Wednesday, February 27, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.18)

18. Di Balik Pulau Angsa Dua

Mereka lanjutkan lagi perjalanan, terus menuju Pariaman, melalui Sungai Limau. Perjalanan di pesisir barat pulau Sumatera, di dataran rendah yang banyak pohon kelapa. Dan banyak pula mereka lihat pemilik beruk di sepanjang jalan, dengan hewan peliharaannya di bonceng di tempat duduk khusus di bagian depan sepeda. Beruk pemetik kelapa yang kelihatannya naik pamor karena ada lomba beruk memanjat kelapa seperti yang diceritakan pemilik warung di Lubuk Basung. Bahkan terlihat ada orang yang sedang memandikan beruk di sungai di pinggir jalan. Sebegitu akrabnya majikan dengan sang beruk, pegawai istimewanya. Semua itu terlihat dari mobil yang sedang berjalan.

Sudah jam satu lebih waktu mereka memasuki kota Pariaman. Pariaman yang kononnya terdengar lengang, berpesta tabut baru ramai. Begitu bait sebuah pantun lagu saluang. Pantun itu kelihatannya sudah ketinggalan zaman. Saat ini Pariaman tidaklah lengang sangat. Banyak kendaraan bermotor hilir mudik. Tentu saja terlihat pula bus pariwisata dengan pelancong di dalamnya. Kota ini telah menjadi tujuan wisata laut meskipun bukan pada saat pesta tabut. Pelancong datang kesini untuk bersantai-santai dan berekreasi di pantainya atau kemudian berlayar ke pulau Pandan dan pulau Angsa Dua. Pulau-pulau kecil yang hanya beberapa kilometer saja di lepas pantai dan terlihat dari Pariaman. Bahkan ada perahu bermotor cukup besar, disebut bus air, yang dapat membawa para pelancong untuk mengunjungi pulau-pulau itu. Pulau-pulau kecil tempat penyu bertelur dan menetaskan anaknya. Pulau-pulau yang sangat elok untuk di eksploitasi, untuk dijelajah tanpa membuang banyak waktu. Menjelajahi pulau Pandan atau pulau Angsa Dua merupakan paket kunjungan yang sangat populer dan diminati pelancong.

’Pasti kamu sudah lapar,’ kata Pohan begitu mereka sampai di kota Pariaman.

’Ya. Memangnya kamu tidak lapar? Di mana kita makan?’ tanya Aswin.

’Mari kita pergi shalat dulu. Di dekat mesjid sana ada rumah makan dengan hidangan khas Pariaman. Gulai kepala ikan kakap,’ Pohan menjelaskan.

’Gulai kepala ikan? Boleh juga ’tu dicoba, meski aku belum pernah memakannya.’

’Karena kamu pencinta ikan, harusnya kamu akan menyukainya.’

’Aku harap begitu,’ jawab Aswin.

Dan mereka shalat di mesjid yang tidak jauh dari stasiun keretapi. Mesjid yang tidak terlalu besar tapi sangat indah dan bersih. Lantainya berkilat-kilat. Waktu mereka masuk ke mesjid ada serombongan orang yang sedang shalat berjamaah. Pohan dan Aswin ikut shalat berjamaah.

Sesudah shalat Pohan mengajak Aswin berjalan kaki ke rumah makan yang hanya beberapa puluh langkah saja dari mesjid itu. Sebuah restoran yang sederhana saja tempatnya, dengan meja dan kursi kayu yang sangat biasa-biasa saja penampilannya. Tapi ramai pengunjungnya.

’Di rumah makan ini yang terkenal adalah gulai kepala ikan kakap, seperti yang tadi aku katakan. Kalau kamu suka kita pesan seorang satu, tapi kalau kamu nggak suka kepala ikan, kamu boleh memesan dagingnya. Di samping itu ada juga lauk lain. Nah, kamu mau mencoba?’ tanya Pohan.

’Boleh. Meski aku belum pernah makan gulai kepala ikan, tapi aku ingin mencobanya,’ jawab Aswin.

Mereka segera mendapatkan hidangan yang di pesan. Gulai kepala ikan kakap disajikan memenuhi sebuah piring besar. Penampilan pertama seperti itu cukup mengejutkan Aswin, besar kepala ikan itu hampir sebesar kepala kambing. Dengan kuahnya yang menitikkan air liur. Dan ternyata sangat enak rasanya. Pohan mengajari bagaimana menikmati gulai kepala ikan, memakan kulit daging ikan yang gurih, bagian kepala yang enak dihisap, maupun daging sela di kepala ikan itu. Dan Aswin tidak terlalu sulit menangkap pelajaran yang memang sangat mudah itu.

’Bagaimana? Bisa dinikmati?’ Pohan masih berlagak bertanya, setelah mereka makan beberapa suap.

’Best. All are best. Enak sekali,’ jawab Aswin, sedikit kepedasan.

’Seorang temanku yang pernah bekerja di Abu Dhabi bercerita. Waktu membeli ikan di super market, dia minta kepala ikan kakap, yang sudah ditaruh di tong sampah. Pegawai super market itu mengatakan, kucing anda akan kesulitan memakan kepala ikan ini karena tulangnya sangat keras. Jawab teman itu, tidak apa-apa, saya tahu bagaimana mengolahnya. Dan dia tidak bercerita bahwa kepala ikan itu akan dimakannya sendiri,’ Pohan bercerita.

’He..he..he.. Memang di super market, kepala ikan-ikan besar, yang kepalanya sebesar ikan ini, tidak dijual tapi dibuang. Daging ikan dipotong-potong dalam bentuk filet ikan. Ternyata di sini bisa digulai seenak ini,’ komentar Aswin.

Kepala ikan itu sampai gundul mereka makan, tinggal hanya tulang-tulang yang tersisa. Dan sesudah duduk terperangah sebentar karena kekenyangan, mereka keluar meninggalkan rumah makan itu.

Pohan ingin menunjukkan bagian-bagian kota Pariaman.

Kota Pariaman memang tidak besar. Sebentar saja bagian-bagian penting kota itu sudah mereka lalui. Mereka berhenti di dermaga di tepi pantai. Banyak perahu bermotor dan bus air (perahu yang lebih besar) tertambat di sana. Di hadapan mereka terlihat tiga buah pulau yang tidak terlalu jauh dari pantai. Mungkin hanya beberapa kilometer saja jaraknya.

’Itu pulau-pulau Angsa Dua dan yang paling selatan adalah pulau Pandan. Pulau-pulau ini diabadikan dalam pantun Melayu. Pulau Pandan jauh di tengah, di balik pulau Angsa Dua. Hancur badan dikandung tanah, budi baik dikenang jua,’ cerita Pohan, sambil menunjuk ke ketiga buah pulau itu.

’Hebat kamu. Dan perahu-perahu motor ini bisa disewa untuk pergi ke sana?’ tanya Aswin.

’Bisa. Kenapa? Kamu mau melihat-lihat kesana?’

’Menurutmu apakah pulau itu perlu dikunjungi? Maksudku, apakah disana ada pemandangan khusus yang perlu dilihat?’ tanya Aswin.

’Pertanyaanmu agak sulit. Baik, pulau itu pantainya berpasir putih tapi agak sempit, dan berbatasan dengan semak belukar. Pantai yang agak lebar terletak di sisi yang mengarah ke sini. Ada jalan setapak di tengah semak belukar itu melintasi pulau. Di sisi sebelah ke sana, atau di bagian yang lebih jauh dari sini, pantainya lebih sempit. Kalau beruntung kita bisa melihat kura-kura di pantai yang sempit itu. Kura-kura itu biasanya akan langsung masuk ke laut kalau ada orang datang. Kalau menumpang bus air, bus itu membawa pengunjung dan membiarkan mereka menjelajahi pulau selama satu jam dan setelah itu kembali ke sini. Kalau speed boat bisa disewa jam-jam an. Nah bagaimana, apakah kamu tertarik?’ tanya Pohan.

Aswin tersenyum. Sepertinya dia berminat.

’Mari kita sewa speed boat dan kita lihat ketiga pulau itu,’ ajak Aswin.

Sebuah speed boat segera siap membawa mereka menuju ketiga pulau kecil itu. Dan benar saja, seperti yang diceritakan Pohan, bahagian yang menghadap ke daratan Pariaman mempunyai pantai yang lebih luas dan bahkan dasar lautnya sangat dangkal. Pulau itu di tumbuhi semak-semak, dan beberapa pohon kayu serta juga pohon kelapa. Mereka merapat di pulau paling utara. Sebuah bus air sedang berhenti pula disana dan rombongan pelancong sedang menjelajahi pulau kecil tersebut. Aswin dan Pohan ikut melihat-lihat keadaan pulau. Pengemudi speed boat yang ikut menemani mereka menunjukkan gundukan pasir di pantai yang katanya berisi telur penyu. Di pantai dekat dermaga ada pengumuman melarang pengunjung mengusik penyu maupun sarangnya. Dan ternyata di pulau itu juga terdapat kera. Rombongan itu menuju ke pantai sebelah timur yang lebih landai. Melalui jalan setapak yang sudah dibuat permanen dan disemen. Pantai yang lautnya hanya beriak kecil. Mereka bisa berjalan di laut yang dangkal yang hanya setinggi lutut airnya. Ikan-ikan kecil terlihat berenang di laut dangkal itu. Dan terlihat pula ubur-ubur dan binatang laut lainnya.

Lalu mereka kembali ke speed boat. Dan mereka kunjungi pula pulau yang di tengah. Yang ternyata hampir tidak ada bedanya. Di sini mereka turun pula sebentar. Tapi saat itu di pulau yang di tengah ini tidak ada pengunjung. Mereka mampir hanya sebentar saja di situ. Lalu diteruskan ke pulau Pandan yang paling selatan. Kali ini hanya sekedar mengelilinginya saja. Dan mereka kembali ke dermaga Pariaman.

‘Bagus juga pulau-pulau itu. Sayang kita tidak bisa melihat kura-kura,’ ujar Aswin.

‘Kalau mau melihat kura-kura yang lebih mudah itu malam hari,’ kata pengemudi speed boat.

‘Malam hari ada juga yang berkunjung ke sana?’ tanya Aswin.

‘Ada. Saya biasa membawa pelancong ke sana malam hari.’

‘Dengan membawa lampu sendiri?’

‘Ya. Cukup dengan lampu senter. Kita berjalan ke tempat gundukan berisi telur penyu tadi, disana biasanya banyak penyu kalau malam hari,’ jawabnya pula.

Dan mereka merapat di dermaga. Berpisah dengan pengemudi speed boat yang ramah itu dan kembali ke mobil.

’Ada yang belum kamu ceritakan tentang Pariaman. Tentang tabut. Kapan diadakan pesta tabut dan dimana tepatnya pesta itu dilaksanakan?’ tanya Aswin sebelum mereka berangkat.

’Tabut adalah acara kebudayaan khas Pariaman. Pesta tabut dilakukan tanggal 10 Muharam penanggalan hijriyah. Tabut sendiri adalah susunan potongan kayu yang dibuat berupa kubus-kubus, diikat bertingkat-tingkat dan diberi hiasan. Menurut riwayatnya, pesta tabut itu untuk memperingati hari wafatnya Husein, putera Ali bin Abi Thalib, cucu nabi Muhammad SAW, yang terbunuh di padang Karbala pada tanggal 10 Muharam. Memperingati wafatnya Husein sangat kental di kalangan orang Islam Syiah. Kelihatannya, pada waktu awal Islam masuk ke Pariaman, mungkin agama ini diperkenalkan oleh kelompok Syiah. Nah apakah cerita seperti itu yang kamu ingin tanyakan?’

’Ya, hampir seperti itu. Meski aku juga sudah membaca hubungan antara faham Syiah yang memperingati hari 10 Muharam dengan upacara tabut itu. Tapi, bukankah masyarakat di sini tidak ada yang berfaham Syiah?’ tanya Aswin pula.

’Menurut yang aku dengar tidak ada. Itulah sebabnya, acara tabut tidak lebih dari sebuah pesta budaya yang tidak ada hubungannya dengan ritual agama.’

’Dan aku baca bahwa pesta tabut juga dipertandingkan oleh dua bagian kota Pariaman. Yang karenanya kadang-kadang timbul kerusuhan. Apa betul demikian?’

’Aku juga mendengar cerita seperti itu. Ada kelompok ’pasar’ dan ada kelompok ’seberang’, sekedar untuk menunjukkan memang ada dua rombongan. Kedua rombongan tentu berusaha membuat tabut mereka seindah mungkin. Pada hari pesta masing-masing tabut di arak untuk dibuang ke laut. Terjadilah saling cemooh, saling menjelekan tabut rombongan lawan selama arak-arakan itu. Dan akibatnya bisa terjadi huru-hara kecil-kecilan. Tapi sekarang pesta itu di kawal oleh polisi untuk ketertibannya, sehingga huru-hara itu bisa dicegah.’

’Dan mereka menggoyang-goyangkan tabut yang diarak itu sambil meneriakkan ’hoyak hosen’, benar begitu tradisinya?’

’Ya. Konon maksudnya, hayya Husein, hayya Husein. Ayohlah Husein, jangan kalah, jangan menyerah. Padahal Husein sudah terbunuh. Tapi dimana kamu tahu sampai sedetil itu?’

’Dari bacaan dan dari cerita ayah. Dulu ayah sering melarang kami waktu kecil kalau kami meloncat-loncat dengan mengatakan, jangan kalian berhoyak hosen disana. Aku bertanya apa arti hoyak hosen, dan ayah bercerita tentang tabut.’

Sambil bercerita, mobil mereka sudah keluar dari kota Pariaman, menuju Lubuk Alung, melalui Kurai Taji.


*****

No comments: