Tuesday, February 26, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.14)

14. Sendra Tari Minang

Mereka tempuh jalan yang sepi dan berkelok-kelok. Dengan kebun-kebun di pinggir jalan. Terlihat juga pohon-pohon di dalam parak itu, di bawah sorotan lampu mobil dan dibawah temaramnya cahaya bulan. Kadang-kadang terlihat parak atau kebun pisang. Kadang-kadang bersua kampung. Dan di ujung jalan yang berkelok-kelok itu, akhirnya mereka keluar di Baso. Berbelok ke kiri, di jalan yang sedikit lebih besar menuju Bukit Tinggi. Mereka mengobrol-ngobrol santai juga sepanjang jalan. Ada saja yang jadi bahan obrolan.

’Acara kita yang tertinggal mulai besok adalah ke Padang. Dan seperti rencana mula-mula, kita akan menginap semalam di Padang. Dari Padang kita akan ke Danau Kembar melalui Solok. Pulangnya melalui Solok kembali dan seterusnya menyusuri danau Singkarak, lalu terus pulang ke kampung. Satu hari lagi untuk pergi melihat-lihat objek dekat Bukit Tinggi. Termasuk makan nasi Kapau. Objek dekat Bukit Tinggi termasuk pula mengunjungi ngalau Kamang dan kolam ikan Sungai Janiah. Dan satu hari lagi untuk berbelanja di Bukit Tinggi dengan tentatif tambahan, ke Lubuk Sikaping melalui Bonjol atau melihat menhir di Koto Tinggi. Bagaimana? Kamu setuju?’ tanya Pohan.

’Kamu hebat. Kamu pantas menjadi penyelenggara pariwisata. Pengetahuanmu tentang negeri ini sangat luas. Aku senang sekali kamu bawa berkeliling-keliling mengunjungi sebegitu banyak tempat. Nah, aku usul, sebaiknya besok kita istirahat dulu. Aku ingin bercerita dan bertanya sama nenek dan etek Rasuna. Dan lagi pula kamu pasti terlalu capek menyetir tiap hari. Biar besok kita berjalan-jalan di kampung saja, melihat sawah dan kebun. Lusa kita ke Padang seperti rencana yang kamu sebut tadi. Hari Kamis kita ke Danau Kembar dan Singkarak. Jumat di sekitar Bukit Tinggi. Aku tidak akan shopping banyak kok di sini, hari Jum’at itu cukup untuk sekedar beli oleh-oleh. Dan Sabtu pagi kamu antar aku ke airport. Lubuk Sikaping atau Koto Tinggi biar jadi next visit target. Sekalian daerah Solok Selatan seperti yang kamu bilang. Aku akan kembali lagi ke sini.’

’Baiklah. Kalau kamu lebih memilih seperti itu. Sebenarnya kalau masalah capek aku sih nggak capek. Aku enjoy menyetir seperti ini. Tapi sekali lagi kalau kamu mau begitu aku juga OK saja,’ jawab Pohan.

’Aku pikir bagus begitu. Dan malam ini kita langsung ke gedung kesenian, bukan?’

’Kecuali kalau kamu sudah lapar. Kalau belum lapar, kita langsung menonton pertunjukan sendra tari Minang. Nanti sebelum pulang sekitar jam sebelas kita mampir makan nasi goreng di boffet Kubang,’ usul Pohan.

’Perfect. Kita lakukan seperti itu. Aku belum lapar.’

’Pas sekali. Sekarang baru jam delapan lebih sepuluh. Kurang dari lima menit lagi kita sampai di gedung kesenian.’

Merekapun sampai di gedung kesenian itu. Sebuah gedung tempat pertunjukan tari-tarian Minang dengan pentas yang terletak di lantai yang kerendahan dan bangku-bangku tempat duduk penonton melingkar bertingkat-tingkat. Kapasitas tempat duduk untuk penonton sekitar 300 buah bangku. Pada akhir pekan, untuk mendapatkan karcis masuk ke gedung ini harus dipesan karena semua karcis pasti habis terjual. Pada hari biasa, jumlah penonton agak kurang. Paling-paling sekitar 250 orang. Jadi pasti ada tempat kosong. Pohan segera mendapatkan dua lembar karcis di loket. Mereka dapat tempat duduk di bagian agak ke belakang. Waktu mereka memasuki ruangan, pembawa acara sedang menyampaikan penjelasan susunan acara sesudah menyampaikan kata sambutan dan ucapan selamat datang.

Dan acara tari-tarian itu segera dimulai. Mula-mula tari pasambahan. Tari selamat datang. Dibawakan oleh empat pasang penari. Tentu saja dalam pakaian Minang. Yang wanita dengan baju kurung dan bertengkuluk tanduk. Yang laki-laki berbaju hitam, berkain sarung songket setengah kaki dan berdestar. Diiringi musik talempong, bansi dan ada pula organ. Semua life show. Semua pemain musiknya berbaju hitam yang sama seperti baju penari. Sangat profesional. Semua gerak langkah penari seayun seiring. Yang wanita lemah gemulai. Dengan senyum sumringah, tapi tidak genit. Yang laki-laki dengan langkah-langkah lebih tegap terpatah-patah. Kadang-kadang menyerupai gerakan silat menghentak-hentak. Di penghujung tari, dua dari empat penari wanita itu menghantarkan carano kepada penonton yang persis duduk di paling tengah di paling depan. Di kursi kelas satu. Penonton itu sudah dibisiki agar membuka ’dalamak’ kain penutup carano dan mematah sehelai dari seikat daun sirih di dalamnya. Itu adalah ungkapan selamat datang.

Berlanjut dengan tari kedua, tanpa ada kekosongan berarti. Cukup beberapa puluh detik saja sesudah pertunjukan pertama, sekedar cukup memberi kesempatan penonton bertepuk tangan. Muncul tari payung. Bertukar penarinya. Tiga pasang kali ini. Yang laki-laki memegang payung terkembang bergerak sejajar. Yang paling kanan memutar payung di sisi sebelah kanan dengan tangan kanan. Yang disebelah kiri memutar payung di sebelah kiri. Yang di tengah menaikkan payungnya ke atas. Dengan lagu ’Ba bendi-bendi ka Sungai Tanang’. Payung-payung itu seolah roda bendi yang sedang berputar. Maju dan mundur. Menyamping ke kiri dan ke kanan. Sementara penari wanita menari meliuk-liuk di hadapan penari laki-laki. Dalam rangkaian tari yang sama diakhiri dengan ketiga pasang penari itu berjoged dalam tarian dengan masing-masing pasangan memegang seuntai sapu tangan.



Riuh rendah tepuk tangan penonton seselesainya tarian ini. Berlanjut pula dengan tari berikut. Dan berikut. Dan berikut. Di selingi pula dengan pertunjukan instrumen musik talempong dan dikombinasikan dengan tambur dan rebana. Dan ada pula dengan tiupan bansi. Yang anehnya, tak kurang ada musik yang cukup bersemangat, tidak seperti lagu saluang yang selalu merintih panjang saja. Bahkan sebagai pengantar tari-tarian itu. Seperti nyanyian yang ada baitnya berbunyi, ’din din badindin ooi, din din badindin’. Yang pada suatu ketika temponya meningkat cepat seiring dengan semakin sibuknya bertambah cepat gerakan para penari itu. Heboh namun selalu serasi.

Entah sebagai pelipur keingin tahuan Aswin tentang silat Minang, ada pula sebuah tarian yang dimainkan oleh sepasang penari laki-laki saja. Tarian yang lebih pantas disebut sebagai silat. Tapi tari, diiringi oleh musik talempong juga. Tapi silat, lengkap dengan senjata parang yang ditetakkan sungguh-sungguh. Diayunkan sungguh-sungguh. Maju menyerang. Yang satu mundur menghindar tapi berbalik mengancam. Mula-mula salah satu berhasil menetak parang lawan sehingga terlepas dari tangannya. Yang bertangan kosong ternyata lebih hebat dan berhasil merebut parang lawannya. Tapi parang yang direbut itu dibuangnya. Dan akhirnya tari yang silat atau silat yang tari itu berlanjut dengan tangan kosong. Lebih banyak gerakan tarinya kali ini. Dan mereka akhiri dengan bersalaman di penghujung musik talempong. Jadi tidak ada yang kalah tidak ada yang menang dalam silat yang tari itu.

Puncak dari segala tari itu sepertinya adalah tari piring. Dengan jumlah penari yang lebih banyak. Ada enam pasang. Yang penari wanitanya masing-masing memegang dua buah piring yang ada lilinnya menyala. Dan piring kecil itu berdencing diketuk dengan cincin besi di jari penari. Gerakan mereka meliuk-liuk dengan api lilin yang berjuang keras agar tidak padam oleh setiap ayunan tangan yang gemulai. Dan seandainya padam, dengan gerakan halus yang entah bagaimana caranya penarinya menyalakannya kembali dari api di tangan yang sebelah. Atau bahkan dari api dari penari di sebelahnya. Di tengah sibuknya ayunan langkah ke tengah dan ke tepi, seorang pembantu tampil ke atas pentas membawa sebuah karung. Yang isinya ternyata adalah beling pecahan kaca. Dan pecahan kaca itu ditumpahkannya di tengah pentas. Dan inilah dia. Penari-penari itu menari di atas pecahan kaca. Dengan langkah yang seperti itu juga ayunannya. Seperti itu juga gemulainya. Belum juga selesai. Penari laki-laki, dalam gerakan gagah dan tegapnya, kali ini berguling diatas beling pecahan kaca itu. Masya Allah. Entah dengan cara apa mereka menari ini.

Riuh rendah tepuk tangan penonton. Bagaikan mau pecah gedung kesenian. Itulah puncak acara. Sesudah itu semua pendukung acara tampil ke atas pentas. Dengan wajah sumringah penuh senyum. Dengan muka berkilat karena peluh. Diiringi musik Gelang si Paku Gelang dari musik talempong.

Di penghujung acara, sanggar penyelenggara tari ini berjualan sedikit. Menawarkan CD dari pertunjukan yang baru saja ditonton. Tentu saja berebutan yang membeli. Dan memang pantas untuk dibeli. Laku keras jualan mereka di beli penonton. Tak terkecuali Aswin.

Jam sepuluh lebih waktu acara itu selesai. Seperti rencana semula mereka pergi makan nasi goreng di boffet Kubang dekat lapangan Kantin. Sambil membahas pertunjukkan tari-tarian yang baru saja mereka tonton.

‘Pertunjukan yang sangat baik dan terlatih. Benar-benar mengagumkan,’ celetuk Aswin.

’Ya, mereka semakin profesional. Dan semakin diminati para pengunjung. Kalau ada tamu-tamu penting pemerintah daerah datang ke Sumatera Barat, group ini yang paling sering diminta mempertunjukkan tari-tarian,’ Pohan menambahkan.

‘Jadi ada banyak group penari seperti ini?’

‘Ada beberapa. Dan untuk kota-kota yang berbeda ada kelompoknya sendiri-sendiri pula. Yang satu ini adalah kebanggaan kota Bukit Tinggi.’

‘Banyak penarinya? Maksudku apakah penari yang sama saja yang muncul setiap saat?’

‘Aku rasa cukup banyak. Sehingga para penari bisa bergantian hadir tiap malam. Sebab pertunjukkan tari-tarian ini tidak ada liburnya. Selalu ada setiap malam,’ jawab Pohan.

‘Tentu mereka cukup terjamin juga hidupnya sebagai penari.’

‘Aku rasa begitu. Melihat jumlah penonton yang datang, serta dari hasil penjualan CD, cukup lumayan pemasukan keuangan kelompok tari ini.’

Mereka menikmati hidangan nasi goreng kambing boffet Kubang. Sebelum menuju pulang untuk istirahat. Hari ini juga telah berlalu dengan padat dan sangat mengesankan. Dengan begitu banyak pemandangan dan atraksi di bumi Minangkabau. Yang indah-indah semua. Seperti yang dikatakan enche dari Malaysia di Tabek Patah tadi sore. Memang bertuah Negeri Minangkabau. Dan kitapun bertuah jadi anak cucu orang Minangkabau.


*****

No comments: