Monday, November 3, 2008

SANG AMANAH (45)

(45)

‘Itu teorinya, pak. Dalam prakteknya belum tentu semua guru sanggup efisien dalam menyiapkan bahan pelajarannya,’ kata pak Muslih pula.

‘Justru itu pak. Jadi saya mengajak bapak-bapak dan ibu-ibu semua untuk mencoba berubah. Ke arah yang lebih baik. Mari kita kenali diri kita masing-masing. Apakah yang kita lakukan selama ini sudah maksimal atau masih mungkin untuk ditingkatkan. Dan kalau masih mungkin mari kita tingkatkan. Dengan niat yang tulus. Terus terang, saya tidak mengajak bapak-bapak dan ibu-ibu semua untuk mengejar prestasi untuk menjadikan sekolah ini nanti menjadi sekolah unggulan atau sekolah favorit. Saya hanya mengajak untuk berbuat maksimal dan setelah itu mari kita lihat hasilnya. Karena yang kita lakukan adalah tugas kita sebagai guru. Jadi mari kita laksanakan tugas kita ini dengan ikhlas dan dengan sebaik yang kita mampu,’ kata pak Umar pula.

‘Saya juga ingin bertanya, pak,’ kata pak Sofyan

‘Silahkan pak Sofyan!’

‘Mengenai kebiasaan nyontek, pak. Sangsi apa saja yang bisa kita jatuhkan kalau kedapatan anak-anak itu masih nyontek?’

‘Baru-baru ini saya kebetulan melihat praktek nyontek ini di satu kelas. Maaf, kebetulan guru yang bersangkutan sepertinya memang memberi kesempatan mereka nyontek. Pak gurunya waktu itu asyik membaca koran. Selama hampir lima menit saya mengamati anak-anak itu berbuat tidak jujur. Dan itu dilakukan oleh hampir semua murid yang dapat terlihat oleh saya. Lalu saya masuk ke kelas tersebut, saya suruh mereka mengumpulkan kertas ujian. Sesudah itu saya suruh mengeluarkan kertas baru, dan mengulangi mengerjakan soal-soal ujian tersebut di bawah pengawasan saya dan pak gurunya. Semua jadi tidak berkutik. Ini adalah contoh sebuah terapi. Kalau pak Sofyan yakin melihat seorang anak mencontek, ambil kertas ujiannya dengan hasil contekan itu, robek di depan dia, dan suruh dia mengulangi mengerjakan. Dan tentu saja awasi sesudah itu. Cara seperti ini mudah-mudahan bisa jadi pelajaran untuk yang lain. Kedapatan nyontek, sita kertas ujian yang sudah dia buat, robek, dan silahkan ulangi kembali,’ kata pak Umar.

‘Baik, pak. Saya pikir memang sebuah metoda yang jitu dan mendidik. Tentu akan lebih baik kalau hal itu diumumkan sebelum ujian dimulai,’ kata pak Sofyan.

‘Benar. Itu artinya kita lebih adil. Kita beri tahukan aturan main yang jelas. Kalau masih nekad, ya silahkan hadapi resiko,’ pak Umar menambahkan.

‘Pertanyaan lagi pak,’ kembali pak Muslih mengangkat tangan. ‘Bagaimana kalau disaat-saat terakhir jam ujian contek mencontek itu mereka lakukan? Atau katakanlah misalnya mereka tertangkap saat waktu sudah tinggal lima menit?’

‘Kita harus tegas, pak. Harus tegas dan tidak boleh setengah-setengah. Penegakan peraturan itu kadang-kadang memang berhadapan dengan suasana yang ragu-ragu seperti itu. Kita harus tegas, dengan catatan kita sudah memberi tahukan sejak awal, bahwa setiap murid menghadapi resiko kertas ujiannya disobek kalau ketahuan nyontek, meskipun itu sudah di saat-saat terakhir. Jadi harap maklum, begitu pak,’ jawab pak Umar.

‘Sekarang bagaimana kalau ketahuan guru yang membiarkan muridnya nyontek pak?’ tanya pak Muslih lagi.

Gerrrrr. Guru-guru ketawa mendengar pertanyaan pak Muslih ini.

‘Pertanyaan ini terdengar lucu, tapi mengandung nilai kebenaran. Terus terang saya akan menegor kalau ada di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang sengaja membiarkan anak-anak itu nyontek. Karena dengan berbuat seperti itu berarti yang bersangkutan menunjukkan ketidak-bertanggung-jawabannya dengan amanah yang diembannya. Karena berarti dia sengaja membiarkan murid-muridnya berlaku curang. Sengaja membiarkan anak-anak itu rusak moralnya,’ jawab pak Umar.

‘Maaf, pak. Apa benar ada hubungan antara nyontek dengan rusaknya moral?’ tanya pak Mursyid.

‘Saya yakin begitu. Pada saat seseorang berlaku curang dia sudah menunjukkan gejala kerusakan moralnya. Nyontek jelas perlakuan tidak jujur alias curang,’ jawab pak Umar.

‘Bagaimana kalau ada seseorang meniru hasil karya orang lain pak? Misalnya dalam usaha pembuatan suatu produk tertentu,’ tanya pak Mursyid sengaja agak menyimpang dari pokok masalah.

‘Pertanyaan pak Mursyid sebenarnya agak keluar jalur pembahasan kita. Kita membahas kebiasaan nyontek dikalangan murid-murid. Tapi baiklah. Meniru suatu produk itu jelas ada sangsinya kalau yang memproduksi pertama sudah mendaftarkan hak patennya,’ pak Umar mencoba menjelaskan.

‘Saya ada pertanyaan dan usul pak,’ kata ibu Purwati.

‘Silahkan, bu,’ kata pak Umar.

‘Pertanyaan saya apakah bapak akan terus menerus melakukan, maaf, intervensi, maksud saya seperti masuk ke kelas yang di dalamnya ada guru? Apakah tidak sebaiknya kalau memang bapak menemukan sesuatu yang janggal lalu membicarakannya secara pribadi dengan guru yang bersangkutan? Masalahnya, dengan cara-cara yang bapak tunjukkan, saya khawatir banyak guru-guru yang tidak suka sebab menjatuhkan wibawa mereka di hadapan murid. Jadi mohon penjelasannya pak,’ kata ibu Purwati.

‘Baik, sebelum saya jawab mungkin ada bapak-bapak dan ibu-ibu lain yang mau menambahkan?’ tanya pak Umar.

‘Saya, pak,’ kata pak Situmorang. ‘Tadinya saya juga termasuk yang agak keberatan dengan cara-cara bapak, seperti yang dikatakan ibu Purwati itu. Kita inikan bukan baru sekarangnya jadi guru. Tapi setelah saya pikir-pikir, rasanya ada pulaknya benarnya cara yang bapak lakukan itu. Untuk ‘shock therapy’. Karena kenyataannya, dengan tidak diawasi selama ini memang ada kecenderungan kita guru-guru ini, hanya sekedar melepas hutang saja. Kurang serius. Sehingga tanpa kita sadari terjadilah hal-hal yang tidak pantas seperti kata bapak tadi itu. Paling tidak mulai sekarang kita sadar bahwa kita diawasi, dan kalau kita tidak ingin wibawa kita jatuh macam kata ibu Purwati barusan, berusahalah kita baik-baik. Itu sajanya pak,’ kata pak Situmorang.

‘Yang lain?’ tanya pak Umar pula.

‘Saya juga ada yang ingin ditanyakan pak,’ giliran pak Tisna. ‘Selama beberapa hari bapak telah mengamati kami-kami ini, apakah ini akan berpengaruh kepada kondite atau penilaian terhadap kami? Itu saja pak,’ kata pak Tisna.

‘Baiklah, sementara saya tanggapi dulu satu persatu. Pertama untuk ibu Purwati. Saya sangat setuju dengan pendapat ibu bahwa kalau ada hal-hal yang kurang tepat dari cara mengajar bapak-bapak atau ibu-ibu sebaiknya saya beri tahukan langsung kepada yang bersangkutan secara pribadi. Insya Allah hal ini akan saya lakukan pada masa mendatang. Kecuali kalau sifatnya sudah merupakan pelanggaran umum dan melibatkan murid-murid. Tegasnya seperti kasus murid nyontek yang dibiarkan. Kalau saya tidak bertindak langsung pada waktu itu, momen ini hilang. Tentu bukti nyonteknya anak-anak itu tidak kelihatan lagi. Itulah sebabnya saya lakukan tindakan segera pada waktu itu. Begitu juga kalau saya sampai menyaksikan dalam kelas ada adegan yang tidak pada tempatnya, tentu terlambat kalau saya menunggu dulu kesempatan untuk berbicara secara pribadi dengan gurunya. Pernah juga saya masuk ke dalam kelas yang sangat ribut dan sangat tidak tertib, padahal ada guru di dalamnya. Mohon hendaknya hal ini mendapat perhatian setiap guru, untuk bisa menertibkan kelasnya. Karena kalau tidak ditertibkan akan mengganggu ke kelas di sebelah menyebelah. Jadi kasus-kasus yang seperti itu memang agak perkecualian. Untuk yang akan datangpun kalau kasusnya seperti itu, atau sejenis dengan itu, kalau telihat oleh saya maka saya harus mengambil tindakan.

Ada kasus yang lebih sederhana dari itu. Misalnya seperti cara mengajar yang kurang terarah atau kurang dedikatif, sudah pula saya catat, tapi belum saya sampaikan kepada guru yang bersangkutan. Atau pengerjaan latihan soal-soal yang semrawut yang tidak tepat sasaran dan kurang mendapat pengawasan dari guru. Ringkasnya banyak kasus-kasus yang memang perlu kita benahi, namun sementara ini masih belum dibahas.

Kemudian saran atau pendapat pak Situmorang tentang tugas pengawasan, rasanya bukan sesuatu yang berlebih-lebihan. Saya rasa memang itulah tugas dan tanggung jawab saya. Namun di samping itu, saya tidak mau bapak-bapak dan ibu-ibu punya kesan bahwa saya ini adalah bos yang otoriter. Kita semua adalah sama-sama guru-guru yang bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan di sekolah ini. Marilah kita pikul tanggung jawab ini dengan bergotong royong.

Sekalian menjawab pertanyaan pak Tisna, saya tidak ingin menjadi penghalang kemajuan karir bapak-bapak dan ibu-ibu sebagai guru. Saya tidak akan merugikan bapak-bapak dan ibu-ibu dengan masalah kondite apalagi untuk hal-hal yang sudah berlalu. Untuk masa yang akan datang, saya hanya akan menegor jika saya yakin bahwa ada di antara bapak-bapak dan ibu-ibu yang bersalah. Sayapun insya Allah akan terbuka untuk saran dan kritikan yang sifatnya membangun. Jadi tujuannya adalah untuk saling mengingatkan, agar jangan sampai ada yang terperosok kepada kekeliruan. Saya berharap agar kita bisa menjaga kekompakan dalam sebuah tim kerja sama. Itulah tanggapan saya untuk ketiga pertanyaan tadi. Mungkin masih ada pertanyaan lain? Silahkan disampaikan!’ kata pak Umar.

‘Usul, pak,’ giliran ibu Sofni angkat bicara.

‘Silahkan ibu Sofni!’

‘Saya mengusulkan agar diberikan penilaian juga terhadap guru-guru dan sekaligus penghargaan dalam bentuk apalah misalnya…, bagi guru-guru yang membuktikan diri mereka mampu meningkatkan efisiensi. Mungkin cara seperti ini akan memotivasi kita sebagai guru-guru dalam meningkatkan mutu.’

‘Saya rasa usulan yang sangat baik. Meskipun kita harus menyadari bahwa prestasi kita sebagai guru, sebagai pegawai negeri tentu tidak mungkin dinilai dengan uang. Tapi usulan ibu Sofni sangat baik sekali. Kita bisa memberikan predikat sebagai guru teladan di sekolah kita, dan bahkan bisa kita informasikan sampai ke tingkat Dirjen Pendidikan. Mudah-mudahan membantu untuk mempercepat kenaikan pangkat, misalnya.’

‘Saya juga ada usul, pak,’ kata pak Muslih. ‘Untuk penilaian terhadap guru-guru, kita bisa meminta murid-murid untuk menilai dan menentukan siapa guru favorit mereka. Tentu saja dengan penilaian yang memenuhi syarat. Misalnya bapak guru ‘A’ karena cara mengajarnya mudah dimengerti. Atau ibu guru ‘B’ karena selalu tepat waktu, dan sebagainya. Jadi bukan bapak guru ‘A’ karena dia ganteng, atau ibu guru ‘B’ karena dia cantik.’

‘Saya rasa ini usul yang baik juga. Mungkin ada yang ingin mengomentari?’ tanya pak Umar.

‘Saya pak,’ kata pak Hardjono. ‘Apakah tidak rancu nanti jadinya pak? Kalau murid-murid yang banyak itu diminta memberikan penilaian terhadap guru-guru, lalu siapa yang akan memeriksa cara penilaian mereka? Apakah akan ada lagi dari guru-guru yang akan ditugaskan menilai kembali penilaian murid? Saya usul agar diadakan angket saja. Dengan pertanyaan yang sederhana, tapi kita para guru-guru yang menyiapkan. Misalnya dengan pertanyaan, guru mana yang pelajarannya mudah dimengerti, guru mana yang sangat disiplin dengan waktu, guru mana yang penilaiannya baik, guru mana yang pemalas, guru mana yang tidak disiplin, guru mana yang galak dan sebagainya. Setelah itu kita guru-guru bersama-sama dengan perwakilan murid memeriksa hasil angket itu.’

‘Saya pikir yang disampaikan pak Hardjono sangat baik. Secara teknis bisa kita diskusikan lagi nanti cara melaksanakannya. Mudah-mudahan semua sepakat dengan pemikiran untuk membiarkan masing-masing kita diawasi oleh sesama guru, serta oleh murid-murid. Tujuannya adalah untuk mengingatkan semua guru-guru di sekolah ini meningkatkan disiplin dan tanggung jawab. Baiklah kalau begitu, masih ada pertanyaan untuk masalah lain dari bahasan umum kita hari ini?’ tanya pak Umar.

Ternyata sudah tidak ada pertanyaan. Rapat itu dinyatakan selesai dengan kesimpulan, staf guru-guru diharuskan meningkatkan efisiensi, disiplin dan ketegasan dalam cara mengajar untuk memacu prestasi murid-murid.

Sebagian guru-guru itu, yang selama ini memang kurang bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas semakin sadar bahwa mereka jadi sorotan dan perhatian pak Umar sejak kepemimpinannya di sekolah ini. Tapi umumnya mereka dapat menerima cara pendekatan yang dilakukan pak Umar. Bahwa banyak di antara guru-guru itu asal-asalan dalam menjalankan tugas sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di kalangan mereka. Sesudah mendengar peringatan dan himbauan pak Umar untuk berubah ke arah yang lebih baik, ada yang menyambutnya dengan niat ingin berubah, namun ada pula yang masih ingin melihat, sejauh mana kesungguh-sungguhan pak Umar menginginkan perubahan tersebut. Siapa tahu gebrakan ini hanya hangat-hangat tahi ayam.


*****

No comments: