Tuesday, March 25, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (24)

24. Masjidil Haram


Hari Sabtu subuh saya kembali shalat di tempat nostalgia saya di depan sisi ka’bah berpancoran emas. Selesai shalat tahajud dan witir saya duduk dalam zikir. Saya kelupaan kacamata lagi. Di samping saya duduk seorang jamaah dari Cina, juga sedang berdiam diri, mungkin dalam zikir pula. Saya setengah melamun, mengingat ketika tahun sembilan puluh dulu, pada suatu pagi, saat kami sedang bertadarus sesudah shalat subuh di tempat ini. Tiba-tiba datang serombongan yang terdiri dari empat orang Indonesia, satu laki-laki dan tiga perempuan, terlibat perbincangan yang segera saja menarik perhatian saya waktu itu. ‘Ya ini dia. Silahkan saja dicoba. Kan untuk iseng saja,’ kata yang laki-laki sambil menunjuk ke sebuah tiang. Yang wanita tersipu dan malu-malu, sambil pura-pura membantah, tapi lalu memeluk tiang itu. Setelah itu, setelah yang wanita berhasil memeluk dengan mempertemukan kedua tangannya dengan melingkari tiang tadi, yang laki-laki berkata, ’Nah tu kan?? Mudah-mudahan deh. Insya Allah tercapai yang diinginkan.’

Saya baru mengerti setelah diceritakan oleh jamaah Indonesia yang lain bahwa tiang itu adalah tiang jin namanya. Ada kepercayaan karut yang jelas-jelas cenderung kepada kesyirikan, bahwa siapa yang berazam, berkeinginan di dalam hatinya, lalu memeluk tiang itu dan berhasil, maka niat atau azamnya itu akan tercapai. Entah dari mana datangnya keyakinan seperti itu. Dan saya tidak tahu apakah keyakinan seperti itu ada juga pada jamaah dari negara lain atau hanya dikalangan jamaah Indonesia saja. Lalu kepercayaan itu ada pada orang yang baru saja melaksanakan ibadah haji. Alangkah sayangnya.

Sedang saya melamun mengingat-ingat itu, jamaah dari Cina di sebelah saya membaca ayat-ayat awal surah al Baqarah luar kepala. Perhatian saya beralih kepadanya. Saya simak bacaannya itu. Baru-baru beberapa ayat dia tertegun. Mungkin lupa. Dia coba mengulangi ayat yang sama, tapi sampai bagian yang tadi terhenti lagi. Saya bacakan bagian yang dia lupa itu. Dia menoleh kepada saya sambil tersenyum, lalu meneruskan bacaannya. Beberapa ayat kemudian macet lagi. Saya betulkan lagi. Dia berhenti sebentar. Setelah itu dia mengaji lagi, kali ini dia baca surah pertama juz amma. Amma yatasaa aluun.... dan seterusnya. Cukup lancar bacaannya.

Masih beberapa saat sebelum azan dia sudah berhenti mengaji. Waktu saya menoleh kepadanya, dia sodorkan tangannya untuk bersalaman. Saya menyalaminya. Saya tanyakan, ‘Xin Jiang?’ Dia mengangguk, tapi kemudian ditambahnya. Turki. Xin Jiang – Turki. Mungkin maksudnya dia lebih baik mengaku Turki. Dia bertanya dengan bahasanya yang tidak saya fahami sambil menunjuk kepada saya. Saya rasa dia ingin menanyakan dari mana saya berasal. Saya jawab, Indonesia. Dia tersenyum. Lalu bertanya lagi patah-patah, Indonesia... kullu muslim? Saya jawab dengan isyarat 90 persen. Dia mengangguk.

Tidak lama kemudian azan subuh berkumandang. Kami shalat qabliyah subuh. Jadi perhatian saya pula, jarak antara azan dan iqamat di Masjidil Haram ini rata-rata sangat ringkas. Pada waktu subuh agak lumayan, bisa untuk shalat sunah fajar dua rakaat dengan santai dan sesudah itu masih menunggu sebentar sebelum iqamat. Pada waktu shalat zuhur, kalau saya shalat qabliyah dua kali dua rakaat, waktunya pas-pasan. Bahkan pernah, sebelum saya selesai shalat muazin sudah iqamat. Pada waktu shalat ashar pas-pasan untuk shalat dua rakaat yang ringkas. Pada waktu maghrib kita tidak bisa shalat sunat sama sekali. Kali pertama saya shalat maghrib disini, saya shalat sunat sebelum maghrib, maksudnya shalat tahyatul masjid yang tertunda. Baru satu rakaat, muazin sudah iqamat. Besoknya saya tidak mau shalat sunat lagi. Pada waktu shalat isya juga lebih baik tidak shalat sunat karena jarak antara azan dan iqamat juga sangat dekat.

Sesudah shalat subuh dan zikir saya bergegas pulang. Rasanya badan saya masih belum sehat betul. Nanti siang rencananya akan menemani si Sulung thawaf dan sa’i karena ternyata kemarin siang dia belum bersih. Mudah-mudahan hari ini dia sudah bisa menyelesaikan rangkaian ibadah hajinya. Sesampai di hotel saya lebih banyak beristirahat dan mengaji. Tadarusan saya sudah juz dua puluh enam. Semakin optimis bisa menyelelesaikannya sebelum berangkat dari Makkah hari Selasa mendatang.

Sesudah zuhur saya menemani si Sulung thawaf. Dia kelihatan agak lemah tapi memaksakan thawaf karena yakin sudah bersih. Menurut dia biasanya di sekitar waktu ‘periode’ dia memang seringkali lemah dan pucat. Kami thawaf di tengah-tengah jamaah yang tetap saja ramai. Kami bergerak perlahan-lahan dan kadang-kadang malahan terdesak-desak khususnya ketika mendekati garis coklat. Setiap kali saya lirik keadaan si Sulung. Kelihatannya memang dia agak lemah. Setelah selesai putaran kelima, dia menanyakan apakah kita boleh beristirahat dulu. Saya tanyakan apakah dia sudah tidak kuat meneruskan. Dia bilang ingin berhenti dulu agak sebentar. Saya bilang, kalau begitu kita teruskan putaran ini, nanti kita beristirahat dekat tangga sambil minum air zam-zam. Sesudah minum kalau masih sanggup kita teruskan, tapi kalau sudah tidak kuat kita berhenti. Dia setuju dan itu yang kami lakukan. Saya suruh dia duduk di sisi tangga dan saya pergi mengambil air zam-zam. Saya biarkan dia duduk beberapa saat lagi sesudah minum. Dia menanyakan berapa putaran lagi yang harus diselesaikan dan saya jawab, satu setengah lagi. Dia merasa sanggup meneruskan. Kami kembali masuk jalur meneruskan satu setengah putaran yang terakhir. Alhamdulillah dengan selamat.

Hari baru jam setengah tiga sore. Kami pulang dulu ke hotel dan berencana mengerjakan sa’i nanti sehabis maghrib. Dan sa’i itu kami lakukan di lantai dua sesudah shalat maghrib. Si Sulung lebih kuat saat itu. Dia tidak lagi kelihatan pucat seperti tadi. Kami lakukan sa’i dengan tenang dan santai. Ada seorang jamaah wanita tua dari Turki, berjalan terbungkuk-bungkuk tapi kuat luar biasa. Dia berjalan di dalam jalur kursi roda. Setiap kali diperingatkan orang mendorong kursi roda, ‘hajjah..hajjah...’ dia cepat-cepat menepi. Gerakan tuanya yang kuat itu menimbulkan simpati saya melihatnya.

Kami selesai sa’i beberapa menit sebelum azan isya. Istri saya dan si Tengah sudah duduk menunggu waktu shalat dekat Marwa. Si Sulung segera bergabung dengan mereka dan saya mencari tempat agak ke depan. Sesudah shalat isya kami kembali ke hotel. Akhirnya selesailah semua anggota rombongan saya menyelesaikan ibadah haji. Tinggal thawaf wada’ yang menjadi kewajiban kami yang terakhir nanti hari Selasa insya Allah.



*****

No comments: