Tuesday, March 4, 2008

KETUPAT LEBARAN (1428)

KETUPAT LEBARAN (1428)

Anak muda Ketua Remaja Mesjid itu menatapku tajam. Terlihat rona gusar di wajahnya yang biasa penuh semangat. Aku sudah menduga apa yang ada dalam hatinya. Dia pasti kecewa, karena tahun ini jamaah mesjid kami akan berbagi lagi dalam merayakan hari raya Idul Fitri, tanggal 1 Syawal. Kami, para jamaah mesjid baru saja terlibat dalam sebuah diskusi, dalam sebuah musyawarah, tentang bagaimana menyikapi kenyataan bahwa hari raya tahun ini kembali terpecah. Sebagian akan merayakannya sesudah selesai dengan 29 hari berpuasa, sementara sebagian yang lain akan menggenapkan bilangan puasa mereka menjadi 30 hari. Seperti tahun-tahun lalu ketika hal yang sama muncul, sebagian dari jamaah berkeyakinan bahwa mereka wajib mentaati ’ulil amri’ alias pemerintah yang berkuasa. Yang lain beralasan bahwa perhitungan matematis yang dilakukan oleh ahli hitung lebih patut ditaati karena ahli hitung itu tidak mungkin mengada-ada, ditambah pula oleh ketentuan agama bahwa berpuasa pada tanggal 1 Syawal haram hukumnya. Kedua-dua pendapat itu sah-sah belaka.

Dalam hal seperti ini aku selalu berusaha menempatkan diri di tengah-tengah. Tidak memihak kemanapun, meski aku tentu saja mempunyai pilihanku sendiri. Aku selalu mempersilahkan setiap pribadi mengikuti jalan mana yang mereka yakini, mau berhari raya besok atau mau menambah puasa satu hari lagi. Anak muda itu masih sekali-sekali mencuri pandang kepadaku. Sepertinya dia menginginkan agar aku, sebagai ketua pengurus mesjid, lebih tegas dalam bersikap. Tapi aku memang tidak mau bergeser dari tempatku berpijak. Aku tidak akan memutuskan sesuatu secara sefihak, yang justru akan memperuncing perselisihan.

Dalam musyawarah yang nyaris agak emosional dan baru saja selesai, masih terngiang di telingaku, betapa kerasnya keyakinan pak Daud yang mengatakan bahwa perintah mentaati ’ulil amri min kum’ itu adalah perintah al Quran. Dan dia menyitir ayat itu, Yaa ayyuhallatziina aamanuu, athiiulLaaha wa athiiur rasuula wa ulil amri minkum. (Surah An Nisaa ayat 59). Namun alasan yang diberikan pak Suhaili tidak kalah bernasnya. Katanya, ’ulil amri’ kita terkesan tidak konsisten. Pemerintah sebenarnya sudah menetapkan hari-hari besar agama, dan tentu saja termasuk hari besar Islam, dalam kalender resmi. Ketetapan atas hari-hari besar itu dikeluarkan dengan surat keputusan menteri agama. Artinya pemerintah sudah membuat perhitungan atau menghisab jauh hari sebelumnya. Tapi selalu saja, setiap akan memulai awal bulan puasa atau hari raya, pemerintah mengakomodir kembali metoda rukyat. Tidak ada yang salah dengan metoda rukyat itu kecuali bahwa me’rukyat’ atau melihat anak bulan yang ukurannya super mini, waktunya hanya beberapa puluh detik, di langit yang hampir selalu ditutupi awan adalah pekerjaan yang lebih banyak kemungkinan gagalnya. Dan biasanya lagi, pemerintah akan mengumumkan bahwa berhubung karena anak bulan belum terlihat maka perhitungan bulan baru ditunda menjadi keesokan harinya. Arti menunda sampai besok itu sama saja dengan menyesuaikan dengan yang sudah tertera di penanggalan, seperti yang juga terjadi pada tahun ini.

Musyawarah kami tadi diakhiri dengan kesepakatan bahwa masing-masing jamaah bebas untuk memilih. Mau berhari raya besok atau lusa silahkan. Silahkan disesuaikan dengan keyakinan hati nurani masing-masing. Inilah yang ditentang oleh anak muda ketua Remaja Mesjid.

Anak muda itu akhirnya datang mendekatiku dan kami terlibat lagi dalam perbincangan.

’Maaf, pak. Bapak sendiri, seperti bapak katakan akan berhari raya besok bukan?’ katanya memulai.

’Benar. Insya Allah begitu,’ jawabku.

’Bapak sependapat dengan pak Suhaili?’ tanyanya pula.

’Saya sependapat dengan hasil hisab,’ jawabku pula.

’Bukankah keterangan pak Suhaili lebih masuk di akal? Dan ternyata bapakpun sependapat untuk mempercayai hasil perhitungan. Kenapa bapak tidak menetapkan saja, bahwa mesjid kita ini berhari raya besok? Bapak berikan alasan seperti yang diberikan pak Suhaili, insya Allah jamaah akan mengikuti bapak,’ desaknya.

’Tidak bisa demikian. Kenyataannya, kebanyakan jamaah cenderung menunggu keputusan pemerintah. Bukankah telah kamu lihat bahwa kita bermusyawarah secara baik-baik dan masing-masing pihak mempunyai alasan dan keyakinan yang berbeda? Dan disamping itu pula, ini adalah masalah keyakinan, dan saya tidak boleh melawan keyakinan mayoritas jamaah. Kita semua sudah mendengar semua alasan dan keterangan maka sekarang terpulang kepada hati nurani kita masing-masing,’ aku mencoba menjelaskan.

’Kalau menurut bapak bagaimana hukumnya seandainya kita masih berpuasa besok?’ tanyanya lagi.

’Bagi saya, yang berkeyakinan bahwa besok adalah tanggal 1 Syawal, haram hukumnya berpuasa.’

’Nah, buat jamaah yang lain itu? Kalau besok mereka berpuasa, apakah tidak haram hukumnya?’

’Kalau menurut keyakinan mereka besok belum tanggal 1 Syawal, lalu mereka berpuasa tidak ada masalah buat mereka.’

’Tapi ada yang berkeyakinan bahwa besok memang sudah tanggal 1 Syawal, tapi mereka masih saja mau taat kepada ’ulil amri’. Yang seperti ini bagaimana menurut bapak?’ tanyanya setengah menjebak.

’Apakah kamu yakin ada yang seperti itu? Yang saya simak adalah pernyataan pak Daud bahwa kita tidak mempunyai keahlian, maka kita serahkan saja kepada petugas ’ulil amri’ dan kita taati ’ulil amri’. Seperti itu yang saya dengar.’

’Tapi bukankah dengan demikian kita tidak tegas? Kita tidak punya keahlian. Ada orang yang mempunyai keahlian, mereka melakukan hisab atau perhitungan, tapi kita tidak mau menerima hasil perhitungan mereka. Tapi mau menerima keputusan ’ulil amri’ yang berdalih karena hilal tidak terlihat sebab tertutup awan?’

’Untuk diri saya, maka saya sependapat dengan kamu. Saya percaya kepada perhitungan ahli hisab itu. Itu sebabnya saya berhari raya besok,’ jawabku pula.

’Dan bapak tidak mau mengajak jamaah mesjid ini mengikuti bapak?’

’Saya sudah menyatakan terang-terangan bahwa besok saya tidak akan puasa lagi. Tapi saya tidak bisa memaksa-maksa atau memprovokasi jamaah lain agar mengikuti saya. Tidak mungkin itu saya lakukan. Tapi kalau ada di antara mereka mau ikut, silahkan. Saya tidak mungkin pula melarangnya.’

’Sayang sekali, pak. Apakah umat Islam di negeri kita akan begini terus? Selalu sulit dipersatukan?’ ungkapnya kecewa.

’Mudah-mudahan satu saat nanti akan ada perubahan. Mudah-mudahan ada jalan keluarnya,’ jawabku asal-asalan.

’Apakah bapak melihat jalan keluar itu?’ tanyanya lagi.

’Mungkin suatu saat nanti pemerintah bisa lebih tegas. Misalnya, diawali dengan mengajak para ahli hisab untuk bersama-sama menghitung peredaran bulan dalam satu tahun. Persis seperti yang dilakukan pemerintah ketika akan menetapkan hari-hari besar. Pemerintah seyogianya melibatkan sebanyak mungkin ahli hisab yang mewakili setiap organisasi massa umat Islam. Sesudah dimusyawarahkan seperti itu, baru dituntaskan dan ditetapkan dengan sebuah ketetapan pemerintah yang tidak boleh lagi dibatalkan. Tentu saja pemerintah harus pula mensosialisasikan kenyataan bahwa untuk melihat bulan di penghujung setiap bulan qamariah itu, lebih banyak kemungkinan gagalnya karena negeri kita sangat berawan. Nah, kalau sudah ditetapkan begitu, tidak boleh ada lagi perhitungan susulan. Tidak boleh ada lagi yang membatalkan ketetapan itu. Dengan demikian barulah semua orang harus benar-benar tunduk kepada keputusan pemerintah. Keputusan ’ulil amri’. Begitu pendapat saya,’ aku mencoba menjelaskan panjang lebar.

’Wah. Bukankah itu sebuah jalan keluar yang sangat elok pak. Kenapa tidak bapak usulkan saja langsung kepada pemerintah agar melakukan seperti itu?’

’Nantilah, kalau saya sudah berkenalan dengan salah seorang menteri,’ jawabku tersenyum.

’Betul, pak. Pendapat bapak itu sangat masuk akal. Dan mudah-mudahan dengan cara seperti itu tidak akan ada lagi jamaah dalam satu mesjid berhariraya di hari yang berbeda,’ tambahnya bersemangat.

Malam harinya, sesudah shalat isya, aku meninggalkan mesjid ketika jamaah bersiap-siap akan melakukan shalat tarawih. Shalat tarawih mereka yang terakhir. Ada beberapa orang jamaah lain yang juga ikut keluar. Aku menggumamkan takbir dalam hati disela-sela langkahku menuju rumah. Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar, Laa ilaaha illa ‘Llaahu wAllahu Akbar – Allaahu Akbar waliLlaahil hamd. Allaahu Akbar – Allaahu Akbar – Allaahu Akbar Allaahu Akbar Kabiiran, walhamdu liLlaahi katsiiran, wa subhanaLlaahi bukratan wa ashiila, Laa ilaaha illa ‘Llaahu wAllaahu Akbar – Allaahu Akbar waliLlaahil hamd.

Allah Maha Besar, segala puji hanya kepunyaan Allah. Takbir yang menggema, kali ini hanya dalam rongga dadaku saja

Jatibening, awal Syawal 1428H.


*****

No comments: