Saturday, October 22, 2011

KENANGAN MASA PRRI (6)

6. Serangan Kilat Menjelang Subuh

Rombongan tentara PRRI itu segera mengambil tempat yang tersembunyi, beberapa puluh meter dari rumah tuan Asmar. Semua berjaga-jaga, ingin melihat siapa kiranya tamu yang dihebohkan anjing-anjing kampung itu. Benar saja, ternyata mereka adalah tentara APRI dari Biaro. Besar betul nyali tentara pusat itu, datang di tengah malam ke kampung yang cukup jauh dari pos mereka. Apakah tentara-tentara itu begitu yakinnya merasa bahwa daerah ini semua sudah menjadi daerah taklukan mereka?

Kasim berada dekat tandas di seberang tebat ikan. Diamati dan dicobanya menghitung jumlah rombongan yang datang. Ada sembilan atau sepuluh orang. Sesudah menggedor dinding rumah tuan Asmar, lima orang naik ke rumah. Kasim melihat mereka dengan sangat jelas dalam keremangan malam. Sisanya berjaga-jaga di pekarangan sambil berjalan mondar-mandir. Sambil merokok pula. Anjing-anjing kampung sementara sudah berhenti menyalak.

Tamrin merangkak hati-hati ke dekat Kasim dan mencoleknya.

‘Kita berangkat,’ bisiknya.

Keduanya merangkak pelan-pelan dan bergabung dengan anggota rombongan yang lain. Setelah itu semuanya berjalan dengan senyap di pematang sawah melintasi jalan kampung di sebelah timur. Tanpa suara mereka berjalan beriringan ke utara dari kampung itu, ke arah Biaro, melalui pematang sawah yang jaraknya sekitar dua puluh lima meter dari jalan. Keistimewaan tentara PRRI ini mereka tidak pernah disalak anjing karena setiap kali masuk kampung, mereka rajin memberi anjing-anjing yang suka heboh itu dengan sejemput makanan.

‘Akan kita hadang mereka di Sicamin. Di pesawangan itu kita habisi mereka. Berapa orang tadi kau hitung?’ tanya komandan Basa kepada Kasim.

‘Sembilan atau sepuluh. Lima naik ke rumah, yang di halaman tidak terlalu jelas. Mungkin empat atau lima. Aku mendengar seorang memanggil-manggil nyiak Jorong, sebelum mereka naik ke rumah,’ jawab Kasim.

‘Pastilah OPR-OPR pembawa sial itu. Huh, mereka itu memang menyebalkan.’

Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di Sicamin. Dari arah selatan kembali terdengar salak anjing. Masih cukup jauh dari tempat mereka berada. Komandan Basa memberi perintah kilat mengatur strategi.

‘Kasim! Kau dan Tamrin di sebelah utara dekat pohon limau itu. Aku dan Said di pematang di sini. Kau juga di belakangku Junaidi! Hamid dan Kutar di pematang sawah di seberang sana, antara tempatku ini dengan Kasim, di seberang jalan. Mereka akan berjalan beriring-iring, begitu biasanya. Mungkin berdua-berdua atau bertiga-bertiga. Aku yang akan menembak lebih dahulu begitu mereka melewati jalan di depanku ini. Kau Kasim, kau tembak dari depan sesudah aku menembak. Kau perhatikan benar mereka ketika menembak. Hamid dan Kutar mengamati seandainya masih ada di antara mereka yang bergerak sesudah itu kau habisi. Mereka akan berlalu dalam waktu lima menit lagi. Apakah jelas yang aku perintahkan?’

‘Jelas komandan,’ jawab mereka hampir serempak.

‘Ingat! Tidak ada yang menembak sebelum aku menembak. Begitu aku menembak, langsung kau perhatikan dan tembak pula sasaran. Jelas Kasim?’

‘Jelas, komandan.’

‘Baik! Sekarang ke posisi masing-masing. Bismillah……’

‘Masih boleh bertanya komandan?’ tanya Hamid.

‘Ada apa lagi?’

‘Seandainya ada yang lolos ke utara, seorang atau dua orang apakah kita kejar?’

‘Kalau mereka tidak berbalik menembak kita, akan kita biarkan. Rasa-rasanya OPR-OPR itu tidak akan berani menembak. Biar mereka melapor ke induk semangnya.’

‘Baik komandan, sudah jelas.’

Semua menuju ke posisi sesuai yang diperintahkan komandan Basa. Kasim dan Tamrin ke balik pohon limau, kira-kira sepuluh meter dari tempat komandan Basa. Semua menunggu dengan jantung berdegup keras. Dengan senjata terkokang siap ditembakkan. Pelan-pelan mulai terdengar derap sepatu dari arah selatan. Seperti yang diduga, mereka berjalan berkelompok dua dan tiga orang. Ternyata semuanya sepuluh orang. Pelan-pelan terdengar mereka bercakap-cakap. Percaya diri betul mereka itu. Lamat-lamat terdengar obrolan mereka dalam bahasa Indonesia beraksen Jawa. Rupanya dua orang yang di depan yang sedang berbicara.

‘Sontoloyo betul informasi kau.’

‘Infonya betul komandan. Mungkin harinya kita yang salah.’

‘Jadi? Besok mau diulang lagi kesana?’

‘Serancaknya begitu komandan. Inyiak jorong itu…… Semua orang tahu dia itu berkawan dengan tentara luar itu.’

‘Kalau berkawan, di kampung itu mungkin semua berkawan. Kau memang sontoloyo, kau bilang pasti ada pemberontak di rumah itu. Mana buktinya?’

Komandan Basa mendengar jelas perbincangan mereka. Tentara APRI itu mulai melintas di depan tempat dia bersembunyi. Dihitungnya, semua sepuluh orang, berjalan dengan santainya. Dua di paling depan, tiga di tengah dan berlima di paling belakang. Mereka pasti tidak mengkhawatirkan apapun. Apalagi mereka semakin dekat ke pos mereka di Biaro. Inilah waktunya. Semua sudah berada di sebelah depan komandan Basa, dengan posisi membelakanginya. Komandan Basa menarik pelatuk. Senjata itu menyalak memercikkan bunga api. Lima orang yang berada di belakang semua tersungkur bersimbah darah dari kepala mereka. Senjata Kasim ikut menyalak dari arah depan. Tiga orang di paling depan juga tersungkur. Dua orang di antara rombongan itu meloncat indah ke samping kiri jalan menghindari tembakan. Yang satu mendarat di dalam Bandar. Tepat di hadapan Hamid. Tanpa ampun, bedil Hamid pun menyalak. Tentara yang bersalto menyelamatkan diri itu menggeliat meregang nyawa. Hamid melihat yang satu orang lagi merangkak dalam Bandar air menuju ke utara. Kutar juga melihatnya. Dia pun merangkak mendekati tentara yang satu itu di pematang bandar dengan bedil terarah kepadanya. Sepertinya tentara yang satu itu tidak sadar bahwa dia diikuti. Setelah dekat Kutar menempelkan ujung senjatanya ke tubuh tentara malang itu.

‘Berdiri tanpa senjata dan angkat tangan kau!’ perintahnya.

Tentara itu berdiri dengan tubuh menggigil ketakutan. Kutar mendorongnya dengan ujung bedil dan menyuruhnya berjalan di pematang bandar air, mengarah ke selatan.

Beberapa menit berlalu. Suasana sunyi mencekam. Terdengar rintihan dari tentara yang terluka. Rupanya tidak semuanya mati terbunuh. Komandan Basa memberi isyarat kepada anak buahnya untuk segera berlalu dari tempat itu.

‘Bagaimana kalau aku ambil sebuah senjata mereka, komandan?’ tanya Kasim.

‘Ambillah! Hati-hati kau! Di antara mereka masih ada yang hidup.’

‘Bagaimana kalau sekalian kuhabisi kalau memang ada?’

‘Kalau dia sudah tidak membahayakan, jangan…... Kita bukan tentara buas. Kau amat-amati mereka Hamid!’

Ternyata ada dua orang yang merintih-rintih dengan luka masing-masing di dada dan di leher. Yang lain sudah tidak bernyawa. Kasim mengambil sebuah senjata tentara itu berikut pelurunya.

‘Untuk tongkat kau Junaidi,’ katanya sambil menyerahkan senapan itu ke tangan Junaidi.

Jantung Junaidi masih berdebar-debar menyaksikan drama maut itu.

‘Yang satu ini bagaimana komandan?’ tanya Kutar.

‘Kita bawa dulu ke atas,’ perintah komandan Basa. ‘Ikat tangannya dan tutup matanya, Hamid!’ tambahnya pula.

Tangan tentara tawanan itu diikat dengan tali dari kulit batang pisang dan matanya ditutup dengan kain sarung. Dia masih menggigil ketakutan dan tidak berkata sepatah juapun. Mereka segera meninggalkan tempat itu. Berjalan di pematang sawah menuju arah timur, menjauh dari jalan raya. Said menuntun tawanan itu yang berjalan tertatih-tatih dan berkali-kali hampir jatuh. Akhirnya mereka sampai di tepi sebuah batang air. Komandan Basa memberi isyarat agar tawanan itu diikatkan ke pohon enau yang tumbuh di situ. Pastilah tentara tawanan itu menyangka bahwa dia akan segera dihabisi.

‘Kau kami ampuni dan akan kami tinggalkan di sini. Mudah-mudahan temanmu cepat menemukan kau kembali. Seandainya kau belum dimangsa ular tentunya. Kalau kita bertemu lagi di pertempuran lain, dan aku punya kesempatan lagi, kau tidak akan kumaafkan lagi. Kau belum belum boleh berteriak sebelum kami jauh dari sini. Kalau kau berteriak, dan kami mendengarnya akan kutembak kau,’ komandan Basa memperingatkan tawanannya.

Tentara tawanan itu tidak berkata apa-apa. Mungkin dia masih belum yakin bahwa dia tidak akan dihabisi. Dia berdiri pasrah dalam keadaan terikat ke pohon enau.

Hari sudah menjelang subuh. Komandan Basa dan rombongannya menyeberangi batang air dan berlalu dari situ. Mereka menuju ke markas mereka di gunung Marapi. Junaidi berjalan penuh semangat dalam rombongan itu. Sambil menyandang bedil. Dia sudah ikut terlibat dalam peperangan itu. Pengalamannya malam itu mendebarkan sekaligus membakar semangat. Semangat untuk ikut bertempur dalam peperangan. Tanpa harus berprilaku buas dan bengis terhadap musuh. Seperti yang dicontohkan komandan Basa malam ini. Membunuh karena sedang berada dalam keadaan perang. Tapi membiarkan hidup tawanan tanpa menyakitinya. Bahkan akhirnya meninggalkannya tanpa sedikitpun dilukai.

Telah hampir terbit matahari waktu akhirnya komandan Basa mengajak rombongannya berhenti dulu untuk sembahyang subuh. Mereka sudah berada di lereng gunung Marapi. Sesudah sembahyang, baru mereka ingat bahwa nasi bungkus dari rumah wali jorong tadi malam belum disantap. Pagi buta itu mereka makan dulu di tepi hutan. Makan nasi bungkus. Di tepi batang air yang airnya bergemiricik.

*****

No comments: