Friday, February 29, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.29)

29. Gulai Itik Koto Gadang

Jam setengah lima mereka sudah sampai di rumah. Masih sangat siang. Etek justru terheran-heran melihatnya.

’Dari mana kalian? Atau mau pergi lagi sesudah ini?’ tanya etek.

’Kami sudah menyelesaikan semua program. Kami baru saja dari Sungai Janiah. Tadi pagi ke Ngalau Kamang,’ Pohan menjelaskan.

’Apa kalian sudah lapar? Tapi masak iya sih, sudah lapar jam segini?’

’Belum, tek. Kami mau berjalan-jalan melihat sawah,’ jawab Aswin.

’Atau kalian mau minum teh dulu? Etek membuat ketan dan kolak pisang. Mau mencicipinya sekarang?’ tanya etek.

’Kalau itu sih boleh, kayaknya. Dan Mr. Aswin tidak minum teh, dia minum kopi,’ kata Pohan.

Nenek terbangun dari tidur siang. Beliaupun heran melihat anak-anak muda ini cepat pulang.

’Anto capek pulang? Kama pai saariko?’ tanya nenek.

Aswin menceritakan tentang perjalanan mereka sehari ini. Dan mereka ’minum kawa’ berempat, makan ketan dan kolak pisang, sambil mengobrol-ngobrol. Menurut nenek, cerita ikan Sungai Janiah itu termasuk pembodohan yang keterusan. Di tempat lain, seperti di Palupuh, di jalan ke Lubuk Sikaping juga ada ikan sakti dengan cerita yang lain pula. Intinya, ikan itu tidak boleh dimakan. Mungkin awalnya dulu adalah untuk melarang masyarakat agar tidak sembarangan mengambil ikan. Di tempat lain juga ada terdapat ikan ’larangan’, tapi lebih masuk di akal karena larangan itu berlaku pada waktu tertentu saja. Sekali setahun larangan itu dibatalkan dan penduduk boleh mengambil ikan. Ini lebih cerdas. Larangan-larangan itu mungkin berasal dari seseorang yang berpengaruh. Oleh bawahannya dikarang cerita, seolah-olah ikan itu sakti, atau ikan itu berasal dari manusia agar orang tidak mau memakannya. Di mana-mana tidak pernah terjadi manusia berubah jadi ikan, dan cerita itu tidak mungkin di terima akal. Dan pembodohan itu berketerusan sampai sekarang.

’Kok dicakau ikan tu, sudah tu digulai, amuah enek mamakan?’ tanya Pohan.

’Amuah. Baa lo kaindak amuah. Pai lah cakau kian, bao pulang!’ kata nenek, tersenyum.

Pohan juga tersenyum.

Aswin mengerti maksudnya, bahwa nenek mau memakan ikan Sungai Janiah itu kalau digulai.

’Seandainya ikan Sungai Janiah digulai etek kamu mau nggak memakannya?’ tanya Pohan kepada Aswin.

’Jelas mau. Dan ikan seperti yang kita lihat tadi itu pasti enak sekali kalau digulai,’ jawab Aswin.

Sesudah ’minum kawa’ kedua anak muda itu pamit mau berjalan-jalan ke sawah di dekat kampung. Berjalan di pematang-pematang sawah. Melihat pemandangan gunung Singgalang dan Marapi. Sawah yang padinya masih hijau. Membentang luas petak demi petak. Mereka bertemu dengan orang-orang kampung. Yang menyapa mereka dengan ramah. Mereka berjalan-jalan pula memudiki jalan-jalan kampung. Melihat rumah adat Minangkabau berukir-ukir di tengah kampung. Di dekat rumah adat itu mereka bertemu dengan seorang tua yang disapa Pohan dengan mak Sutan.

’Iko kan nan anak Tan Muncak, Pohan. Siapo namo?’

’Iyo mak Sutan. Namono Aswin,’ jawab Pohan.

Aswin menyalami orang tua itu.

’Lai pandai babahaso awak?’ tanya mak Sutan.

’Tidak pandai, mak Sutan,’ jawab Aswin.

’Bagaimana kabar ayah? Ada sehat-sehat saja dia. Sudah lama dia tidak pulang-pulang.’

‘Beliau baik-baik saja. Masih tetap bekerja sampai sekarang,’ jawab Aswin.

‘Dimana tempat dia merantau di Amerika tu gerangan?’

‘Beliau di San Francisco. Saya di Los Angeles,’ jawab Aswin.

‘Jauh jaraknya tu?’

‘Tidak terlalu jauh. Dengan pesawat bisa dicapai dalam empat puluh menit.’

‘Ada lama, cuti. Pabila balik kesana?’

‘Besok, mak Sutan,’ jawab Aswin.

‘He yayai, sudah mau balik saja kiranya? Ambo sangka mau lama di kampung. Tolong sampaikan salam ambo ka Tan Muncak ya. Katakan dari Pak Amir Sutan Mantari. Saya ini teman main beliau ketika kecil-kecil dulu. Berbapak memanggil saya. Kalau Pohan iya bermamak,’ kata orang tua itu.

’Baik, pak Sutan,’ jawab Aswin, tersipu.

Mereka berpisah dengan pak atau mak Sutan. Sore itu mereka shalat maghrib di mesjid. Sesudah shalat langsung pulang.

Sesudah shalat isya baru mereka makan. Acara makan malam jo gulai itiak Koto Gadang yang sudah diprogram sejak tadi subuh. Ternyata memang ’dua jempol naik’ rasanya. Best of best, kata Aswin. Tidak terlalu pedas seperti yang di kedai di Ngarai Sianok. Tapi sangat menggigit enak rasanya. Dan terpaksalah Aswin bertambuh pula makan.

’Benar-benar berdaso, tek. Benar-benar enak,’ kata Aswin, sesudah kekenyangan.

’He..he..he.. Pandai betul kamu memuji. Kalau tidak dilarang membawa masuk barang makanan di Amerika sana, etek bungkuskan untuk ayahmu. Gulai itik ini masih bisa tahan sampai dua tiga hari. Yang di kedai di ngarai itu di bawa orang sampai ke Irian.’

’Ya, sayang betul. Petugas custom di sana sangat tegas dan ketat. Tidak boleh barang makanan dibawa masuk.’

’Suruah sin lah no pulang. Ndak taragak bagaino jo ambo. Suruah no pulang, mak,’ kata nenek.

Aswin tersenyum-senyum mendengar.

’Kata nenek, bilang ke ayahmu agar pulang kampung. Masa dia nggak rindu sama nenek,’ etek menterjemahkan.

Sedang mereka berbincang-bincang santai itu berbunyi telpon. Rupanya, subhanallah, dari ayah Aswin. Dari San Francisco. Etek yang mengangkat.

’Kami baru kasudah makan. Panjang umua ambo Muncak, sadang kami pakecek-an ambo sabantako. Ka mangariman gulai itiak untuak ambo. Nan kecek si Aswin indak buliah dibao masuak di sinan......’

Ayah berbicara dengan etek, dengan nenek, dengan Pohan sebelum berbicara dengan Aswin. Tadinya ayah sekedar mengecek, apakah Aswin jadi berangkat besok.

’Bagaimana nek? Sudah nenek bilang langsung menyuruh ayah pulang?’ tanya Aswin.

’Alah. Jadih jano,’ jawab nenek.

’Ya, kata ayahmu memang dia kepingin pula pulang kampung. Sudah sangat rindu, katanya,’ etek menambahkan.

’Saya yakin, kali ini ayah akan benar-benar pulang. Kalau bilang rindu sudah keseringan. Tapi belum pernah kesampaian. Nanti kalau sudah mendengar cerita saya, tentang kenyamanan di sini, mudah-mudahan ayah akan lebih tergugah,’ kata Aswin.

’Sudah berapa tahun mak dang nggak pulang tek?’ tanya Pohan.

’Sejak di Amerika hanya pulang sekali dan itupun hanya sebentar. Ketika mak tuo Zainab, ibu beliau meninggal. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu.’

’Ya, betul. Sepuluh tahun yang lalu. Ayah pulang sendirian selama seminggu,’ kata Aswin menambahkan.

’Dan ibumu, belum pernah sekali juga ke kampung ini. Kan iyo, mak? Alun panah ceuk Lilis tu kamari?’ tanya etek kepada nenek.

’Alun. Alun panah lai,’ jawab nenek.

’Kalau ayah pulang kampung saya yakin bersama-sama ibu. Ibu juga selalu bilang sangat ingin jalan-jalan ke negeri Minangkabau.’

Mereka berbincang-bincang santai malam ini. Menghotar ke sana ke mari. Sampai jam sepuluh malam. Sebelum pergi tidur etek bertanya.

’Besok jam berapa kalian mau berangkat dari rumah?’

’Jam berapa bagusnya Pohan? Pesawat take off jam 3 sore,’ Aswin minta pendapat Pohan.

’Ke Bandara perlu 75 menit dari sini. Kamu harus sudah di Bandara sebelum jam dua siang. Lebih baik kita berangkat agak cepat. Jam dua belas misalnya.’

’Ya. OK kalau begitu.’

’Pagi sudah tidak kemana-mana, kan?’ tanya etek.

’Tidaklah, tek. Biar sekalian berangkat saja.’

*****

No comments: