Friday, January 11, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (8)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (8)

8. API MULAI MEMBAKAR

Syamsuddin konsisten dengan ucapannya. Dia tidak lagi takut-takut. Dia tidak perlu bersembunyi panjang di rumah lagi sepulang dari kantor. Sore-sore, dia ikut duduk di lepau sebentar, sekedar mendengar obrolan orang. Tapi dia tidak mau ikut-ikut sedikitpun berkomentar kalau sudah masalah politik. Datuk Rajo Bamegomego merasa bahwa Syamsuddin sudah sadar dan akan segera mau lagi ikut berpolitik dengannya. Pasti dia sudah kembali bisa diajak pergi rapat ke Bukit Tinggi. Tapi itu belum perlu ditanyakan segera.

Hari kelima sejak kunjungannya ke rumah Syamsuddin, barulah Datuk Rajo Bamegomego bertanya.

‘Kan tidak lupa kau Marajo, bahwa lusa kita ada rapat di Bukit Tinggi,’ katanya mengingatkan ketika mereka bertemu di lepau sore itu.

‘Kan sudah saya katakan engku, saya tidak akan ikut-ikut lagi. Saya sudah cukup ikut sampai kemarin itu saja. Besok-besok tidak lagi,’ jawab Syamsuddin tenang.

Orang di lepau menarik nafas mendengar jawaban yang bagi mereka cukup mengejutkan itu.

‘Apa Marajo sakit? Demam?’ tanya engku Datuk.

‘Sehat. Sehat wal’afiat. Saya tidak demam,’ jawab Syamsuddin.

‘Terdengar seperti mengigau. Apa tadi Marajo katakan?’

‘Maaf, engku saya tak ingin berpanjang-panjang, ada urusan saya yang lain. Dan tidak perlu pula saya ulang yang saya katakan. Maaf, saya duluan,’ ujar Syamsuddin sambil meninggalkan tempat duduknya.

Syamsuddin beranjak keluar dari lepau. Tidak terus pulang. Dia sengaja berjalan berlawanan dengan arah pulang.

Datuk Rajo Bamegomego geram dan bercarut.

‘Kencing! Bedebah! Besar betul nyalinya. Betul-betul mencari ilik-ilik manusia kere ini. Dia akan menyesal,’ katanya.

‘Kenapa dia engku?’ tanya Mantari Gobah, lawan diskusi engku Datuk, meski selalu bertentangan pendapat pula.

‘Dia mencari penyakit. Uir-uir minta getah. Dan dia akan dapat getahnya. Tidak ada orang yang boleh menghinakan partai seperti itu.’

‘Menghinakan partai bagaimana? Apa yang dilakukannya?’ tanya Mantari Gobah.

‘Dia mau keluar. Tidak ada aturan seperti itu di tubuh partai. Orang yang sudah masuk tidak boleh keluar. Kalau masuk artinya sudah kontrak mati. Harus berada di dalam sampai maut memisahkan.’

‘Makanya, dahsyat betul partai komunis ini saya lihat. Mana ada aturan seperti itu? Orang ikut partai harusnya ya sesuka-sukanya. Kalau dia merasa bahwa partai memang cocok dengannya bertahan dia. Kalau dia merasa tidak cocok, mana ada aturan tidak boleh keluar? Apa ada dalam AD/ART partai tertulis seperti itu, engku Datuk?’ Mantari Gobah seperti biasa menantang pendapat Datuk Rajo Bamegomego.

‘Kencing! Jangan kau ikut-ikut pula menyiram bensin Gobah. Kaupun bisa digilas roda revolusi itu nanti. Kau tunggulah tanggal mainnya. Ini ibarat bisul, sebentar lagi akan pecah. Berhati-hatilah semua orang yang jadi musuh revolusi.’

‘Kalau soal itu sama kita nanti sajalah engku. Sama kita lihat. Mana yang akan lebih dulu datang, Inggeris menyerang seperti yang engku katakan selama ini atau roda revolusi yang akan duluan tiba.’

‘Jadi menantang kau ?’

‘Engku penggegas betul naik darah. Siapa pula yang menantang? Saya hanya mengatakan sama kita lihat. Kalau memang datang sesuatu yang mengancam, tentu bersiap-siap pula kita untuk menghindar.’

‘Hei bundung! Menghindar? Menghindar kata kau? Jangan kau pandang enteng, Gobah. Jangan kau anggap semudah itu urusan. Bagi partai tidak ada urusan yang main-main. Partai ini sekarang sudah sangat besar dan tidak akan ada yang sanggup melawan. Bagi kami sekarang terbujur lalu, terbelintang patah. Mana yang di depan sebentar lagi kami lendo, kami gilas semua. Aku ulang sekali lagi, bukan untuk menakut-nakuti kalian. Berhati-hatilah kalian. Kalian semuanya. Ada jelas? Faham tidak kalian?’’

‘Tidak bisa pula begitu engku Datuk. Ini tidak sesuai dengan petitih adat, engku. Kita hidup bermasyarakat. Duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang. Tidak baik gemuk membuang lemak, yang cerdik menjual yang bodoh. Yang besar mau main terjang saja. Tidak baik berleluasa begitu. Ingat pula dahan yang tinggi dapat menimpa, urat menjela dapat menyandung.’

‘Cirit gedang! Kapunduang! Banyak benar hetongan kau. Berpandai-pandai pula kau berpetatah petitih kepadaku. Lebih tahulah aku lagi dari kau. Aku ini penghulu adat. Rebah kerbau dulu ketika aku diangkat jadi Datuk. Kini kau yang pesong ini pula yang akan mengajar-ajar aku. Bercerminlah kau Gobah!’

Mata Datuk Rajo Bamegomego berubah merah. Wajahnya menakutkan. Sutan Pamenan yang duduk di sebelah Mantari Gobah sudah dari tadi memberi isyarat agar tidak diteruskan perdebatan itu.

‘Iyalah engku Datuk. Kalau begitu kata engku. Pahamlah kami. Biarlah lain kali kita sambung lagi. Saya permisi dulu,’ kata Mantari Gobah.

Sebenarnya Mantari Gobah lebih segan kepada Sutan Pamenan yang adalah mamak rumahnya dari pada kepada Datuk Rajo Bamegomego. Itulah sebabnya dia mau berhenti. Sebenarnya masih ingin dilawannya orang tua itu. Tidak pernah terlulur olehnya kaji engku Datuk PKI itu. Kajinya tidak pernah berubah dari roda revolusi yang akan melindas.

Orang yang duduk dalam lepau itu keluar satu persatu. Ngeri juga melihat mata merah Datuk Rajo Bamegomego. Bagaimana tidak akan marah besar dia, dua kali dalam tempo singkat dia disinaruskan orang sore hari ini. Dilecehkan dirinya. Dilecehkan partainya. Ini yang lebih berat. Tidak ada orang yang boleh dibiarkan menghina partai.


***

Rumah istri Syamsuddin adalah rumah gadang bergonjong lima ruang. Rumah gadang yang berderet dua buah, sama besar, sama bergonjong. Di hadapan kedua buah rumah masing-masing ada rangkiang beratap gonjong pula. Ke sebelah belakang ada rumah dapur dan terakhir dapur di paling ujung. Itupun sama belaka. Orang di kampung menjuluki kedua rumah itu rumah gadang kamba. Penghuninya dikenal dengan menyebut nama seperti itu. Kak Zahara rumah gadang kamba. Guru Dawahir rumah gadang kamba. Bedanya, di belakang rumah Siti Zahara ada tebat ikan sementara di belakang rumah yang satunya ada kebun pisang.

Di rumah sebelah itu tinggal saudara sepersukuan Siti Zahara, Dawahir namanya dengan suaminya Tahar. Kedua-duanya guru sekolah rakyat di kampung itu. Malam hari banyak anak-anak datang belajar ke rumah guru ini, terutama anak kelas enam yang mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir. Yang datang belajar anak laki-laki dan perempuan. Mereka belajar sampai larut malam dan menompang tidur disitu. Murid perempuan tidur di ruangan rumah atas, sementara anak laki-laki tidur di rumah dapur.

Sekitar jam setengah sepuluh malam anak-anak perempuan sudah pada tidur. Mereka tidak berani membuat heboh karena pasti kena marah ibu Dawahir. Kebalikannya, anak laki-laki yang tidur di rumah dapur lebih bebas. Mereka biasa bergurau dan bergelut dulu sebelum tidur. Kadang-kadang sampai jam sebelas malam. Ada-ada saja bahan gurauan mereka sebelum tidur. Macam-macam saja ulah mereka. Main lempar-lemparan bantal. Perang kentut. Siapa yang cepat tidur alamat akan jadi korban. Diolesi mukanya dengan jelaga lampu.

Malam itu Poan susah tidur. Teman-temannya sudah tertidur semua. Hari sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba Poan ingin buang air kecil. Tapi dia tidak berani turun sendiri ke sumur. Dari tadi anjing heboh menyalak. Lalu Poan mendengar anjing itu terkaing-kaing dan suara kaingannya makin menjauh. Mungkin anjing itu lari menghindar. Celakanya, Poan benar-benar sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Dibangunkannya teman yang tidur di sebelahnya.

‘Ancin! Bangunlah. Temani aku ke sumur,’ katanya.

Yang dibangunkan hanya menggeliat sedikit. Poan menguncang-guncang tubuh temannya itu. Tidurnya sedang nyenyak betul.

‘Ancin. Ooi Ancin. Bangunlah. Temani aku.’

Si Ancin menggeliat dan bertanya.

‘Ada apa ?’

‘Temani aku ke sumur. Aku ingin kencing,’ katanya.

Si Ancin bangkit sambil mengusap matanya. Kedua anak itu turun ke dapur dan keluar ke sumur di samping dapur. Si Poan melepas hajatnya.

‘Bunyi apa itu?’ tanya si Poan.

‘Entahlah. Bunyi apa maksudmu? Aku tidak mendengar apa-apa,’ jawab Ancin sambil menguap.

‘Bunyi berdesir. Hei. Kenapa terang di samping sana?’ tanya Poan pula.

‘Banyak betul tanya kau. Cepatlah. Aku mengantuk,’ kata Ancin.

‘Aku bersungguh-sungguh. Benar. Lihatlah di sebelah sana. Terang. Cahaya apa ini?’

Si Ancin menoleh. Dan dia terkesiap.

‘Ya ampuuun. Apiii. Apiii. Dapur rumah da Marawan terbakar...’ teriaknya.

Si Poan menghambur karena kaget. Kedua anak-anak itu lari ke dalam rumah dan berteriak keras-keras.

‘Apiiii...apiiiiii. Dapur terbakaar...... Apiiiiii.... Apiiii,’ teriak mereka.

Teman-teman mereka yang lain berlompatan bangun. Sekarang semua ikut berteriak. Anak-anak perempuan yang tidur di ruangan tengah rumah ikut pula terbangun. Ada yang menjerit-jerit histeris dan ada yang langsung menangis. Pak guru Tahar terbangun dan berlari ke belakang. Diapun ikut berteriak dan menggedor-gedor rumah Siti Zahara.

‘Apiiii. Da Marajoo apiii.... cepat banguuun.’

Gempar tengah malam itu.

Si Poan melihat tong-tong tergantung di dekat rumah dapur. Diambilnya tong-tong itu lalu dipukulnya bertalu-talu. Mendengar suara tong-tong, Marwan di rumah sebelah juga melakukan hal yang sama. Mengguguh tong-tong. Ramai suara tong-tong tengah malam itu.

Syamsuddin dibantu Tahar berusaha menyiram api yang baru mulai marak itu dengan air dari tebat. Terbirit-birit mereka berdua membawa air dari tebat dengan ember. Hampir tidak ada pengaruhnya hasil siraman air mereka. Api tetap marak berdetus detus melahap kayu kering bahan perumahan itu.

Orang-orang kampung, tetangga di sebelah menyebelah terbangun mendengar suara tong-tong. Mereka berdatangan untuk membantu. Ada yang menyiram dengan air dari tebat. Mereka membuat barisan dari pinggir tebat ke tempat menyiramkan air. Ember berisi air dikirim dengan cara estafet. Ada yang memotong pohon pisang untuk dilemparkan ke api. Alhamdulillah, setelah bekerja keras, api dapat dipadamkan. Lebih separuh dapur dan sebagian rumah dapur terbakar. Orang-orang yang berdatangan itu memastikan bahwa api benar-benar sudah mati.

Kebakaran itu tampak agak aneh karena bagian dapur dekat tungku tidak terbakar. Jadi tidak mungkin api berasal dari tungku. Tidak mungkin berasal dari api tungku yang lupa dimatikan. Dan di rumah ini tidak ada kompor minyak tanah. Untuk memasak semua memakai kayu bakar. Lalu dari mana agaknya api berasal?

Yang hadir, membahas masalah itu sesudah api berhasil dipadamkan. Dari mana asal api?

‘Kakak yakin api di tungku sudah dimatikan tadi sebelum tidur, kak?’ tanya guru Tahar kepada Siti Zahara.

‘Yakin. Aku tidak ada masuk-masuk ke dapur lagi sesudah magrib. Sebelum magrib urusan dapur sudah selesai, dan api tungku pasti sudah mati,’ jawab Siti Zahara.

‘Benar itu. Cobalah lihat. Paran di samping tungku ini tidak terbakar. Api jelas tidak berasal dari tungku,’ seorang dari yang hadir membenarkan.

Atas himbauan pak wali jorong, malam itu masyarakat diminta berjaga-jaga. Meskipun sudah ada orang ronda. Yang lain ikut duduk meramaikan pos ronda malam itu. Disana mereka berdiskusi. Bertanya-tanya. Gejala apa agaknya kebakaran tengah malam ini. Karena memang banyak yang ganjil. Kebakaran ini bukan sembarang kebakaran kelihatannya.

***

‘Aku yakin ini kerja mereka. Kerja anak buah engku,’ kata Syamsuddin kepada istrinya ketika mereka kembali ke rumah sudah menjelang parak siang.

‘Tidak usah kita berburuk sangka. Biar sajalah dahulu. Paling tidak kan tuan lihat, bagaimana Allah menyelamatkan kita. Kalau tidak ada yang terbangun tadi entah apa yang sudah terjadi. Rumah kayu ini cepat betul api menyelesaikan. Syukurlah kita selamat,’ jawab Siti Zahara dengan bijaknya.

‘Engkau benar. Anak-anak yang belajar di rumah sebelah itu tadi yang mula-mula melihat api ketika mereka pergi buang air ke dekat sumur. Anak-anak itu tadi yang lebih dulu berteriak-teriak dan mengguguh tong-tong.’

‘Itulah. Itukan Tuhan yang menggerakkan semua. Allah yang melindungi kita semua,’ tambah Siti Zahara.

‘Aku khawatir mereka akan kembali lagi. Pasti mereka akan kembali lagi. Huh, sesaknya nafasku memikirkan kejahilan ini. Mereka itu memang orang-orang jahat dan zalim. Entah kenapa dulu aku mau pula mendekat-dekat kepada mereka. Huh, sekarang begini jadinya.’

‘Sabar tuan. Sabar itu indah. Tidak elok kita sesali yang sudah terjadi. Kita serahkan semua urusan ini kepada Allah. Allah pasti menolong kita.’

Syamsuddin terdiam. Kata-kata istrinya itu benar belaka. Ah, dia memang wanita yang tegar dan teguh imannya.

‘Masih belum masuk waktu subuh. Marilah kita sembahyang tahajud. Kita berdoa kepada Allah,’ ajak Siti Zahara, setelah mereka terdiam agak lama.

Syamsuddin menurut. Mereka pergi lagi turun ke sumur. Untuk mengambil air sembahyang. Kedua suami istri itu sembahyang. Mereka shalat dan setelah itu berdoa kepada Allah. Panjang doa mereka. Bercucuran air mata mereka .


*****

No comments: