jalan setapak adalah lereng gunung yang ditumbuhi pohon-pohonan besar. Kadang-kadang mereka melalui tebing terjal yang di salah satu sisi merupakan lembah yang cukup dalam. Di sisi yang lain ada dinding batu padas yang sayangnya dikotori oleh tulisan-tulisan tidak bermutu yang dibuat para vandalis.

Cuaca cerah sekali pagi ini. Sinar matahari menerobos melalui celah-celah rimbunan pepohonan. Puncak gunung Salak terlihat jelas seolah-olah hanya beberapa depa ke depan. Udara pagi di lereng gunung ini sangat bersih dan segar. Kadang-kadang tercium bau apak dari kayu lapuk basah.

Pada awalnya rombongan tiga puluh enam orang itu berjalan beriring-iringan dengan bersemangat menuju ke arah puncak gunung. Pak Mursyid berjalan paling depan memimpin rombongan dan di paling belakang pak Sofyan dan pak Darmaji sebagai pengawal. Mereka saling bercanda. Ada juga yang bernyanyi-nyanyi kecil. Tapi tidak berapa lama kemudian nafas mereka mulai terdengar menderu-deru. Jalan mendaki tiada hentinya menguras tenaga dengan cepat. Meskipun cuaca pegunungan dingin, baru berjalan kira-kira satu jam tubuh mereka mulai basah oleh keringat. Tiba-tiba mereka sampai di sebuah tempat pemberhentian, tempat yang agak rata. Kelihatannya tempat berkemah juga. Terlihat beberapa tungku dari batu bekas tempat memasak. Anak-anak itu melepas dahaga. Pak Mursyid mengingatkan anggota rombongan itu agar tidak terlalu banyak minum karena tujuan utama masih jauh. Terlalu banyak minum justru akan melelahkan waktu berjalan menanjak berikutnya.

Sepuluh menit kemudian, perjalanan itu dilanjutkan kembali. Kali ini mereka melalui jalan yang teduh dan lembab tertutup pohon-pohon. Beberapa kali mereka melintasi sungai kecil yang airnya sangat jernih. Pak Mursyid kembali memperingatkan agar berhati-hati dengan pacet dan lintah. Inilah saatnya membalur tubuh yang terbuka dengan air tembakau. Setelah itu mereka melintasi tempat yang di kiri dan kanan jalan banyak tumbuh pohon pisang sehingga mirip hutan pisang. Di pohon-pohon kayu yang lebih tinggi terlihat beberapa ekor monyet bergantungan, memandang ke arah mereka dengan pandangan menyelidik. Kelihatannya monyet-monyet itu menghindar dari rombongan manusia yang banyak ini. Pastilah gerombolan monyet-monyet itu yang jadi pemilik atau paling tidak penguasa pohon-pohon pisang di tengah hutan begini.

Sesudah berjalan kira-kira empat puluh lima menit kembali mereka menemukan sebuah lapangan tempat beristirahat, yang kelihatannya juga biasa dipakai untuk mendirikan kemah. Rombongan itu tidak berhenti di sini. Perjalanan diteruskan melalui jalan yang kadang-kadang becek dan licin. Untunglah di pinggir jalan itu terdapat akar-akar pohon tempat berpegangan. Namun mereka harus berhati-hati sekali terhadap pacet yang banyak bergelantungan di daun-daun. Seperti yang diingatkan dan dicontohkan pak Mursyid, mereka membalur tangan dan muka mereka dengan tembakau rokok yang sudah dibasahi. Anto mengamati seekor pacet yang sudah bertengger di tangannya yang sudah dilumuri air tembakau tadi. Dan ternyata pacet itu tidak berhenti berjalan dengan gerakannya yang aneh dan tidak berusaha untuk menggigitnya sedikitpun. Anto memotret makhluk kecil yang seperti menari-nari di tangannya itu.

Jalan semakin menanjak. Bahkan melalui pinggiran tebing-tebing yang lumayan terjal. Beberapa kali mereka melalui sungai kecil yang mengalir di jalan yang harus mereka tempuh. Air sungai itu sangat jernih tapi dasarnya tanah berlumpur. Mereka harus berhati-hati sekali menyeberanginya agar tidak terperosok. Tidak ada jembatan di sungai itu dan menyeberanginya harus dengan melintas di dalam sungai berlumpur itu. Kira-kira jam sebelas mereka sampai di sebuah lapangan lagi dan di sini jalan bercabang dua.

Di tempat ini mereka kembali beristirahat beberapa menit. Sambil menikmati pemandangan yang terhampar indah di bawah. Kecuali suara sejenis serangga yang melengking berirama bersahut-sahutan, hampir tidak terdengar suara satwa lain di hutan ini. Boleh jadi para penghuni hutan ini masih beristirahat di sarangnya masing-masing pada saat siang begini. Di kejauhan terlihat burung elang terbang berputar-putar. Pak Darmaji mengatakan bahwa itu adalah jenis burung elang Jawa yang sekarang semakin langka. Mungkin burung perkasa itu sedang mengamat-amati dan mencari mangsanya di bawah sana.

Pak Mursyid yang sudah mengenal tempat ini menerangkan bahwa jalan ke kanan menuju ke puncak gunung Salak yang terletak di ketinggian 2210 meter dari muka laut. Puncak paling tinggi itu masih jauh dari tempat ini. Diperlukan waktu sekitar lima jam lagi untuk mencapainya. Jalan ke kiri menuju ke Kawah Ratu atau puncak kedua gunung Salak. Puncak kedua ini, yang terletak pada ketinggian hampir 2100 meter adalah merupakan tujuan mereka. Menurut pak Mursyid, jarak ke kawah itu masih kira-kira satu jam perjalanan lagi dari tempat mereka saat ini.

Pak Mursyid mengingatkan agar rombongan menyiapkan masker penutup hidung untuk berjaga-jaga. Seandainya bau belerang selama mendekati kawah nanti terlalu tajam yang berarti kawah itu mengeluarkan banyak uap belerang, mereka tidak akan melanjutkan menuju kawah karena terlalu berbahaya. Sudah pernah jatuh korban dikalangan para pendaki gunung karena terhisap udara bercampur belerang. Tapi kalau bau belerang tidak terlalu keras, mereka akan meneruskan perjalanan ke sana. Hardi bertanya kenapa tujuan akhir tidak ke arah puncak gunung Salak saja. Pak Mursyid menjelaskan karena tempat itu lebih jauh dan jalan ke sana lebih berbahaya. Itulah sebabnya pak Mursyid memang tidak merencanakan untuk pergi ke puncak utama pada kesempatan ini. Kalau ingin menuju puncak utama mereka harus mempersiapkan diri untuk menginap atau berkemah.

Setelah beristirahat lebih kurang seperempat jam mereka meneruskan perjalanan itu kembali. Pak Mursyid selalu berada di depan sebagai pemimpin rombongan. Tak terasa mereka sudah berjalan selama tiga setengah jam sejak dari desa Cidahu tadi. Kalau berhasil mencapai kawah, mungkin mereka akan sampai di sana sekitar jam setengah satu siang. Anggota rombongan itu tetap bersemangat. Mereka berjalan beriring-iringan, sambil sekali-sekali masih terdengar ada yang ngobrol dan diselingi ketawa. Jalan yang terus menanjak menyebabkan suara nafas mereka terdengar gemuruh. Makin mendekati puncak, pohon-pohonan yang tumbuh di sepanjang jalan berubah menjadi semak belukar. Pemandangan ke bawah jauh lebih leluasa untuk dilihat.

Seperti yang diperkirakan, menjelang jam setengah satu akhirnya rombongan itu sampai di puncak Kawah Ratu. Terdapat tiga buah lubang kepundan atau kawah di puncak itu. Sebuah kawah yang paling besar dan dua buah kawah yang lebih kecil. Pak Mursyid menjelaskan bahwa yang disebut Kawah Ratu adalah kawah yang paling besar. Kawah itu masih aktif. Terlihat asap mengepul di bagian bawah kawah itu. Tercium bau belerang walaupun tidak terlalu keras. Satu di antara kawah yang lebih kecil juga masih aktif yang oleh masyarakat dinamai Kawah Hurip atau kawah hidup sedangkan yang satunya lagi disebut Kawah Paeh atau kawah mati. Di jalan disekitar lubang kawah terdapat pula lubang-lubang yang bagian luarnya terdapat tumpukan belerang seperti kristal berwarna kekuning-kuningan.

Setelah berada di kawasan kawah sekitar sepuluh menit pak Mursyid mengajak rombongan itu untuk terus berjalan. Mereka meninggalkan tempat itu menuju ke arah yang lebih tinggi untuk mengamati pemandangan sambil beristirahat. Tidak aman untuk berada terlalu dekat dengan kawah yang sewaktu-waktu bisa saja menghembuskan uap belerang. Kira-kira empat ratus meter ke arah puncak utama ada hamparan sempit tempat mereka dapat beristirahat dengan lebih aman. Di sana mereka beristirahat sambil makan siang.

Pemandangan sangat indah dari tempat ini. Puncak utama tidak seutuhnya terlihat karena tertutup awan. Nun ke arah selatan terlihat laut Pelabuhan Ratu, bagaikan hanya sepelemparan jaraknya. Ke arah tenggara terlihat kota Sukabumi, diikuti hamparan serta pegunungan begelombang sayup-sayup berlapis-lapis sampai berakhir ke tepi lautan Hindia. Di sebelah timur berdiri gunung Pangrango. Ke sebelah utara terlihat kota Bogor dan hamparan yang berkejar-kejaran diselingi bukit-bukit kapur ke arah Jakarta. Jalan tol Jakarta Bogor terlihat seperti seekor ular hitam panjang dan kendaraan yang bergerak melintas terlihat seperti semut beriring-iring. Hardi sibuk menjepret-jepret pemandangan yang mengagumkan itu. Diselingi memotret anggota rombongan yang ingin berfoto dengan bermacam-macam gaya. Tidak keliru Hardi membekali diri dengan tiga roll filem untuk mengabadikan acara ini. Anto juga tidak mau kalah. Meskipun dia bukan seahli Hardi dalam urusan pemotretan tapi dia menggunakan kamera digital yang lebih canggih.

Sesudah makan dan beristirahat di tempat itu sekitar satu jam mereka bersiap-siap untuk kembali pulang. Tidak lupa mereka melakukan shalat zuhur dan asar berjamaah dengan dijamak qasar meski tidak semua yang ikut shalat. Pak Sofyan yang jadi imam. Sangat beruntung karena udara tetap cerah sampai siang hari ini. Jam dua tepat mereka mulai perjalanan menurun. Jalan menurun jauh lebih mudah dan tidak menguras tenaga. Sangat berbeda dengan waktu mendaki tadi. Di tempat yang lebih terjal dan becek mereka tetap harus berhati-hati agar tidak terpeleset jatuh.

Jam setengah empat mereka sudah sampai di hutan pisang. Kali ini lebih banyak monyet-monyet bergerombol. Pantas buah-buah pisang itu umumnya ompong-ompong, karena setiap buah yang masak sudah dipanen oleh monyet-monyet itu. Rombongan itu berhenti sejenak menonton atraksi monyet-monyet yang kelihatan lebih berani dari tadi pagi. Beberapa ekor induk monyet menggendong anaknya di perut sambil tetap bergerak lincah ke sana kemari. Hardi dan Anto memotret pula monyet-monyet itu.

Setelah berhenti kira-kira sepuluh menit mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan gembira. Ada yang sambil bernyanyi-nyanyi. Tapi tiba-tiba dari arah hutan di sebelah kiri terdengar suara seperti tapak kaki binatang berlari. Pak Mursyid berteriak menyuruh rombongan itu berhenti dan waspada. Semua berhenti dan menoleh ke arah datangnya suara. Beberapa detik kemudian kelihatan dua ekor babi hutan berlari berkejaran menurun ke arah mereka, persis di bahagian depan barisan rombongan yang dipimpin pak Sofyan. Di samping pak Sofyan ada Darmanto, Wisman dan pak Darmaji. Kedua ekor babi itu berlari semakin mendekat dan tidak takut sedikitpun kepada mereka. Pak Sofyan berteriak menyuruh pak Darmaji dan Darmanto yang persis berada di hadapan kedua babi nekad itu meloncat kesamping. Kedua orang itu berhasil melompat dan menghindar dari terjangan babi. Tapi Darmanto yang meloncat ke arah pak Sofyan, tidak sengaja mendorong tubuh pak Sofyan sehingga terpeleset dan berguling jatuh ke arah jurang. Semua berteriak histeris melihat pak Sofyan terguling kira-kira sepuluh meter kedalam lembah dan akhirnya tersangkut di pangkal sebuah pohon yang menahan tubuhnya untuk jatuh lebih jauh lagi ke dalam lembah. Pristiwa itu terjadi begitu tiba-tiba dan tidak disangka-sangka. Pak Sofyan mungkin tidak sadar bahwa dia berdiri di pinggir jurang. Dinding tebing tempat dia jatuh cukup terjal dan ditumbuhi semak-semak.

No comments: