Saturday, December 6, 2008

SANG AMANAH (85)

(85)

Edwin merasa paling bahagia hari ini. Seperti dalam mimpi rasanya dia bisa kembali bersekolah di sini. Begitu cepatnya proses perubahan itu terjadi. Hari Rabu minggu lalu temannya Samsul dan Amir datang ketempatnya bekerja ‘memantau’ keadaannya, kata mereka waktu itu. Hari Jumat sore, pak kepala sekolah ini datang ke rumah dan berbicara dengan ibunya. Pada sore yang sama teman sekolah ibunya di SMP datang berkunjung dan menerima ibu bekerja di perusahaan suaminya di Pulo Gadung. Dan hari ini dia mulai bersekolah. Hampir-hampir dia tidak percaya waktu om Yanto, suami tante Ningsih teman ibunya itu, menelpon bapak kepala sekolah ini, kemudian sesudah itu mengatakan kepadanya bahwa dia boleh mulai bersekolah hari Senin. Sesuatu yang tidak pernah muncul dalam mimpinya sedikitpun. Betul-betul kurnia Tuhan yang sangat besar.

Dan banyak sekali yang berubah di sekolah ini. Kepala sekolah yang baru dikenalnya pagi ini, yang baru saja menyampaikan pidato pada upacara bendera, sangat mengagumkannya. Orang tua itu kelihatan sangat santun. Dan sangat berwibawa. Tadi pagi, sebelum upacara bendera dia datang menghadap beliau. Dia dinasihati dengan sangat lemah lembut. Dia diminta untuk membaca dan kemudian menanda tangani surat perjanjian. Tidak ada keberatannya sedikitpun dengan isi surat itu. Apa yang tertulis di surat itu sangat wajar dan pantas. Dia berjanji bersungguh-sungguh dengan dirinya, tidak akan berbuat keonaran sekecil apapun di sekolah ini. Ini benar-benar kesempatan emas yang tidak boleh disalahgunakan.

Tapi tidak semua murid-murid senang dengan kedatangan Edwin kembali di sekolah. Ada saja yang usil dan ingin mencari ‘gara-gara’. Edwin sudah mengantisipasi hal itu. Sesudah upacara tadi bahkan ada yang menyindir dengan mengatakan, ‘hati-hati, bandar ekstasi hadir lagi di sekolah’. Bahkan ada yang terang-terangan melecehkannya dengan kata-kata, ‘ngapain lagi lo balik ke sini? dasar nggak tau diri!’. Edwin tidak mau meladeninya.

Untunglah teman-teman yang bersimpati justru lebih banyak. Teman-temannya sekelas dulu yang sekarang sudah duduk di kelas tiga umumnya menyambut kedatangan Edwin dengan baik. Karena Edwin dulu memang teman mereka yang menyenangkan. Sekarang dia dimasukkan ke kelas dua C. Di kelas ini sebenarnya banyak anak-anak ‘borju’. Edwin mengenal sebagian dari mereka ini sejak mereka masih di kelas satu, termasuk di antaranya Anto.

Anto sangat bersimpati dengan Edwin, terutama karena dia mendengar cerita mami dan papi tentang pengalaman keluarga anak itu. Anto sudah tahu sejak hari Jumat malam ketika papinya bercerita bahwa Edwin akan kembali bersekolah mulai hari Senin ini. Dia tidak menyangka bahwa anak itu akan dimasukkan di kelasnya. Pada mulanya, banyak murid kelas dua C tidak suka dengan dimasukkannya Edwin di kelas mereka, tapi Anto membelanya. Dan Anto adalah murid yang disegani di kelas dua C. Jadi Edwin selamat.

Iwan, teman sebangku Anto, termasuk yang tidak suka dengan kehadiran Edwin. Mereka terlibat dalam bersoal jawab agak seru waktu istirahat pertama di kantin sekolah.

‘Kok lo ngebelain banget sih, itu anak dimasukin di kelas kita?’ Iwan memprotes Anto.

‘Ya nggak apa-apa. Sudah diatur guru-guru ngapain kita mau nolak,’ jawab Anto.

‘Tapi efeknya nanti itu, lho. Lo nggak takut ntar ketularan?’

‘Ketularan apaan? Dia kan nggak sakit,’ jawab Anto pula enteng.

‘Ah, lo. Sok sosial. Masak lo nggak tau kasus dia itu dulu sih? Dalam seminggu dia berani ‘sakau’ dua kali di sekolah. Masak lo percaya orang kayak gitu bisa baik beneran.’

‘Lo jangan kebanyakan nyangkain yang nggak-nggak. Menerima dia kembali itu keputusan kepala sekolah, tau nggak lo. Dan kepala sekolah mendapat masukan dari mana-mana. Dari guru-guru, dari anak-anak OSIS. Kalau sudah diputusin menerima dia kembali, artinya pak kepsek itu sudah tau banget kondisi anak itu.’

‘Kalau iya pun? Kenapa dimasukin di kelas kita?’

‘Ah, lo lagi. Kelas kita itu kan sekolah. Sekolah ini bukan milik kita. Kalau dia mau diterima, terus nggak boleh di kelas kita, ntar kelas yang lain bilang gitu juga, tuh anak nggak jadi bisa sekolah dong.’

‘Tapi gue, tetap nggak setuju. Dan gue mau protes.’

‘Eh, man! Lo denger ya. Kalau lo mau protes itu hak lo. Tapi karena lo teman gue, biar nggak malu-maluin gue, lo mendingan mikir. Kenapa sih lo kok sirik amat sama anak itu? Apanya yang salah? Lo nggak diganggu ama dia. Dia nggak ngambil tempat lo. Kenapa mesti ribut? Udah deh. Mendingan kita konsentrasi aja buat kompetisi basket.’

‘Dan lo, kenapa sih kok lo semangat amat ngebelain dia? Emang dia itu siapanya lo? Sodara lo?’

‘Ah, picik emang lo. Dia itu bukan siapa-siapanya gue. Dia itu dulu murid sini juga. Lebih duluan masuk dari kita. Terus dikeluarin karena dulu dia bersalah. Terus sama pak kepsek disuruh selidikin apa dia sudah insap. Apa dia sudah nggak lagi bermasalah. Terus setelah menurut pak kepsek ternyata dia itu sudah baik-baik, tidak lagi ‘pemakai’, sama pak kepsek diberi kesempatan lagi untuk bersekolah. Itu urusan dan kebijaksanaannya pak kepsek. Dan gue nggak ada masalah dengan itu. Gue setuju-setuju aja. Kalau dia sekarang disuruh masuk di kelas kita, itu urusannya sekolah. Nah! Sekarang lo nggak setuju. Itu bagus. Jadi gini aja. Kalau lo mau protes, gue nggak jadi ngelarang lo deh. Lo silahkan aja protes. OK?’ kelihatannya Anto mulai sedikit emosi.

Dan kalau sudah begitu, Iwan biasanya mengalah. Dia tidak berani melanjutkan diskusi itu lagi. Anak-anak lain yang mendengarkan debat terbuka di kantin itu banyak yang bersimpati dengan pemikiran Anto. Tapi ada juga yang masih ragu-ragu. Masih ada yang bertanya meski pertanyaannya lebih netral, tidak ‘tendensius’ seperti pertanyaan Iwan.

‘Emang gimana ceritanya sih To? Dan kok cuman Edwin aja yang balik? Kan dulu ada yang lainnya juga kayak Danta, Parlin, Wahyu gitu. Pada kemana yang lain? Apa yang dinilai udah insap cuman Edwin doang?’ tanya Santo.

‘Wah, persisnya gue juga kagak tau. Yang gue denger sih Parlin, udah pindah ke Medan. Atau mendingan entar kita tanya aja sama ketua OSIS,’ jawab Anto

‘Gue denger lagi Wanto yang dulu juga dikeluarin udah meninggal,’ komentar Tito menyambung.

‘Meninggal, To? Lo tau dari siapa?’ Herman bertanya kaget.

‘Dari Tigor anak kelas tiga IPA. Teman sekelasnya dulu,’ jawab Tito.

‘Bener nggak, gue bilang. Pokoknya urusan narko-narko itu maut deh akibatnya. Makanya kalau bisa menghindar, mendingan menghindar deh,’ Iwan kembali bekoar.

‘Betul! Seratus buat lo,’ jawab Anto.

‘Jadi kenapa dong?’

‘Apanya yang kenapa dong?’

‘Kenapa dong kita mau aja mengambil resiko?’

‘Jangan mau dong! Siapa yang mau ngambil resiko?’

‘Lha, buktinya lo nggak keberatan menerima ‘mantan’ di kelas kita.’

‘He..he..he.. Payah lo Wan. Gue kan udah bilang. Kalau lo mau protes, lo protes aja langsung. Sini! Biar gue temenin lo sekalian. Lo mau protes ke siapa sih? Sini gue antarin. Tapi lo ngomong yang tegas ya? Berani nggak?’

Anto sudah tahu kalau nyali Iwan sebenarnya kecil, cuma kadang-kadang suka agak cerewet.

Lonceng masuk sesudah istirahat pertama berbunyi. Anak-anak itu bergerak menuju kelas masing-masing.


*****


Edwin sedang berbincang-bincang dengan Amir, Tigor dan Misran anak-anak kelas tiga IPA 2 di gang depan kelas dua C. Mereka ini dulu cs dan teman sekelas Edwin di kelas dua. Anak-anak itu sengaja mendatangi Edwin ke kelasnya, sekalian untuk mengucapkan selamat atas kembalinya ‘teman yang hilang’ itu. Di antara ketiga anak itu, Amir adalah sohib yang paling akrab dan perduli terhadap Edwin.

‘Wah, lo bisa memperkuat tim basket buat kompetisi dong Win,’ ujar Misran.

‘Ya nggak lah. Gue kan udah nggak pernah latihan. Udah hampir setahun gue nggak pernah menyentuh bola basket,’ jawab Edwin.

‘Kayaknya entar sore mereka pada latihan deh. Lo mau ikut nonton nggak?’ tanya Tigor pula.

‘Pengen juga sih. Tapi latihannya jam empatan gitu ya? Repot juga kalau gue harus bolak balik. Masak gue harus nungguin di sini sampai jam empat?’ jawab Edwin.

‘Kalau lo mau nonton, entar gue jemput,’ Amir langsung menawarkan diri.

‘Ya lihat gimana ntar aja deh,’ jawab Edwin.

‘Lo yang pasti! Kalau lo mau datang ntar gue jemput,’ Amir setengah memaksa.

‘Ya deh. Kalau lo nyamperin gue, gue datang,’ jawab Edwin.

Ternyata sore itu Edwin datang bersama Amir untuk menonton tim basket latihan. Anak-anak yang lainpun banyak yang hadir. Mungkin mereka memenuhi himbauan pidato Herman Mokoginta tadi pagi.

Pak Hardjono sudah memilih dua tim yang nanti akan ikut berkompetisi sebagai tim A dan tim B dari SMU 369. Kedua tim itu sama-sama kompak dan kelihatannya sangat seimbang baik dalam penguasaan lapangan, kemampuan bertahan maupun keagresifan menyerang. Melihat kedua tim ini berlatih tanding bagaikan melihat pertandingan yang sangat bermutu. Pak Hardjono melibatkan keseluruhan pemain pilihan itu dalam uji coba. Matanya yang jeli mengamati masih ada beberapa dari para pemain itu yang masih ragu-ragu dan kurang percaya diri. Anak-anak itu dinasihati Pak Hardjono dengan sabar dan hati-hati agar lebih percaya diri.

Latihan itu berlangsung sampai jam 5.30 sore. Sebelum latihan itu bubar, pak Hardjono yang dari tadi melihat kehadiran Edwin mendatangi anak itu dan menyapanya.

‘Kamu masih bisa main kan?’ tanya pak Hardjono pendek.

Edwin kaget ditanya seperti itu, dan sedikit gugup. Pertanyaan itu tidak dijawabnya. Dulu Edwin termasuk seorang di antara pemain basket yang sangat berbakat dan sering ikut dalam pertandingan-pertandingan antar sekolah. Tentu saja pak Hardjono masih ingat hal itu karena Edwin dulu termasuk murid yang dilatihnya. Pak Hardjono melemparkan bola basket di tangannya ke arahnya. Edwin menangkap bola itu dengan gerakan refleks.

‘Kamu jangan pulang dulu ya! Saya ingin berbicara dengan kamu sebentar,’ ujar pak Hardjono.

Edwin agak salah tingkah. Tapi sekali lagi dia tidak mampu bersuara.

Setelah latihan selesai dan sementara anak-anak itu beristirahat mendinginkan badan, pak Hardjono kembali menghampiri Edwin.

‘Win! Kamu masih bisa main kan?’ tanya pak Hardjono.

‘Saya sudah tidak pernah bermain lagi pak,’ jawab Edwin pendek.

‘Ayo. Coba kamu maju ke sini!’ perintah pak Hardjono sambil melemparkan bola sekali lagi ke arah Edwin dari jarak enam meter. Edwin menangkap bola itu dengan mantap.

‘Coba kamu shoot dari sana!’ perintah pak Hardjono lagi.

No comments: