Tuesday, December 18, 2007

PULANG KAMPUNG


PULANG KAMPUNG

Marzaini tidak dapat menyembunyikan rasa gelisahnya. Keringatnya bercucuran. Padahal udara di ruang tunggu berAC itu sangat nyaman. Dadanya berdebar-debar. Pikirannya menerawangi bayang-bayang gelap tentang kampung. Yang paling menyedihkan dalam pikirannya adalah kenyataan bahwa rumah tempat dia dulu dibesarkan tidak ada lagi. Mak dan ayah memang sudah tidak ada. Dia menyadari itu. Tapi rumah itu. Dia tidak akan melihat rumah mak itu lagi. Entah sudah seperti apa bangkalai perumahan itu agaknya kini. Lalu apa saja yang akan dilihatnya di kampung? Rasanya lebih baik dia tidak usah melihat dengan mata kepalanya pemandangan yang pasti memilukan itu.

Masih terngiang-ngiang di telinganya perbincangan dengan anaknya beberapa minggu yang lalu. Ketika dia berusaha keras menolak rencana anak-anaknya untuk ikut pulang kampung. Sebenarnya sudah sejak lama dan berkali-kali anak-anaknya mengajak hal yang sama. Selama ini selalu ada saja alasannya untuk menolak. Bahkan dahulu, ketika anak-anak masih kecil-kecil, ketika mereka merengek minta dibawa mengunjungi nenek mereka, selalu ditolaknya dengan alasan kesibukan.

Waktu itu, dia adalah seorang pegawai rendah di sebuah perusahaan ekspedisi dengan gaji pas-pasan. Hampir tidak pernah dia mengambil cuti atau berlibur, karena gajinya seolah-olah dihitung harian. Maksudnya, uang makan dan uang transpor yang dibayarkan induk semangnya disesuaikan dengan kehadiran di kantor. Uang tambahan itu sangat bermakna untuk penambah biaya hidup serta biaya sekolah anak-anaknya. Itulah sebabnya dia tidak pernah sempat membawa keluarganya pulang ke kampung.

Bahkan selama merantau di Jakarta sejak empat puluh lima tahun yang lampau Marzaini hanya pernah sekali saja pulang. Dua puluh tahun yang lalu ketika ibunya berpulang kerahmatullah. Dengan kapal Kambuna. Itupun seminggu sesudah ibunya dimakamkan. Itupun sesudah dua puluh lima tahun lebih merantau ke Jakarta. Dan ketika itu tentu saja dia masih pulang ke rumah mak. Rumah masa kanak-kanaknya. Dia masih bertemu dengan beberapa orang teman bermainnya.

Alhamdulillah, kegigihan membela pendidikan anak-anaknya membuahkan hasil. Tiga orang anak-anaknya sudah menamatkan pendidikan mereka di perguruan tinggi dan ketiganya bahkan sudah bekerja dan berkeluarga pula. Dua orang anaknya tinggal dan bekerja di Jakarta sedang si Bungsu tinggal di Surabaya. Sejak anaknya yang pertama mulai bekerja lebih sepuluh tahun yang lalu, si Sulung itu beberapa kali mengajak pergi menziarahi makam neneknya. Namun Marzaini entah kenapa selalu menolak.

Baru kali inilah akhirnya dia menyerah. Mengangguk ketika si Buyung Gadang untuk ke sekian kali mengajaknya lagi. Sesudah melalui sebuah diskusi panjang. Dan itu terjadi seminggu yang lalu.

‘Saya akan segera mengambil cuti, ayah. Ayolah ayah, kita kunjungi kampung yang selalu ayah ceritakan keindahannya ketika kami masih kanak-kanak dulu. Saya ingin menunjukkan keelokan negeri itu kepada Lastri,’ ajak si Buyung Pamenan, anaknya yang nomor dua.

‘Sebenarnya, sejujurnya ayah merasa malu. Kemana akan ayah bawa kalian di kampung itu? Rumah nenekmu sudah tidak ada. Sudah dibongkar pak etekmu lebih sepuluh tahun yang lalu karena memang sudah lapuk tak terurus. Ke kampung ibumu lebih parah lagi. Rumah gadangnya sudah terpanggang lima belas tahun yang lalu dan di perumahan itu sekarang kabarnya penuh dengan semak belukar,’ jawab Marzaini.

‘Dulu kata ayah masih ada saudara-saudara sepupu ayah yang tinggal di kampung. Apakah kita tidak boleh bertamu ke rumah mereka?’

‘Sekarang sudah tidak ada. Mereka sudah habis pergi merantau. Rumah-rumah mereka tinggal terkunci semua.’

Tapi kali ini ada usulan baru dari si Buyung Gadang, anaknya yang sulung itu. Mereka akan menginap di hotel di Bukit Tinggi. Mereka akan menyewa mobil untuk sekedar berziarah ke kampung dan setelah itu mereka akan pergi melancong ke tempat-tempat wisata di ranah Minang. Marzaini mula-mula masih menolak. Itu hanya akan membuang-buang uang saja. Kalau kalian ingin juga pergi biarlah kalian sekeluarga saja yang pergi, usulnya.

‘Tidak ayah. Kami ingin ayah menunjukkan tempat berdirinya rumah nenek dulu. Tempat ayah bermain ketika ayah kanak-kanak. Tempat ayah bermain bola di tanah lapang. Kita kunjungi itu semua, ayah. Dan sesudah itu kita kunjungi pula kampung ibu. Untuk melihat hal yang sama.’

‘Ibumu bahkan tidak tahu dengan kampungnya. Dia masih bayi ketika dibawa inyiak (=kakek) dan nenekmu merantau ke Betawi ini. Apa pula yang akan dilihatnya?’ bantah Marzaini.

‘Masakan ayah tidak taragak (=rindu) sedikit juga untuk melihat itu semua?’ desak si Buyung Pamenan.

‘Ayahpun sangat taragak. Tapi ayah tidak sanggup membayangkan semua yang ayah ketahui dulu sudah tidak ada lagi sekarang. Rumah nenekmu, tanah lapang, surau tempat ayah mengaji. Semua sudah tidak ada lagi.’

‘Bukankah ayah masih bisa menunjukkan tempat dimana berdirinya rumah nenek itu dulu. Dimana tempat ayah bermain, pancuran tempat ayah mandi. Tempat berdirinya surau. Tunjukkanlah kepada kami ayah,’ pinta si Buyung.

‘Pulang kampung itu pasti akan membuat hati ayah sedih,’ katanya berterus terang.

‘Kita ambil sisi indahnya ayah. Kenapa pula ayah mesti bersedih ? Kita kunjungi tempat-tempat yang indah di negeri Minang itu. Tempat-tempat indah seperti yang sering kita tonton di televisi. Yang ayah selalu mengingatkan bahwa tempat-tempat itu memang indah sekali.’

‘Jadi maksudmu kita tidak benar-benar melihat kampung ayah? Hanya sekedar pergi melancong saja? Bagaimana mungkin ayah tidak akan pergi berziarah ke kuburan inyiak dan nenek kalian? Artinya ayah akan tetap pulang ke kampung itu, bukan? Melihat keadaan disitu. Melihat pemandangan yang pasti menghancurkan hati ayah.’

‘Mudah-mudahan tidak akan sampai demikian ayah,’ si Buyung mencoba meyakinkan.

‘Entahlah.......’ keluh Marzaini

Akhirnya dia menyerah juga. Keinginan anak-anaknya untuk mengunjungi tanah tumpah darah nenek moyang mereka tidak pantas untuk terus-terusan dimentahkan. Alasan bahwa tidak ada lagi rumah mak yang akan didatangi sudah dicarikan pemecahannya oleh si Buyung Gadang. Apa lagi yang bisa dijadikan alasan?

Istrinya sangat senang mendengar persetujuannya untuk pulang kampung. Rencana lebih matangpun dibuat. Si Buyung Gadang telah menyiapkan segala-galanya. Mereka akan berangkat delapan orang termasuk anak-anak si Buyung Gadang dan si Buyung Pamenan masing-masing satu orang.


*****

Mereka sudah sampai di Bandara sejak jam tujuh pagi tadi. Pesawat yang akan mereka tompangi dijadwalkan berangkat jam delapan. Marzaini belum pernah naik pesawat terbang, dan insya Allah baru kali ini akan mencoba. Tapi dia gugup bukan lantaran takut akan naik pesawat terbang. Hal itu tidak sedikitpun dicemaskannya.

Dia masih belum siap untuk menemui semua kehilangan yang akan dilihatnya nanti di kampung halamannya. Di dalam bayangannya, rumah maknya, rumah tempat dia dulu diasuh dan dibesarkan masih berdiri di rumpun pohon betung. Padahal dia sadar bahwa rumah itu sudah di bongkar adiknya. Dua puluh meter ke arah mudik ada pancuran tempat dia dulu mandi. Entah masih ada entah tidak pancuran itu. Tanah lapang tempat dia bermain bola dulu sudah ditempati bangunan sekolah. Dan masih adakah teman bermainnya yang tinggal di kampung ? Betapa menyedihkan membayangkan semua itu. Itulah yang membuat dia senewen.

Cucu-cucunya yang lincah memperhatikan kegelisahannya. Karena tidak seperti biasa ketika dia senang berkelakar dengan mereka. Sejak sampai di ruang tunggu ini lebih setengah jam yang lalu dia hanya membisu.

‘Kenapa inyiak diam saja? Inyiak takut mau naik pesawat?’ tanya si Puti menggoda.

‘Tidak. Inyiak tidak takut bagai doh,’ jawabnya sambil mencoba tersenyum.

‘Dari tadi inyiak diam saja. Inyiak sakit ?’ giliran si Pinto pula bertanya.

‘Tidak. Inyiak baik-baik saja,’ jawabnya.


*****

Mereka menaiki pesawat. Marzaini cukup percaya diri. Ah, kalau sekedar naik pesawat terbang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh dilamun ombak Ketahun sudah pernah dialaminya. Dan ternyata benar. Dia tidak sedikitpun kikuk atau gugup selama berada di dalam pesawat, sampai mereka mendarat di Bandara Minangkabau. Melihat bandara kebanggaan urang awak itupun dia biasa-biasa saja.

Dari bandara mereka langsung menuju ke Bukit Tinggi. Buyung Gadang menyetir mobil sewaan itu. Mereka lalui jalan yang mulus di tengah cuaca yang agak redup seperti mau hujan. Semua terkagum-kagum melihat keelokan pemandangan begitu memasuki lembah Anai. Kecuali Marzaini. Pemandangan itu baginya biasa-biasa saja. Mereka singgah di kedai sate di Padang Panjang. Semua cepak-cepong makan sate.

Akhirnya mereka sampai di Bukit Tinggi. Langsung ke penginapan yang sudah dipesan sebelumnya oleh Buyung Gadang. Penginapan yang elok dan asri di pinggir kota dengan pemandangan ke arah gunung Marapi. Untuk memastikan tempat yang sudah dipesan sekaligus untuk meletakkan kopor-kopor mereka. Sore ini mereka belum akan mengunjungi kampung. Mereka akan raun-raun dan berjalan-jalan di pasar atas melihat pemandangan di sekitar jam gadang dan di tepi ngarai. Oh, alangkah eloknya kota ini.

Marzaini mulai bercerita bahwa di bawah jam gadang ini, dulu tidak seramai seperti sekarang. Dulu belum ada hotel besar itu, belum ada toko besar ini, katanya menunjuk ke mall di sebelah barat jam gadang. Mereka berjalan kaki di sekitar pasar atas, yang di sore hari ini masih ramai saja. Padahal ini bukan hari pekan. Puas mereka kitari pasar atas, bahkan sampai ke kebun binatang. Betapa semua terkagum-kagum melihat yang mereka temui. Sudah agak malam waktu mereka kembali ke penginapan. Itulah yang mengherankan Marzaini. Ternyata sekarang Bukit Tinggi tidak cepat sepi di waktu malam. Sudah malam masih ada saja orang yang hilir mudik.

*****

Keesokan harinya barulah mereka pergi ke kampung. Sesudah sarapan di penginapan. Pikiran Marzaini sudah mulai agak tenang agaknya. Dia bercerita di sepanjang jalan tentang pemandangan yang dilihat. Tentang jalan raya yang ketika itu lebih banyak digunakan oleh bendi. Tentang keretapi dengan asapnya yang menggebubu. Tentang tempat dimana rumah dan toko di pinggir jalan yang berjejer sekarang, dulunya masih sawah. Ditunjukkannya pula sekolah tempat dia dulu belajar yang jaraknya hampir lima kilometer dari rumah orang tuanya. Dan dia berjalan kaki setiap hari untuk datang ke sekolah itu.
Akhirnya mereka sampai di kampung. Marzaini mengenali semua rumah-rumah tua di kampung itu. Tapi dia tidak mengenali beberapa buah rumah tembok baru yang terletak di tepi jalan. Mobil mereka hentikan di pinggir jalan dekat sekolah di kampung itu. Beberapa orang kampung melihat penuh selidik ke arah mereka. Tidak seorangpun yang dikenali Marzaini. Seorang perempuan tua rupanya lebih jeli dan mengenalnya.

‘Rasanya ini si Zain......, siapalah gelarnya gerangan, anak tuo Khadijah bukan?’ sapa mak tuo itu.

‘Iya, ambo si Zain anak mak Tangkudun dan mak Khadijah. Lupa ambo, etek siapa gerangan?’ jawab Marzaini, sambil menyodorkan tangan bersalaman.

‘Ambo Tipah yang di Jambak. Ada ingat?’

‘Oh iya..iya.. ingat ambo. Tek Tipah Jambak. Ini keluarga ambo tek. Ini orang rumah ambo, ini dan ini anak, yang berdua ini menantu, itu cucu-cucu,’ Marzaini memperkenalkan rombongan besar itu.

Mereka bersalam-salaman. Tek Tipah itu menawarkan agar singgah ke rumahnya saja.

‘Nantilah kami singgah, tek. Kami akan berziarah dulu,’ jawab Marzaini.

Mereka sampai di pandam pekuburan. Yang penuh semak tak terurus. Air mata Marzaini bercucuran melihat pandam itu. Tidak ada siapapun dekat tempat itu. Bahkan tidak ada rumah orang untuk meminjam parang untuk membersihkan jalan ke arah kuburan itu. Mereka tidak jadi masuk kesana.

Akhirnya mereka teruskan berjalan di jalan sempit menuju ke tepi kampung.

‘Inilah jalan ke rumah nenek kalian,’ ujar Marzaini.

Mereka lalui jalan kecil sampai bertemu dengan dua buah rumah kayu yang sudah tua. Rumah yang hampir-hampir roboh dan sudah tidak ditempati. Terpisah agak lebih jauh ada dua buah rumah lagi yang masih lumayan terawat dan kelihatannya ada yang menempati.

‘Ini rumah sepupu ayah. Orang yang satu kaum dengan nenek kalian. Mereka merantau ke Medan dan ke Pekan Baru. Sepertinya tidak pernah pula mereka pulang. Disitu, di sebelah rumah yang satunya itu, itulah tempat rumah nenek dulu. Perhatikanlah tanah yang lebih tinggi sedikit, disitulah persisnya rumah nenek,’ Marzaini bercerita dengan mata berlinang.

‘Ketika ayah kanak-kanak dulu ketiga rumah ini ditempati. Banyak juga saudara sepupu ayah teman bermain disini kala itu. Disebelah sana ada pancuran, tempat kami mandi. Di pekarangan ini dulu kami bermain berkejar-kejaran,’ dia melanjutkan cerita.

Semua mendengar ceritanya penuh perhatian.

‘Rumah yang agak terpisah di sebelah sana apakah bukan rumah famili nenek?’ tanya si Buyung Gadang.

‘Masih famili jauh. Tapi yang menempati bukan mereka melainkan orang dari kampung lain yang tinggal dan bertani di kampung ini,’ jawab Marzaini.

Etek Tipah yang tadi bertemu di pinggir jalan datang menemui mereka.

‘Etek suruh orang membersihkan pekuburan sebentar ini. Paling tidak membersihkan jalan ke dalam. Sudah penuh ditumbuhi belukar pekuburan itu. Tidak ada yang mengurusnya,’ ujar orang tua itu.

‘Terima kasih tek. Betul. Sudah penuh semak. Kami tidak bisa masuk tadi kesana,’ jawab Marzaini.

Mereka kembali menuju ke pekuburan itu. Benar saja, jalan ke dalam sudah dirintis dan dibersihkan oleh seorang anak muda.

Sesudah berziarah mereka berjalan-jalan lagi di kampung itu. Marzaini menunjukkan tempat dia sekolah, surau tempat dia mengaji, tempat dia dulu bermain layang-layang, tempat dia memancing, tempat dulu dia berkejar-kejaran di sawah. Memang sudah tidak seperti dulu lagi tentu saja. Tidak ada seorangpun teman bermainnya yang masih ada di kampung. Semua berada di rantaunya masing-masing.

Mereka sempatkan singgah sebentar di rumah tek Tipah. Orang tua itu menahan mereka dengan sungguh-sungguh untuk makan siang di rumahnya. Marzaini berbasa dengan sebaik-baiknya pula menolak tawaran itu karena tidak ingin menyusahkan orang tua itu menjamu mereka serombongan besar.

Siangnya mereka kembali ke Bukit Tinggi. Makan nasi Kapau yang terkenal itu. Setelah itu mereka lanjutkan kunjungan wisata ke tempat-tempat lain yang sudah direncanakan Buyung Gadang dan adiknya Buyung Pamenan. Setiap tempat yang mereka kunjungi indah belaka. Mereka tinggal di Bukit Tinggi selama seminggu. Marzaini tidak ingin mengulang lagi mengunjungi kampungnya. Entah kenapa. Bagai terngiang ditelinganya untaian lagu yang dulu tanpa berniat apa-apa dia pernah ikut mendendangkannya.

Tinggi malanjuik lah kau batuang
Indak den tabang-tabang lai
Tingga mancanguik lah kau kampuang
Indak den jalang-jalang lai


(Tinggi berlanjutlah engkau betung
Tidak ku tebang-tebang lagi
Tinggal merengutlah engkau kampung
Tidak ku jelang-jelang lagi)



*****

2 comments:

elfitra baikoeni said...

Hampir titik air mata saya membacanya Ngku....sungguh tragis psikologi urang minang yang meninggalkan kampung halaman begitu lama. Apalagi ketika cerita ini ditutup dengan pantun "begitu pahit".....

malin batuah said...

titiak mato ambo mambaco carito mamak ko,ambo yo lah lamo lo ndak plang kampuang ambo di baso.kini ambo di perth australia.
Trimo kasih mamak alah mambaliak an kenangan indah ambo di kampuang dulu.
Mln batuah