Saturday, November 22, 2008

SANG AMANAH (69)

(69)

16. Korban Narkoba (2)

Malam ini udara terasa sejuk. Mungkin karena tadi sore sempat turun hujan meski tidak terlalu deras. Langit sangat cerah dan dipenuhi taburan bintang-bintang. Hari sudah jam setengah sepuluh malam dan suasana di kompleks itu sudah sepi. Dari rumah pak Umar, pak Rahardjo bersama adik iparnya kolonel Sudibyo kembali berjalan menuju ke rumahnya di blok K No. 2. Sambil berjalan pelan-pelan mereka melanjutkan pembicaraan yang mereka bicarakan di rumah pak Umar sebelumnya.

‘Ketahuannya bagaimana sih, dik? Kok cerita ini tiba-tiba saja muncul?’ pak Rahardjo memulai obrolan sambil mereka berjalan.

‘Ya, aku ngertine sesudah ditelpon kepala sekolah SMU 235 itu mas. Kira-kira sebulan yang lalu. Priyo itu ngakune sakit. Lha, tak tanya betul-betul sakit apa? Memang kadang-kadang anak itu nggak bangun-bangun dari tempat tidur. Katanya suka pusing-pusing. Tak suruh bawa ke dokter. Katanya dik Yayu, kata dokter nggak apa-apa, paling cuma masuk angin. Tapi makin hari tak deloki, bocah iki kok ya makin aneh. Nah, biasanya dia itu kan dekat sama aku. Suka banyak cerita, suka laporan macem-macem. Tak pancing-pancing. Kamu ini kenapa? Apa ada masalah? Apa ada yang ndak beres di sekolah? Kok sampai dua minggu ndak masuk itu kemana saja? Pelan-pelan akhirnya terbongkar juga. Katanya waktu itu diajak iseng karo konco-konco. Mula-mula ngisap ganja. Wadduh, mas. Aku ndengernya, langsung mau pingsan rasane. Aku tahu bocah iki kadang-kadang nyuri-nyuri ngerokok. Aku pernah dilapori Slamet, sopirku itu. Waktu itu tak pikir biar saja. Biar dia nanti ngerti sendiri kalau ngerokok itu ndak baik. Itu barangkali salahku. Rupanya, dari nyoba rokok meningkat dhadi ngisap ganja itu, karo konco-konco. Ini pengakuannya sama aku. Akhirnya semua dicoba. Yo pil, yo serbuk, terakhir ya itu, suntik-suntikan itu. Waktu denger ceritane iku, aku ndak bludruk bae, yo udah benar-benar mu’jijat. Kepalaku udah cekot-cekot rasane. Tak tanya dik Yayu apa de’e ngerti anake wis rak karuan ngono. Dia masih bilang, masak sih. Bilang ke saya, ‘mas ini terlalu berlebih-lebihan. Priyo itu tidak senekad itu’. Lha, tadi pagi. Ngelihat kejadian sudah seperti itu, baru mingkem. Tadi waktu di jalan ke sini, tak tanya, apa de’e ngerti hari-hari pertama Priyo mangkir, ndak sekolah. Dia bilang tahu sih, tapi waktu itu katanya sakit,’ kolonel Sudibyo bercerita panjang.

‘Kapan kira-kira dia mulai berurusan dengan ganja dan sebagainya itu?’ tanya pak Rahardjo pula.

‘Dari ceritanya, sejak liburan kenaikan kelas dulu. Sudah kira-kira empat bulanan. Waktu itu mereka pergi jalan-jalan ke Yogya. Rupanya di sana saling adu sableng. Siapa yang nyangka jadi keterusan begitu. ‘

‘Sudah agak lama rupanya. Waktu itu, ke Yogya ndak sama guru?’

‘Yo ndak. Bocah-bocah iku bae. Ceritane sudah naikan kelas, kepingin santai-santai. Kepingin jalan-jalan. Yo dikasih. Rupanya di sana mula-mula kena.’

‘Terus, pulang dari Yogya sudah langsung kecanduan?’

‘Yo, barangkali begitu. Malah setelah itu mungkin semakin berani. Berani nyoba yang namanya macem-macem.’

‘Barang-barang begitu kan dibeli. Dan harganya pasti mahal. Apa Priyo selalu dikasih uang banyak?’

‘Ya itu dia mas. Aku baru ngerti cerita sebenarnya tadi sore. Terbongkarnya baru tadi sama dik Yayu. Katanya dik Yayu, memang habis liburan itu minta uangnya makin edan-edanan. Selalu ada saja alasannya. Katanya waktu di Yogya tempohari, mobil yang mereka sewa, meski disupirin, nabrak orang, jadi mereka harus urunan buat membantu pengobatan orang yang ketabrak itu. Soalnya kasihan supirnya ndak mampu membiayai. Kedengerannya kan baik. Sosial sekali. Untuk amal. Untuk nulungin orang. Ya dikasih duit karo dik Yayu. Ndak taunya itu bohong. Ngapusi. ‘

‘Taunya ngapusi?’ tanya pak Rahardjo.

‘Kebetulan dik Yayu ketemu sama jeng Sum, mamanya temannya Priyo yang katanya sama-sama pergi ke Yogya. Tetangga satu kompleks. Mereka ngobrol ngalor ngidul, sampai urusan orang yang katanya kena tabrak mobil sewaan di Yogya. Lha, jeng Sum itu cerita kok kata anaknya justru Priyo yang kecopetan di Yogya. Kok anaknya bilang uangnya habis karena dipinjam Priyo karena kecopetan itu. Anak itu malah ndak pernah cerita ada yang tabrakan. Lalu sama-sama nanya ke anak masing-masing. Dik Yayu nanya buat negesin ke Priyo, apa betul dia kecopetan. Mulai bingung. Mula-mula bilang ndak. Abis itu eh, iya. Terus ditanya, apa betul ada yang ketabrak di Yogya. Mula-mula iya. Terus eh, ndak. Yang ketabrak itu sodara temannya. Pokoknya ceritane ngawur, rak karuan.’

‘Dik Yayu ndak ngomong sama kamu?’

‘Ngomongnya baru tadi itu. Selama ini ditutup-tutupin. Biasa mas, wong wedhok, suka tidak berterus terang. Kalau sudah ngawur begini baru nyesel. Terus nangis. Tapi mau apa lagi? Nasi sudah jadi bubur. Aku biar kesel bagaimana mau ngapain? Biar aku marah-marah kemana-mana juga sudah ndak ada gunanya. Ndak ada artinya. ’

Tak terasa mereka sudah sampai kembali di rumah pak Rahardjo. Di dalam rumah masih ada saudara-saudara dari istri pak Rahardjo berbincang-bincang. Istri pak Rahardjo sedang berbicara-bicara pula dengan ibu Sudibyo.

Pak Rahardjo dan kolonel Sudibyo lalu duduk di teras depan. Pembicaraan tadi masih dilanjutkan setengah berbisik-bisik.

‘Saya pikir memang harus diambil tindakan yang tepat, dik. Biar Priyo dirawat di panti rehabilitasi itu saja. Saya dengar ada panti yang cukup baik dan berhasil menyembuhkan korban seperti itu. Mungkin saja awal-awalnya anak itu akan sedikit menderita di sana. Karena kabarnya cara pengobatan itu dengan mengurangi ketergantungan pasien secara pelan-pelan. Jadi mereka tetap dikasih…apa namanya itu… ya madat itu… tapi jumlahnya dikurangi bertahap dan ngasihnya ditunggu sampai benar-benar sudah sangat ketagihan. Saya rasa itu jalan yang terbaik yang bisa ditempuh. Dan kita bantu dengan doa,’ pak Rahardjo menasihati adik iparnya itu.

‘Aku yo sependapat mas. Tadi aku sudah bilang begitu sama dik Yayu. Tapi dia itu masih ragu-ragu. Katanya cukup kita saja mengawasi di rumah.’

‘Ya ndak mungkin. Kalau di rumah pasti kita tidak akan tega. Ndak sanggup melihat dia menderita waktu ketagihan, merasa kasihan, salah-salah malah makin dikasih. Kalaupun sanggup tidak memberinya di rumah, kita juga tidak akan tega mengurungnya. Dia akan tetap bebas keluar rumah. Kalau lagi kebelet, lagi ketagihan, dia masih bisa menghilang sebentar untuk mendapatkannya,’ tambah pak Rahardjo.

‘Ya memang bakalan seperti itu. Biar deh mas, coba nanti tak bilangin lagi. Payah memang, wanito iku terlalu menggunakan perasaan.’

‘Ya, ya. Nanti saya juga akan bilang sama dik Yayu. Pokoknya harus diambil tindakan cepat dan tepat, sebelum terlambat.’

‘Bagus juga kalau mas Har bantu ngomong ke dik Yayu. Biar de’e ndak ragu-ragu terus. Kalau mas Har sempat mungkin baik juga kalau mas datang ke rumah, ndeloki bocah Priyo iku. Mungkin bisa memberi nasihat tambahan ngono. De’e karo mas kan biasane sangat hormat,’ usul kolonel Sudibyo.

‘Boleh, boleh. Biar besok saya jalan ke sana deh sore-sore,’ jawab pak Rahardjo.


*****


Agak lama pak Umar termangu-mangu di ruang tamu setelah kedua tamu tadi pergi. Dia merenung kepedihan yang dirasakan oleh kolonel Sudibyo atas nasib yang menimpa anaknya. Tentulah orang itu sangat kecewa dan terpukul waktu menyadari anak kesayangannya jadi korban penggunaan obat-obat terlarang seperti itu. Anak yang diharapkan akan mengukir prestasi dalam pendidikannya. Anak yang konon tadinya seorang murid pintar di sekolah, tahu-tahu terperosok kedalam pergaulan yang keliru, lalu menjadi ketagihan obat bius. Dia baru mengetahui apa yang menimpa anaknya ketika keadaan anak itu sudah kronis, sudah menjadi pemakai dan pencandu berat benda laknat itu.

Kejadian seperti yang dialami anak kolonel Sudibyo itu merupakan ancaman besar terhadap generasi muda negeri ini. Penyalahgunaan dalam memakai obat-obat terlarang yang mengandung unsur yang dapat merusak mental dan fisik para penggunanya. Tidak sedikit di antara mereka yang terlibat sebagai pemakai itu yang menemui ajalnya secara tragis setelah fisik dan mental mereka hancur pelan-pelan. Masalah penyalahgunaan narkoba ini sungguh sangat mengerikan sekaligus menjengkelkan. Menjengkelkan karena pengedaran benda terkutuk itu dilakukan oleh sindikat yang mempunyai jaringan yang sulit dilacak secara tuntas. Biasanya yang tertangkap hanyalah jaringan paling luar, yakni para pengedar dan para pemakainya, sementara pemasok yang berada di belakangnya sangat licin dan jarang sekali yang tertangkap oleh aparat hukum. Jaringan sindikat itu sangat tidak berperikemanusian karena tega menghancurkan masa depan anak-anak muda. Bahkan akhir-akahir ini mereka semakin berani dan nekad dalam menjalankan aksinya. Korban yang jatuh terus bertambah dari ke hari, sementara usaha pihak yang berwajib untuk menangkal kelihatannya belum cukup efektif. Pak Umar teringat kasus yang menimpa muridnya Arif, yang nyaris jadi korban keganasan anggota sindikat pengedar obat terlarang itu.

Memikirkan hal itu, tak terasa pak Umar bergidik sendiri. Betapa mengerikan seandainya salah satu anaknya sampai terlibat dalam penggunaan obat-obat terlarang seperti itu. Dan hal itu bukan sesuatu yang mustahil untuk terjadi mengingat usaha nekad para pengedar narkoba yang mau berbuat apa saja dalam menjalankan aksinya. Beberapa saat kemudian pak Umar tersentak dari rasa takut yang menderanya dan dia beristighfar. Akhirnya hanya Allah-lah yang sebaik-baik tempat berlindung dan hanya kepada Nya pak Umar ingin mengadukan perasaan takut dan khawatirnya. Segera dia pergi berwudhu. Lalu melakukan shalat sunat dua rakaat yang dilanjutkannya dengan berdoa bersungguh-sungguh kepada Allah. Dia memohon perlindungan kepada Allah bagi keluarganya. Dan minta pertolongan kepada Allah untuk melindungi murid-muridnya. Dia memohon kepada Allah agar mereka semua terhindar dari pengaruh jahat penyalahgunaan narkoba. Air mata pak Umar bercucuran mengiringi doanya yang khusyuk. Dia juga mendoakan keselamatan anak kolonel Sudibyo tadi. Kiranya Allah melindungi dan menyelamatkan anak yang malang itu dari kehancuran. Dari kebinasaan.

Di ujung kekhusyukan doa panjang tadi akhirnya dia terkulai rebah dan tertidur di sajadahnya yang basah oleh tetesan air mata. Pak Umar tertidur pulas sampai dibangunkan ibu Fat, istrinya, setelah lewat tengah malam. Ibu Fat merasa heran ketika dia terbangun dan tidak mendapatkan suaminya tidur di kamar. Dia lebih heran lagi melihat suaminya tertidur di sajadah di ruangan luar. Segera sesudah itu suami istri itu melakukan shalat malam berdua dengan khusyuk. Seselesai shalat mereka berbincang-bincang yang diawali oleh pertanyaan ibu Fat.

No comments: