Sunday, December 21, 2008

SANG AMANAH (101)

(101)

Jam dua lebih sepuluh siang. Hujan baru agak reda sesudah dari pagi turun tidak berhenti-henti meskipun tidak lebat. Murid-murid SMU 369 baru saja bubar. Mereka bergegas ingin cepat-cepat pulang mumpung hujan agak reda. Kebetulan siang ini tidak ada kegiatan kelas tambahan untuk anak kelas tiga. Hari Rabu memang biasanya kelas itu tidak ada. Gitopun bergegas pulang. Dia biasanya berjalan kaki saja, karena memang rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Gito berjalan tergesa-gesa menuju jalan raya Kali Malang, lalu menyeberanginya.

Jalan Kali Malang sedang macet-macetnya. Begini biasanya kalau musim hujan dan pas siang-siang begini. Tapi yang macet hanya yang dari arah Bekasi sementara arah sebaliknya kosong. Ada dua jajar mobil merayap pelan-pelan menuju ke arah Halim karena macet. Gito menyeberang di belakang kendaraan yang sedang macet itu, lalu menoleh ke kiri melihat arus lalu lintas dari arah sebaliknya yang ternyata kosong. Waktu dia mau melangkah untuk menyeberang, sebuah angkot datang dari arah Bekasi dengan laju, menggunakan jalur kosong itu. Sopir angkot itu terlambat melihat Gito dan tak ayal lalu menabraknya meski dia sudah berusaha membanting stir ke kanan. Gito jatuh terhempas dan kepalanya membentur salah satu mobil yang sedang antri dalam kemacetan. Dia langsung pingsan. Orang-orang langsung berkerumun datang menolong. Teman-teman Gito, murid SMU 369 segera menggotongnya. Sopir angkot bandel yang mencuri jalur itu, tidak berani melarikan diri. Dia membantu mengangkat tubuh Gito ke mobil angkotnya untuk diantarkan ke rumah sakit. Dengan ditemani murid-murid SMU 369, termasuk di antaranya Arif, Gito diantarkan ke rumah sakit Harmoni. Dia langsung dibawa ke unit Gawat Darurat.

Pak Umar yang diberitahu salah seorang murid tentang kecelakaan itu, bergegas menyusul ke rumah sakit Harmoni. Waktu beliau sampai di sana, Gito masih pingsan. Dia tidak mengalami luka-luka, tapi dokter menyimpulkan bahwa dia mengalami pendarahan dalam kepala akibat benturan waktu dia jatuh tadi. Menurut dokter dia harus dioperasi tapi operasi itu tidak mungkin dilakukan di rumah sakit Harmoni. Peralatan untuk operasi seperti itu tidak ada di rumah sakit ini. Dokter itu menyarankan agar Gito dibawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara yang peralatannya jauh lebih baik.

Pak Umar belum bisa memutuskan sendiri. Dia ingin berunding dulu dengan orang tua Suwagito. Bagaimana cara menghubungi orang tuanya itu? Pak Umar yang melihat Arif masih berada di rumah sakit itu menanyakan apakah Arif tahu alamat orang tua Gito. Dan Arif mengetahuinya. Pak Umar meminta agar Arif menghubungi orang tua Gito. Arif langsung berangkat ke rumah Gito naik ojek.

Dua puluh menit kemudian ayah dan ibu Suwagito sampai di rumah sakit Harmoni. Kebetulan ayah Gito baru saja pulang dari menarik taksi siang itu untuk makan siang. Mendengar berita yang disampaikan Arif mereka bergegas ke rumah sakit. Ibunya menangis histeris melihat keadaan Gito seperti itu. Pak Umar mengingatkan ibu itu agar bersabar.

Pak Umar mengajak ayah Gito untuk berunding keluar menyampaikan apa yang tadi diberitahu oleh dokter rumah sakit itu. Pak Slamet ayah Gito kebingungan mendengar yang disampaikan pak Umar. Dari penampilan pak Slamet dengan seragam sopir taksi seperti itu pak Umar sadar bahwa urusan biaya operasi itu bukan hal yang mudah bagi orang tua ini. Mereka berdua kembali menghadap dokter jaga tadi untuk berkonsultasi.

‘Pak dokter, ini orang tua dari pasien tadi. Bisa tolong pak dokter jelaskan kembali bagaimana keadaan Suwagito?’

‘Begini pak. Dia itu mengalami benturan cukup serius di kepalanya. Ada memar yang terlihat di bagian belakang kepala dekat kuping sebelah kiri. Saya khawatir luka di dalamnya lebih serius lagi. Kalau menurut pengamatan saya dia itu harus dioperasi. Tadi sudah saya sampaikan bahwa operasi seperti itu tidak mungkin dikerjakan di rumah sakit ini. Saya anjurkan untuk dibawa ke rumah sakit Keluarga Sejahtera di Jatinegara.’

‘Tidak adakah kemungkinan dia disembuhkan tanpa di operasi?’ tanya pak Umar.

‘Saya khawatir tidak ada pak. Darah menggumpal cukup banyak di bagian belakang kepala itu. Darah yang menggumpal itu harus di keluarkan dengan di operasi. Karena di bagian itu tidak banyak pembuluh darah yang dapat mengalirkan darah yang bergumpal tersebut,’ jawab dokter itu pula.

‘Ya sudahlah pak. Saya akan jual rumah yang kami tempati sekarang untuk menyelamatkan anak saya Gito,’ ujar pak Slamet sendu.

Mereka sepakat memindahkan Suwagito ke rumah sakit Keluarga Sejahtera. Pak Umar ikut menemani sampai ke sana. Sampai di rumah sakit itu mereka segera dihadapkan kepada kenyataan yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. Kepada pak Slamet diminta menyerahkan uang jaminan sebanyak empat juta rupiah kalau ingin anaknya di rawat di rumah sakit itu. Pak Slamet hampir saja menyerah dan ingin membawa saja anaknya pulang. Air mata laki-laki itu berlinang menghadapi kenyataan seperti itu. Pak Umar tidak mau menyerah. Anak ini harus diselamatkan. Pak Umar pergi menghadap direktur rumah sakit itu. Dengan jaminan pak Umar bahwa uang sebanyak itu akan diserahkannya besok, akhirnya Suwagito baru diijinkan dirawat di sana. Tapi sebelumnya sempat terjadi perdebatan panjang dengan direktur rumah sakit itu.

‘Itu sudah merupakan aturan di sini pak. Bukan apa-apa, rumah sakit ini tidak bisa dijalankan tanpa biaya. Kalau tidak ada uang jaminan, setelah anak bapak sembuh, lalu bapak diam-diam pergi siapa yang bertanggung jawab? Sering terjadi kasus penipuan seperti itu. Jadi kami tidak mau mengambil resiko,’ ungkap direktur rumah sakit itu.

‘Tapi ini darurat pak. Anak itu harus segera ditolong. Harus segera diselamatkan. Saya berjanji, insya Allah besok pagi saya serahkan uang jaminan empat juta itu ke rumah sakit ini,’ desak pak Umar.

‘Katanya itu bukan anak bapak? Kenapa bapak yang akan membayarnya besok?’ tanyanya lagi.

‘Saya gurunya. Anak itu murid saya. Murid saya yang baru keluar dari sekolah mengalami kecelakaan di jalan raya dekat sekolah saya. Saya akan membawa uang jaminan itu besok. Saya tidak punya uang itu dikantong saya sekarang. Uang itu bisa saya ambil di bank besok pagi dan saya antarkan ke sini,’ ujar pak Umar dengan suara bergetar.

‘Bapak kepala sekolahnya?’

‘Iya, saya kepala sekolahnya. Saya yang akan menjamin anak itu. Meski jaminan saya saat ini hanya bisa saya ucapkan dengan kata-kata. Atau bapak mau menyita Vespa saya?’

‘Vespa?’

‘Ya, kendaraan saya. Vespa. Mungkin harganya tidak sampai empat juta. Saya bersedia meninggalkannya di sini kalau bapak mau,’ desak pak Umar.

‘Bapak…………, sungguhan kepala sekolah anak itu?’ tanya direktur itu ragu-ragu sambil menatap tajam ke arah Pak Umar.

‘Astaghfirullah….. Ini pak, kartu pegawai saya. Ini KTP saya,’ ujar pak Umar sambil mengeluarkan surat-surat itu dari dompetnya,

‘Dan harus bapak ketahui, kalau anak itu harus dioperasi biaya operasinya akan lebih besar lagi.’

Pak Umar terdiam. Dia tidak punya bayangan dengan cara apa dia akan membantu seandainya biaya operasi itu memang jauh lebih besar. Tadi orang tua Suwagito bilang mau menjual rumahnya. Darimana akan mendapatkan pembeli secara mendadak? Uang empat juta dia yakin punya. Dia akan kumpulkan semua tabungan mereka sekeluarga, uang sebanyak itu mudah-mudahan ada. Tidak ada gunanya uang itu disimpan-simpan jika ada yang sangat membutuhkan seperti saat ini.

Atau barangkali dia minta tolong ke pak Suryanto? Ayah Adrianto itu mungkin bisa menolong pak Slamet yang malang ini, membeli rumahnya. Ah, biar satu-satu dulu. Biar dengan empat juta ini saja dulu. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kemudahan pula sesudah itu.

Direktur itu memperhatikan pak Umar yang tengah melamun beberapa saat. Timbul juga simpatinya. Orang ini pastilah orang baik. Yang mau berkorban untuk muridnya. Padahal ayah anak tadi itu, sopir taksi tadi itu, kelihatan sudah menyerah, tapi dia masih tetap gigih. Kepala sekolah SMU? Pakai Vespa? Sepertinya orang ini memang agak istimewa.

‘Begini saja, pak. Saya percaya dengan jaminan bapak. Pasien itu akan kami urus. Perlu di observasi dulu sehari ini paling tidak apakah memang bisa dioperasi. Artinya, kalau akan dioperasi nggak bakalan sebelum besok siang. Bapak punya waktu untuk mencari biaya tambahan. Jadi tolong besok bapak serahkan uang jaminan yang empat juta itu. Besok bapak akan diberitahu berapa uang jaminan untuk melakukan tindakan operasi. Bapak puas?’ tanya direktur rumah sakit itu.

‘Ya. Baik, pak. Terima kasih banyak. Saya akan menepati yang saya janjikan dan saya akan berusaha mencari biaya tambahan itu besok insya Allah,’ jawab pak Umar.

*****

Gito masih pingsan sampai keesokan harinya. Dia diinfus. Sepintas terlihat seperti orang tidur, tak berdaya. Tapi tarikan nafasnya teratur. Dia di tempatkan di bangsal, di ruang kelas tiga bersama-sama pasien-pasien lain. Ibu Gito menungguinya sejak kemarin, sambil sekali-sekali berurai air mata. Ah, kalau musibah akan datang. Tidak ada firasat, tidak ada tanda-tanda, tiba-tiba dia muncul begitu saja.

Jam sembilan pagi pak Umar sudah sampai di rumah sakit Keluarga Sejahtera itu. Diantarkan pak Slamet yang masih terbingung-bingung saja. Tadi mereka pergi ke Bank Muamalat di Bekasi. Pak Umar mengambil tabungan mereka sekeluarga berlima, untuk mendapatkan uang empat juta rupiah. Tabungan mereka bersisa seratus dua puluh delapan ribu setelah uang itu diambil.

Pak Umar menyerahkan uang itu di kasir rumah sakit. Kasir itu menyerahkan tanda terima. Tanda terima itu dibawa pak Umar ke direktur rumah sakit untuk mengambil kembali KTPnya yang kemarin ditinggalkannya di sana. Direktur itu semakin kagum saja. Orang ini memang luar biasa, katanya dalam hati.

‘Menurut laporan yang saya terima pagi ini, anak itu masih pingsan. Dokter-dokter di sini sudah mengobservasinya. Anak itu cukup sehat untuk dioperasi. Maksudnya, tekanan darahnya normal. Dan kelihatannya memang operasi itu satu-satunya jalan. Kelihatannya terjadi penyumbatan pada pembuluh darah ke otak akibat darah beku di kepala itu. Kalau darah beku itu bisa dikeluarkan, mudah-mudahan aliran darah ke otak yang sementara ini tersendat bisa lancar kembali. Demikian laporan yang saya dapatkan. Lalu mengenai biaya, saya akan bertoleransi dengan bapak. Artinya, saya bisa membebaskan biaya rumah sakit. Tapi bapak tetap dikenakan biaya obat, dokter-dokter dan perawatan. Biaya operasi itu normalnya sekitar dua puluh juta rupiah. Saya akan usahakan menekan serendah mungkin. Tapi masih tetap akan dikisaran dua belas sampai lima belas juta rupiah. Dan saya tidak akan mintakan uang jaminan, asal bapak bisa kembali menjamin seperti kemarin. Saya beri tempo bapak untuk melunasinya sekitar satu bulan. Apakah bapak sanggup?’ tanya direktur itu mengakhiri keterangannya.

‘Saya akan rundingkan sebentar dengan ayah anak itu,’ jawab pak Umar.

‘Apakah ayahnya ada di sini?’

‘Ya, dia ada di sini. Tadi kami datang bersama-sama,’ jawab pak Umar.

‘Silahkan bapak rundingkan. Beritahu saya keputusannya segera. Rencananya pasien itu akan dioperasi jam sebelas sebentar lagi,’ ujar direktur.

Pak Umar keluar mendapatkan pak Slamet. Dia menjelaskan apa yang baru saja disampaikan direktur rumah sakit itu.

‘Iya sajalah, pak. Biarlah saya usahakan menjual rumah saya itu segera. Saya kenal saudara teman sesama sopir taksi yang biasa tempat kami berhutang. Mudah-mudahan dia mau membeli rumah itu seharga itu,’ ujar pak Slamet.

‘Apa rencana pak Slamet sesudah rumah itu dijual? Dimana akan tinggal?’ tanya pak Umar.

‘Soal mudah itu pak. Saya akan mengontrak lagi. Dulu juga saya biasanya ngontrak bulanan sebelum mampu membeli rumah itu,’ jawab pak Slamet.

‘Baik, kalau begitu. Kita pastikan dulu ke direktur rumah sakit ini bahwa kita setuju. Urusan berikutnya nanti kita selesaikan pelan-pelan,’ ujar pak Umar.


*****

2 comments:

keeperprancis said...

Cerita yang bagus

M.D. Saib Lembang Alam said...

Syukurlah kalau anda menyukainya...